Selain jiwa, korban paling mendasar adalah hilangnya kepercayaan bahwa sistem politik negeri itu mampu mengatur dirinya sendiri (self-regulating system). Ini tercermin dari tuntutan untuk mendapat bantuan PBB atau lembaga internasional lain dalam penyelesaian krisis itu.
Permintaan campur tangan asing datang dari pemimpin protes antipemerintah menanggapi tuntutan pemerintah yang mensyaratkan pembubaran demonstran untuk perundingan damai (Kompas, 19/5/10). Sebelumnya, Thaksin Shinawatra juga menyatakan akan minta bantuan PBB. Padahal, saat jadi perdana menteri (PM), ia dikenal dengan ucapannya, ”UN is not my father!”
Penyelesaian krisis memang perlu, tetapi meminta bantuan dari luar menunjukkan ketidakmampuan sistem politik mengatur dirinya sendiri dan bisa memunculkan keruwetan baru.
Dengan demikian, penyelesaian harus dilakukan para pemimpin Thailand sendiri. Bagaimana- pun juga krisis dan keruwetan politik juga dipicu oleh para elite politik dalam negeri. Penyelesaian bisa dilakukan dengan menghidupkan kekuatan-kekuatan dalam negeri yang memaksimalkan semangat kebersamaan dan kebangsaan, sekaligus meminimalkan semangat persaingan dan kepentingan kelompok.
Pertama, kaum muda Thailand perlu tampil. Mahasiswa bisa meninggalkan kampus sejenak untuk menyelesaikan krisis bangsanya. Seperti di Indonesia, mahasiswa Thailand sejak 1970- an selalu muncul dengan kekuatan dan keberaniannya dalam situasi krisis. Mereka tampil dengan agregasi kepentingan yang jelas bagi masa depan bangsa. Justru karena mereka berkepentingan terhadap masa depan bangsanya, semangat kenabian sering muncul.
Kedua, kita menunggu peran raja sebagai penyelesai persoalan. Posisinya sebagai kepala negara menjadi sentral dalam sistem politik Thailand karena ia masih dipercaya rakyat. Kendati kekuasaannya lebih bersifat simbolik, ia bisa meminta perdana menteri untuk membubarkan parlemen. Selama ini, raja memainkan peran penting dengan isyarat-isyarat politiknya.
Ketiga, kita menunggu ketegasan PM Abhisit Vejjajiva untuk membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum. Ketika terjadi krisis, rakyatlah yang harus berpendapat melalui pemilihan umum yang lumrah dalam sistem parlementer atau referendum.
Tuntutan para demonstran ”Kaus Merah” sejak Maret 2008 adalah pembubaran parlemen dan pemilihan umum dalam waktu satu bulan. Setelah bentrokan berdarah, PM Abhisit Vejjajiva akhirnya menjanjikan pembubaran parlemen pada September mendatang, diikuti pemilihan umum. Namun, pemimpin protes antipemerintah tetap menuntut satu bulan. Maka, protes terus berjalan dan makin besar sehingga menambah korban tewas dan luka-luka.
Abhisit seyogianya mengakomodasi tuntutan dengan menjadwalkan pembubaran parlemen dan pemilu lebih awal.
Keempat, para pemimpin protes antipemerintah sebaiknya juga menurunkan aksi galaknya. Dari siaran TV tampak kasatmata bahwa mereka agresif menyerang polisi, tentara, serta mengganggu dan merusak sarana publik. Ini mengesankan bahwa Kaus Merah ingin lebih banyak korban sebagai martir gerakan.
Kebrutalan juga menunjukkan bahwa mereka tidak lagi protes, melainkan sudah memberontak. Kaus Merah mestinya bubar begitu Abhisit bersedia memajukan jadwal pembubaran parlemen dan pemilihan umum.
Kelima, para pemimpin militer harus netral dan tidak terlibat dalam hiruk-pikuk itu. Tidak seperti di Indonesia, kaum militer di Thailand masih bermain politik secara kasatmata dan menggunakan kekuatan fisiknya. Dari siaran TV tampak para tentara di Bangkok menembak demonstran antipemerintah kendati mereka tidak sedang terancam jiwanya. Begitu militer terlibat politik praktis, yang muncul adalah komplikasi karena berbeda dan bertentangan dengan esensi profesinya.
Keenam, media juga perlu menahan diri dalam meliput krisis, terutama dalam menayangkan bentrokan fisik. Media massa, terutama televisi, justru bisa berperan mendinginkan suasana dengan tayangan yang hati-hati dan seimbang, tidak mengeksploitasi kejadian sebagai komoditas.
Opini Kompas 20 Mei 2010