Oleh Encep Dulwahab
Saat ini, ada tujuh media yang sedang berjuang menegakkan kebebasan dan membeberkan fakta sesungguhnya. Ketujuh media itu di antaranya, Republika, Detik.com, Suara Pembaruan, RCTI, Kompas, Warta Kota, dan Sindo yang dituntut antara 10 juta dolar AS sampai 36 juta dolar AS. Pasalnya, ketujuh media ini memberitakan adanya perjudian di balik arisan di Kota Jakarta.
Upaya-upaya pengikisan pers tidak terjadi saat ini saja. Namun, serentetan kejadian yang berupaya menggerogoti tubuh pers terus bermunculan. Hampir setiap saat insan pers tidak tenang dan tidur pulas setelah melakukan tugasnya karena telefonnya terus berdering ada panggilan dari narasumber atau orang-orang yang menjadi objek berita. Lebih sadisnya lagi, ada reporter atau juru kamera yang mati mengenaskan karena ketidakpuasan dari orang yang merasa dirugikan atas pemberitaan dirinya. Beberapa kali pemimpin redaksi beserta karyawannya bolak-balik ke pengadilan demi menyelesaikan berita-berita yang menyimpang menurut versi dari orang yang merasa dirugikan.
Di zaman yang lebih dari reformis ini, ada sebagian orang yang tidak senang dengan hadirnya pers sebagai alat pengontrol. Dari setiap usaha-usaha pers dalam membeberkan fakta yang ada di lapangan, masih ada usaha intimidasi dan intervensi penguasa. Sebaliknya, pers sudah lebih berani dalam menyajikan informasi-informasi yang dulu sangat tertutup menjadi menu sajian informasi yang siapa saja bisa mengonsumsinya. Bagaimana kasus-kasus yang sebelumnya tidak bisa dijamah dan dinikmati publik, tanpa basa-basi pers bisa menyebarluaskannya ke hadapan penikmat berita. Misalnya saja yang paling aktual adalah ketika kasus Antasari sampai ketika persidangannya dan terakhir bagaimana kemelut di tubuh Polri.
Akan tetapi, tetap saja kinerja baik ini tidak bisa diterima dengan tangan terbuka dan hati-kepala yang dingin. Pers dianggap telah merusak norma, adat, masuk pada ranah privasi seseorang. Bahkan lebih sadisnya lagi pers dituduh melanggar kode etik pers dan melakukan perusakan karakter seseorang.
Ibarat sang kekasih, pers kehadirannya dirindukan, tetapi di sisi lain dibenci karena perilaku dan tindakan-tindakannya yang senantiasa menyengat. Semua orang menyadari, ada berita tentang keberhasilan dan tidak sedikit berita-berita yang mengkhawatirkan. Saking banyaknya berita yang menyedihkan itu, banyak orang yang menganggap bahwa berita-berita itu membuat sakit para penikmatnya. Meskipun demikian, tetap saja pers dinanti-nanti penampilannya tanpa terkecuali.
Pers memiliki kelebihan yang membuatnya tetap dirindukan para penggemarnya. Kelebihan inilah menjadikannya sebagai sumber kekuatan yang bisa menembus siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Sayangnya, dari kekuatan ini ada beberapa oknum yang senantiasa memanfaatkan demi kepentingan sepihak. Inilah yang telah menodai berita-berita yang menjadi ciri khas dari setiap pers. Diakui ada beberapa pers yang tidak taat terhadap asas pers sehingga dalam kerjanya tidak mengedepankan bagaimana cara kerja pers yang baik dan benar. Alhasil beritanya pun sepihak dan banyak orang yang dirugikan.
Akan tetapi di luar itu, tidak sedikit masyarakat pembaca yang menyadari besarnya kontribusi pers dalam perkembangan situasi dan kondisi tanah air ataupun mancanegara. Melalui perslah orang mulai tahu akan perkembangan manusia sekarang, mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari berbagai kejadian di pelosok dunia.
Susah untuk menyatakan kalau pers memang taat asas hukum atau pers bertumpu pada kode etik pers. Karena yang namanya berita, apalagi berita politik atau kejahatan, akan memberitakan kesalahan-kesalahan orang. Orang yang diberitakan kesalahan dirinya meskipun benar ia bersalah, maka orang tersebut akan sekuat tenaga untuk membersihkan dirinya.
Dalam perkembangannya, muncul pers entertainment yang juga tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pers entertainment yang lebih menekankan pada hiburan dan gosip ini sangat digemari masyarakat Indonesia yang suka sekali dengan gosip. Semua orang menjadi objek gosip, tidak hanya selebriti, olah ragawan, para politikus pun tidak luput dari pemberitaan gosip.
Dalam kondisi serbabebas ini, bukan berarti ketika pers berbuat salah tidak bisa disomasi dan lain sebagainya. Hanya, ketika orang melakukan gugatan kepada pers sesuaikan dengan hukum dan aturan main pers itu sendiri. Yang juga harus terus dibenahi adalah kinerja pers yang kebanyakan bertumpu pada prinsip kecepatan dalam penyajian berita. Banyak di antara pekerja pers yang menjadikan kecepatan adalah segala-galanya, tetapi mengesampingkan keakuratan yang akhirnya menjadikan dilema tersendiri untuk pers.
Oleh karena itu, pers harus memopulerkan hukum yang berlaku di tubuh pers. Pers harus tahu diri akan fungsi dan tugasnya sehingga pers sadar akan jelajah barunya (new frontiers) yang tidak hanya sebagai penyeimbang, tetapi juga memberi solusi atas berbagai masalah yang ada.***
Penulis, Dosen Ilmu Jurnalistik UIN Bandung dan pengelola Rumah Komunikasi.
opini pikiran rakyat 26 mei 2010