25 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Etos dan Kreativitas Wong Ndesa

Etos dan Kreativitas Wong Ndesa

DALAM pertemuannya dengan Gubernur Bibit Waluyo di kantornya beberapa waktu lalu, kami dari Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah mendapat penjelasan menarik. Menyikapi keadaan ekonomi nasional, khususnya di provinsi ini, Gubernur berpendapat sesungguhnya tanpa harus mengejar teknologi tinggi, pertumbuhan perekonomian kita dapat terpacu lebih baik lagi. Syaratnya: bangkitkan kreativitas masyarakat desa.

Argumen Gubernur cukup sederhana, sehebat apapun kemajuan teknologi sebuah bangsa, mereka tetap tidak bisa lepas dari kebutuhan pangan. Karenanya, negeri kita yang subur ini harus dimaksimalkan untuk menghasilkan bahan pangan melimpah yang dapat memenuhi kebutuhan dunia. Saat ini masyarakat desa kehilangan reativitasnya akibat gempuran kapitalisme global sehingga menciptakan ketergantungan yang luar biasa.


Dulu sewaktu saya masih kanak-kanak tahun 1970-an, dinamika ekonomi perdesaan sungguh mengagumkan. Mereka mampu menciptakan jenis barang apa saja yang berbahan dasar dari alam. Sebut saja ada tikar dari daun pandan, payung dari kayu, peralatan rumah tangga dari kaleng bekas, bambu atau kayu, dan sebagainya.

Dalam menciptakan makanan, mereka juga kreatif.Aneka jenis kreativitas itu kini digilas oleh kaipalisme global. Singkatnya, kreativitas masyarakat desa mesti dihidupkan lagi. Karenanya program Bali Desa Mbangun Ndesa adalah momen yang tepat untuk mengembalikan kejayaan masyarakat desa. Kreativitas masyarakat desa sesungguhnya memperlihatkan keunggulan budaya mereka atas budaya asing. Dalam soal bahasa saja misalnya, orang asing hanya mengenal istilah bring untuk terjemahan kata membawa.

Namun bagi orang Jawa, terjemahan kata membawa harus diletakkan dalam konteksnya. Kalau membawa barang dengan menggunakan kepala itu namanya nyunggi, kalau di pundak mikul, kalau di punggung gendong, kalau di tangan nyangking, kalau di pinggang ngindit, dan seterusnya.
Resep Mujarab Dari perbincangan ringan tersebut makin nampak bahwa kemunduran ’’peradaban’’ masyarakat desa terkait erat dengan sistem ekonomi-politik sebuah negara. Pada masa Orde Baru untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan.

Konsep ini menurut Douglass (1998) dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar. Harapannya,  pertumbuhan ekonominya dapat menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect).

Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa industrialisasi dipandang sebagai resep mujarab untuk mengurangi kemiskinan, keterbelakangan, dan pengangguran di negara sedang berkembang. Dengan kata lain, sebuah transformasi ekonomi akan diciptakan. Dengan industrialisasi, diharapkan akan muncul peluang kerja dan mampu menampung luapan kerja dari sektor pertanian.

Dari titik inilah diharapkan tumbuh usaha kecil menengah usaha farm, ada pergerakan modal, ada kredit, teknologi dengan riset. Dengan mendorong kerangka institusional di perdesaan, maka dapat mendorong pertumbuhan regional. Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak cocok di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena ada dualisme antara sektor pertanian dan industri, serta penetrasi kapitalisme global sebagaimana ditunjukkan sebelumnya.

Pembangunan sektor pertanian yang terintegrasi dengan sektor industri nampaknya berhasil dilakukan oleh China. Hasilnya desa-desa di China dipenuhi berbagai aktivitas pertanian sekaligus terkait erat dengan industri modern di perkotaan. Industri komponen motor China (mocin) dibuat di pelosok-pelosok desa.

’’Kasus’’ China tentu berbeda dari negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia, di mana sector pertanian tidak adanya jalinan produksi dengan sektor modern. Yang terjadi malahan keterkaitan konsumsi.  Artinya kota-kota besar di Indonesia malahan menjadi parasit dan menyedot sumber daya desa secara gila-gilaan.

Akibatnya dapat diduga, arus migrasi dari desa ke kota di negeri ini luar biasa. Tahun 2008 Jawa Tengah ’’sukses’’ mengirimkan 13.000 tenaga kerja ke Jakarta dalam arus balik lebaran.(10)

— Saratri Wilonoyudho, dosen Unnes, anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah, kandidat doktor UGM

 Wacana Suara Merdeka 26 Mei 2010