Langkah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menarik empat penyidiknya yang diperbantukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara ini berhasil dibatalkan.
Sebelumnya, banyak pihak mempersoalkan rencana penarikan penyidik KPK ini karena diduga menjadi bagian pelemahan terhadap lembaga antikorupsi ini. Apalagi, mereka yang ditarik adalah penyidik yang tengah menangani kasus besar, seperti kasus Anggodo ataupun kasus aliran cek perjalanan kepada sejumlah anggota DPR saat pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, Miranda Gultom. Meskipun akhirnya berhasil mempertahankan empat orang penyidik tersebut, sesungguhnya KPK hanya sedang menunda masalah yang lebih besar. Sewaktu-waktu peristiwa serupa sangat mungkin terjadi. Peristiwa ini sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya KPK memiliki penyidik sendiri atau dikenal dengan istilah lain penyidik independen.
Terdapat sejumlah alasan mengapa KPK perlu segera menyiapkan penyidik independen. Pertama, penyidik independen dapat mendorong KPK lebih independen. Selama ini, institusi KPK hanya independen berdasarkan undang-undang. Pasal 3 UU KPK menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Namun, tidak demikian faktanya. Dalam strukur KPK, masih ada penyidik yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Kondisi demikian menyebabkan pegawai KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan juga memiliki loyalitas ganda. Satu sisi mereka patuh kepada pimpinan KPK sebagai atasan mereka sekarang, tetapi pada sisi lain mereka juga tunduk kepada Jaksa Agung dan Kapolri sebagai pimpinan, karena status mereka yang diperbantukan dan sewaktu-waktu akan kembali ke instansi asalnya.
Hal ini juga menjadi hambatan ketika penyidik KPK dari kepolisian dan kejaksaan berupaya membongkar kasus korupsi yang terjadi di institusi asal mereka. Selain konflik kepentingan, semangat membela korps (espirit de corps) tidak dapat dilepaskan dari jiwa para penyidik dari kepolisian dan kejaksaan.
Kedua, kehadiran penyidik independen tersebut dapat melepaskan ketergantungan KPK terhadap institusi penegak hukum yang lain, khususnya kepolisian. Selama ini posisi KPK seperti tersandera dengan adanya penyidik di luar KPK, yang sewaktu-waktu dapat ditarik seperti saat ini. Kebutuhan KPK soal penyidik juga sangat tergantung dari kesediaan atau kemurahan hati pimpinan Polri. Juga, tidak ada jaminan bahwa penyidik Polri yang diusulkan atau diperbantukan adalah yang terbaik dan berintegritas. Terungkapnya kasus suap dan pemerasan yang dilakukan oleh AKP Suparman, penyidik KPK yang berasal dari kepolisian, merupakan contoh efek negatif dari proses rekrutmen yang tidak mandiri.
Ketiga, dari sisi regulasi sebenarnya tidak ada aturan yang melarang KPK untuk merekrut penyidiknya sendiri. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagai salah satu pedoman dalam melakukan penyidikan juga tidak pernah menyebutkan bahwa penyidik harus berasal dari kepolisian.
Kalau dicermati kembali, justru UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang memberikan peluang untuk rekrutmen penyidik sendiri. Dalam Pasal 45 UU KPK disebutkan bahwa penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan pasal ini, KPK seharusnya mempunyai penyidik sendiri dan tidak bergantung pada Polri atau jaksa dari kejaksaan. Keempat, penyidik independen bukanlah hal baru di Indonesia. Keberadaan penyidik sendiri juga telah dilakukan oleh sejumlah lembaga lain di luar kepolisian dan kejaksaan. Sebut saja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memiliki penyidik imigrasi. Begitu juga, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh penyidik kehutanan.
Penyidik independen pada Komisi Antikorupsi di negara lain juga merupakan hal yang biasa. Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura adalah contoh komisi antikorupsi yang merekrut sendiri penyidiknya. Hasilnya terbukti efektif khususnya ketika menangani sejumlah kasus korupsi yang terjadi, termasuk di dalamnya korupsi yang melibatkan pejabat di kepolisian. Dalam rangka menjunjung tinggi objektivitas dalam penindakan dan jaminan adanya loyalitas tunggal kepada lembaga KPK, serta memastikan tidak ada
konflik kepentingan maka penting keberadaan penyidik independen ini.
Kelima, rekrutmen penyidik KPK sendiri atau independen merupakan bagian dari Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi 2010-2025 - bidang Penindakan. Konsep yang disiapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana, sejatinya akan segera diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat ini. Hal ini dapat dibaca bahwa keberadaan penyidik KPK yang independen sesungguhnya disetujui oleh pemerintah, dan menjadi bagian komitmen pemerintahan SBY pada periode yang kedua ini. Setidaknya ada tiga pilihan dalam proses rekrutmen penyidik independen. Pilihan pertama dengan melakukan rekrutmen dari masyarakat sipil untuk kemudian diberikan pelatihan khusus penyidikan. Pilihan kedua, dengan merekrut mantan penyidik dari kepolisian yang telah pensiun. Pilihan terakhir, yaitu dengan merekrut dan mengangkat penyidik KPK dari kepolisian yang bersedia meninggalkan statusnya sebagai anggota Polri.
Penyidik independen bagi KPK adalah pilihan yang paling masuk akal untuk kepentingan pemberantasan korupsi tersebut. Sehingga, pihak yang menentang atau tidak setuju dengan usulan penyidik independen untuk KPK, patutlah dilihat sebagai kalangan yang anti dengan pemberantasan korupsi dan anti dengan penguatan KPK.
Opini Republika 26 Mei 2010