Ketersangkutannya dengan kretinisme disebabkan oleh beberapa peristiwa terakhir ini: ruang di Senayan itu hadir meluas di tengah masyarakat. Di ruang itu dibicarakan soal kebijakan umum, seperti korupsi atau karut-marut sistem peradilan. Dalam pembicaraan di tema itulah mulai kelihatan sebuah gejala penyakit yang umum berjangkit di kalangan kaum politikus.
Penyakit kaum politikus ada dua. Penyakit pertama adalah sebuah sindrom yang muncul dari peralihan status warga menjadi wakil. Jika sebagai warga negara dia hanya seseorang, individu, maka ketika menjadi wakil, dia adalah kondensasi dari puluhan ribu warga. Tubuh [politik] menjadi jauh lebih besar daripada tubuh fisik. Karena keadaan yang demikian, amat wajar jika sebuah penyakit gampang singgah, yakni waham kehebatan. Omongnya jadi aneh, meledak-ledak, sok tahu, dan sok kuasa.
Penyakit kedua timbul dari praktik demokrasi kita: untuk menjadi wakil, diperlukan banyak dana. Dana itu dirasakan sebagai investasi. Harus ada perhitungan kapan modal kembali. Tak cukup dengan pengembalian modal berdasarkan atas gaji DPR, tetapi diperlukan dana lain untuk menambah keuntungan sosial yang mereka dapatkan.
Jika hal ini dirasa-rasakan oleh anggota parlemen, penyakit sosial akan muncul dari keadaan yang disebut social distance. Artinya, status sosialnya naik, tetapi ia tetap kumuh! Maka, cibiran keponakan dan bibinya akan mengguncangkan hati dan wakil rakyat itu harus mengusahakan kerja sambilan lain.
Kedua jenis penyakit ini dalam diagnosis politik masih harus dianggap sebagai penyakit kulit saja. Tak terlalu berbahaya asal sang wakil dapat menemukan obat mujarab, yang tak lain adalah harga dirinya sendiri.
Lalu, apa hubungannya dengan kretinisme? Kretinisme adalah sebuah gejala kejiwaan: Anda sudah beruban, tetapi emosi, pikiran, dan tingkah laku masih tetap sumringah dan optimistis bak anak TK (masa bahagia dalam hidup setiap orang). Semua orang tahu, masa usia SD sampai habis sekolah adalah masa penuh penderitaan dan beban. Pada masa dewasa, setiap orang dipaksa menerima kenyataan bahwa hidup memang ruwet.
Jika politik dimengerti sebagai kawasan di mana harus diusahakan agar kebijakan umum membikin setiap orang diperlakukan sama dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menempuh hidup yang wajar (adil dan sejahtera), segera akan disadari betapa rumit tugas menegakkan prinsip politik semacam itu. Tugas utama DPR bikin undang-undang (UU) atau bikin kebijakan publik, yang lazimnya dikaitkan dengan arus dana pemerintah [fiskal dan APBN] beserta kontrol pada pelaksanaan semua segi pemerintahan.
Dalam kaitan dengan UU, produk itu adalah hasil kerja DPR dan pemerintah. Jika seandainya ada pelanggaran UU, entah pidana entah perdata, tentulah akan tautologis saja jika sang wakil terus-menerus mengacu pada ayat dan pasal UU. Ini menjadikan DPR sebagai sebuah sistem tertutup yang bersifat self referential. Padahal, acuan DPR adalah ”adil dan sejahtera” alias kepentingan umum, publik. Jika para wakil itu dalam seluruh sepak terjangnya berbunyi terus- menerus secara ayat dan pasal, harus dimengerti mental ”legalisitik” yang sedang terjadi.
Legalisme itu dalam politik menjadi hal yang merugikan karena dengan itu, semua wakil ini terus-menerus akan menunjuk pada ”norma” dan bukan pada kenyataan yang sedang dan terus terjadi di masyarakat. Di segi yang lain, tiba-tiba saja para wakil itu seakan menjadi bukan sedang menjalankan fungsi legislasi dalam artinya yang terhormat dan mulia, melainkan sekadar menjadi tukang pidato atau pokrol bambu.
Tak pernah tampak di DPR kita sekarang bertumbuhnya kaidah juristik dalam perdebatan mereka. Juristik maksudnya adalah pandangan yang luas bahwa hukum positif adalah cuma sebagian dari keseluruhan corpus iuristici, kebijakan Nabi Sulaiman! Kretinisme parlementer maksudnya adalah jiwa dan roh yang besar tak bisa ditampung oleh tubuh kerdil [politik] dan nyata. Akibat dari kedua penyakit di atas itulah yang disebut kretinisme.
Opini Kompas 26 Mei 2010