25 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » God is not Great?

God is not Great?

BAGI umat beragama, khususnya yang sering disebut pemeluk teguh, pasti terkejut, atau mungkin malah geram, membaca kalimat God is not Great yang menjadi judul buku karangan Hitchens. Sebab bagi umat beragama, termasuk  di Indonesia, mereka berkeyakinan God is Great.

Ini tak dapat ditawar lagi karena merupakan dasar keyakinan. Kalau tidak Great, mengapa harus disembah dan dipuja? Bagi umat Islam, mereka berkeyakinan God is the Greatest, yang mereka sebut dengan kalimat Allahu Akbar, yang berarti Allah Maha Besar, Allah Maha Agung, sebagai Al Khaliq, Sang Pencipta alam semesta dan seisinya.


Buku berjudul God is not Great itu, yang isinya lebih banyak membeberkan ”kejeleken-kejelekan” agama-agama, menurut subjektivitas pengarangnya sehingga seolah-oleh agama tak ada kebaikan dan gunanya sama sekali, seperti ditulis L Murbandono Hs lewat artikelnya ”Memikirkan God is not Great” (SM, 19/05/10).

Perlu kita sadari, publik di Indonesia dan bangsa Indonesia pada umumnya mempunyai latar belakang filosofi-sosio-historis berbeda dari bangsa-bangsa di dunia barat yang kebanyakan sekuler. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berpancasila, religius, beragama, meski kadar keberagamaannya bisa berbeda-beda. Nilai-nilai, pandangan, dan kebiasaan yang dianggap baik di dunia barat, belum tentu baik untuk diterapkan di Indonesia.

Di Negeri Belanda misalnya, dengan dalih atas nama hak asasi manusia, ada orang-orang mendirikan arena nudis (scheveningen) yaitu tempat orang-orang berkumpul ria dengan bertelanjang bulat. Ternyata masyarakat sekitar tidak menentangnya. Di Indonesia tentu dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya, dan perundang-undangan yang berlaku.

Murbandono menyinggung masalah terorisme. Terorisme dilakukan oleh orang-orang dari berbagai pemeluk agama. Terorisme yang dilakukan oleh orang-orang Islam muncul semenjak tentara Amerika Serikat dan sekutunya menduduki Irak dan Afghanistan dengan kekerasan senjata. Puluhan ribu jiwa melayang yang kebanyakan orang Islam. Sarana dan prasarana serta aset budaya di dua negara tersebut dan sekitarnya yang tak ternilai harganya hancur-lebur.
Bertentangan Seluruh negara Islam mengutuk terorisme karena paham dan kegiatan terorisme bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya yang mengutamakan perdamaian sebagai bagian dari karakteristik Islam rahmatan lil ‘alamin. Perlu diingat, jumlah orang Islam yang terpikat pada gerakan terorisme itu amat sangat kecil dibanding dengan umat Islam yang moderat. Sebagai contoh, umat Islam Indonesia diperkirakan 210 juta jiwa.

Jumlah yang terlibat teroris mungkin hanya Densus 88 yang tahu. Tetapi ada yang mengatakan tokohnya sekitar 5 ribu orang. Jadi secara objektif kita harus memberikan apresiasi adil terhadap mayoritas umat Islam yang moderat, yang mempunyai andil besar dalam memelihara stabilitas nasional dan pembangunan bangsa dan negara.

Kemunculan pandangan ateisme dan demitologisasi, yang menganggap  Tuhan tidak ada, Tuhan tak berarti, dan dalam agama banyak dongeng yang harus dihilangkan, sudah sejak lama di dunia Barat. Friedrich Nietzsche menyatakan God is dead. God remains dead. And we have killed him (Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya).

Dalam perkembangan selanjutnya kemudian muncul pandangan The Death of God Theology (Teologi Tuhan Mati) yang dipelopori oleh antara lain Dietrich Bonhoeffer, William Hamilton, dan Harvey Cox. Menurut pendapat saya, pandangan-pandangan yang mendiskreditkan agama-agama itu tidak elok disebarluaskan di Indonesia.

Kita perlu mencermati latar belakang kemunculan pandangan-pandangan yang mendiskreditkan agama-agama tersebut, sebagaimana yang muncul di Amerika pada 1960-an, yaitu : (1) Masyarakat telah dipengaruhi oleh paham sekulerisme, materialisme, dan hedonisme yang kering spiritualitas atau nilai-nilai agama; (2) Meski ada penyempurnaan sistem pendidikan faktanya mengabaikan pendidikan moral; (3) Peraturan perundangan diperketat tetapi angka kriminalitas tetap melonjak; (4).

Berpretensi menjunjung tinggi demokrasi, tetapi melakukan diskriminasi rasial; (5). Pemerintah Amerika Serikat menganjurkan perdamaian, tetapi mencetuskan peperangan di negara-negara di luar Amerika Serikat; (6) Simbol-simbol resmi masih religius, tetapi kehidupan sehari-hari ateis. (10)

— H Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah

Wacana Suara Merdeka 26 Mei 2010