25 Mei 2010

» Home » Kompas » Kegagalan Andi, Problem Anas

Kegagalan Andi, Problem Anas

Di luar dugaan, Andi Mallarangeng tersingkir pada putaran pertama pemilihan ketua umum Partai Demokrat di Padalarang, Bandung. Pada putaran kedua, Anas Urbaningrum memenangkan pertarungan melawan Marzuki Alie. Mengapa dan apa tantangan PD di bawah kepemimpinan Anas ke depan?
Terlepas dari soal menang dan kalah, proses pemilihan ketua umum Partai Demokrat (PD) yang berlangsung fair, demokratis, dan relatif terhindar dari politik uang patut diapresiasi. Kekhawatiran publik akan adanya intervensi ataupun ”restu” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina ternyata tak terjadi. Presiden Yudhoyono justru membiarkan para peserta kongres memilih para calon ketua umum PD atas dasar hati nurani mereka.
Kemenangan Anas Urbaningrum atas Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie tak bisa dipisahkan dari sikap positif, netral, dan tidak berpihak yang ditunjukkan oleh Yudhoyono. Soalnya, sejak awal Andi hampir selalu ditempel secara ketat oleh Eddie Baskoro Yudhoyono dan beberapa menteri dari PD sehingga seolah-olah ”restu” sang Ketua Dewan Pembina mengarah kepada sosok doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Northern Illionis, Amerika Serikat, tersebut.


Bukan segalanya
Fenomena kekalahan Andi Mallarangeng bisa jadi merupakan pertanda bahwa politik pencitraan yang menjadi modal utama mantan juru bicara Presiden Yudhoyono ini ternyata bukanlah segala-galanya. Sejak mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum PD pada akhir Maret 2010, kampanye media Andi Mallarangeng mungkin hanya bisa disaingi oleh kampanye para calon presiden pada Pemilu 2009. Namun, dana miliaran rupiah yang dikeluarkan Mallarangeng bersaudara untuk ”menjual” Menteri Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu II tersebut tidak sepenuhnya berkorelasi positif dengan tingkat dukungan dalam kongres.
Di sisi lain, tak seorang pun meragukan intelektualitas, wawasan, dan visi cerdas Andi Mallarangeng tentang partai masa depan. Pidato politik Andi pada saat deklarasi sarat dengan gagasan brilian mengenai pengelolaan PD sebagai partai modern bagi Indonesia yang pluralistik. Dua kandidat lainnya, Anas dan Marzuki, bisa dikatakan berada di belakang Andi dalam soal orisinalitas dan koherensi gagasan.
Namun, politik bukan sekadar orisinalitas gagasan dan jelas tidak sepenuhnya identik dengan intelektualitas. Politik lebih pada soal kepercayaan serta kemampuan merawat dan mengelola kepercayaan sebagai sumber dukungan. Barangkali di sinilah letak keteledoran Andi Mallarangeng, yakni terlalu mengandalkan pembentukan citra publik tanpa mengecek efektivitas kampanye media ke pengurus-pengurus PD tingkat daerah. Sementara Anas dan Marzuki tampaknya lebih mengandalkan dukungan riil cabang-cabang partai ketimbang sekadar pembentukan citra dan popularitas publik.
Tantangan Anas
Kongres II PD yang berlangsung demokratis merupakan modal penting bagi partai politik terbesar ini untuk tampil lebih percaya diri dalam pentas politik nasional. Persoalannya, selama ini dinamika internal PD hampir selalu berada di balik bayang- bayang kebesaran sosok Yudhoyono. Tidak mengherankan jika sebelumnya muncul kesan bahwa Kongres II PD tak lebih dari momentum para kandidat ketua umum untuk merebut ”restu” Sang Ketua Dewan Pembina.
Oleh karena itu, tantangan terbesar Anas Urbaningrum bukan hanya bagaimana mengelola potensi internal partai sambil mengurangi ketergantungan berlebihan terhadap sosok Yudhoyono. Lebih dari itu, Ketua Fraksi PD di DPR ini dituntut menjadi dirinya sendiri dan tidak sekadar menjadi bayang-bayang Yudhoyono. Masalahnya adalah bahwa sejauh ini Anas relatif belum memiliki pemikiran yang genuine bagaimana seharusnya PD berkiprah dalam konstelasi politik kontemporer serta juga bagaimana sikap partai yang dipimpinnya dalam merespons isu-isu strategis bangsa di era persaingan global yang cenderung saling menghancurkan dewasa ini.
Kita juga gembira Kongres II PD menjadi momentum peralihan generasi kepemimpinan partai di negeri ini. Namun, mungkin kegembiraan itu belum waktunya dirayakan jika peralihan kepemimpinan hanya sekadar pertukaran tempat dari generasi tua ke generasi muda. Yang lebih diperlukan bangsa ini adalah perubahan radikal atas cara pandang dalam pengelolaan negeri ini yang acapkali terperangkap ke dalam ”salah urus” negara dan pemerintahan yang tak berkesudahan. Pertanyaannya, mampukah Anas keluar dari perangkap yang cenderung meninabobokkan itu?
PD dan Pemilu 2014
Sebagai ketua umum partai terbesar, Anas Urbaningrum jelas berpeluang menjadi salah satu calon presiden dalam Pemilu 2014. Meskipun demikian, medan yang harus ditempuh mantan anggota KPU ini bukanlah jalan yang mulus. Problematiknya, Anas kemungkinan besar masih akan berhadapan dengan para ”pemain lama” yang lebih berpengalaman, seperti Megawati (PDI-P), Aburizal Bakrie (Golkar), Prabowo (Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).
Dalam situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi Anas kecuali segera menghitung segenap potensi dan modal partai, termasuk merumuskan gagasan perubahan yang agak radikal agar bangsa ini keluar dari perangkap ”salah urus” tak berkesudahan. Meski Yudhoyono masih menjadi Presiden hingga tahun 2014 dan menjabat Ketua Dewan Pembina sampai tahun 2015, PD belum tentu berjaya kembali pada pemilu mendatang. Karena itu, partai segitiga biru ini perlu ”ikon” baru yang tidak lagi bertumpu pada pencitraan figur, tetapi lebih pada gagasan-gagasan baru bagi negeri kita.
Kalau tidak, tak ada yang berubah pada PD pascakongres. Ketua umum dan para pengurus boleh saja berganti, tetapi segenap dinamika partai tetap berporos pada figur tunggal, yakni Presiden Yudhoyono.
SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset Bidang Politik LIPI

Opini Kompas 26 Mei 2010