Jadi, terlalu sederhana bila fatwa MUI pada era secanggih ini hanya menunjuk kiblat ke arah barat tanpa mempertimbangkan sudutnya
KETIKA disinyalir di Indonesia tidak sedikit masjid yang kiblatnya salah, bahkan terdata 320 ribu dari 800 ribu masjid di Indonesia (running text Metro TV, 23/01/), banyak kalangan resah, terutama pejabat Kementerian Agama, tokoh agama, takmir masjid dan mushala. Adanya gempa dan pergeseran lempeng bumi dituding sebagai penyebab arah kiblat di sebagian besar wilayah Indonesia bergeser, dan menjadi salah arah kiblatnya.
Melihat fenomena ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat pun resah dan menyikapinya dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 3 Tahun 2010 tentang Kiblat Indonesia yang disahkan pada 1 Februari 2010, dan dibacakan dalam konferensi pers pada 22 Maret 2010.
Dalam fatwa tersebut, ada tiga ketentuan hukum, pertama; kiblat bagi orang yang shalat dan dapat melihat Kakbah adalah menghadap ke bangunan Kakbah (ainul Kakbah). Kedua; kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Kakbah adalah arah Kakbah (jihat al Kakbah). Ketiga; letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Kakbah, maka kiblat umat Islam di Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Menurut penulis, fatwa tersebut menjadi persoalan yang harus diklarifikasi tuntas. Artinya, bahwa fatwa kiblat Indonesia adalah arah barat bukan merupakan jawaban bijaksana untuk masyarakat yang ”resah” adanya isu kiblat masjid dan mushala berubah akibat bergeser setelah ada gempa dan pergerakan lempeng bumi.
Terlalu sederhana jika fatwa ini dianggap menjadi solusi atau menjadi ”pemadam” atas keresahan masyarakat selama ini. Bahkan sebaliknya fatwa ini menjadi membahayakan jika menjadi pandangan atau keyakinan masyarakat dalam beribadah.
Pada dasarnya lempengan-lempengan bumi memang terus bergerak kendati lambat sehingga tidak dapat dipantau mata. Gerakan itu sangat rumit, sistematis, dan pasti sehingga gerakan tersebut pada akhirnya akan menjaga tetapnya blok bumi dan area permukaannya.
Jadi, posisi-posisi di atas permukaan bumi tidak bergerak. Gerakan ini baru dapat dideteksi setelah ratusan tahun. Gerakan tersebut baru dapat dirasakan ketika terjadi gempa sebagaimana hal itu dapat diukur melalui alat laser. Rata-rata gerakan bagian dari lempeng-lempeng bumi tersebut dapat dideteksi hanya 1 mm/ tahun. Karena itu, adanya gerakan 1 mm/tahun tentu saja tidak dapat menjadikan arah kiblat bergeser secara signifikan.
Keajaiban Perlu kita ketahui bahwa semua lempeng di muka bumi ini bergerak, kecuali di sekitar lempengan Arab yang gerakannya teratur. Ini merupakan keajaiban tersendiri yang menjadikan bukti bahwa Makkah/Kakbah dijadikan pusat ibadah umat Islam di seluruh dunia.
Lempengan-lempengan bumi di seluruh wilayah mengarah ke Arab, seolah-olah menunjuk pada lempengan Arab. Lempengan belahan bumi yang lain seperti Hindia, Afrika, Turki, Iran, dan Afganistan bergerak ke arah utara disertai dengan putaran beberapa derajat berlawanan dengan arah jarum jam.
Dengan demikian lempengan Arab yang tidak berubah, menjadikan posisi Kakbah tetap. Inilah alasan mengapa Makkah (Kakbah) dijadikan sebagai kiblat ibadah umat Islam. Karena itu, tidak rasional jika dianggap ada pergeseran arah kiblat karena pergeseran bumi dan gempa, karena hal itu merupakan gejala alam yang sudah terjadi bermiliar-miliar tahun dan tidak terlalu signifikan.
Penulis lebih cenderung berasumsi bahwa tidak ada pergeseran arah kiblat secara signifikan pada masjid atau mushala di negara kita ini. Yang ada hanyalah tidak adanya pengetahuan dalam pengukuran dan penentuan kiblat secara benar pada saat pembangunan masjid dan mushala pada waktu itu. Atau, dulu saat pengukuran masih menggunakan alat atau cara yang sederhana dalam penentuan arah kiblatnya.
Jika merujuk perkembangan teknologi dan informasi, penentuan arah kiblat pada zaman sekarang bukan suatu hal yang rumit bagi masyarakat muslim. Jauh sebelum astronom muslim mengembangkan metode pengamatan dan teoritisnya yang maju, mereka sudah memiliki keahlian dalam menerapkan pengetahuan astronomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam ibadah. Jadi, terlalu sederhana bila fatwa MUI pada era secanggih ini hanya menunjuk kiblat ke arah barat tanpa mempertimbangkan sudut, walaupun seandainya dikaji secara Alquran-Hadis, dianggap sah-sah saja. (10)
— H Ahmad Izzuddin MAg, kandidat doktor Program Pascasarjana IAIN Walisongo, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia
Wacana Suara Merdeka 26 Mei 2010