Persoalan makin menarik karena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak mungkin lagi dicalonkan sebagai capres 2014 sehingga PD membutuhkan ikon baru. Meskipun tak otomatis, ketua umum berpotensi besar menggantikan posisi besar SBY.
Sejauh ini, baru Andi A Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, dua kader terdekat SBY, yang telah mendeklarasikan pencalonannya. Marzuki Ali, mantan Sekjen PD, yang juga santer disebut sebagai calon ketua umum, tampak masih wait and see. Lepas dari itu, munculnya kandidat muda jelas sangat mencerahkan. Ini berarti regenerasi kepemimpinan dalam PD cukup berhasil.
Sulit diingkari, dalam masyarakat yang masih patrimonial seperti Indonesia, faktor ketokohan masih sangat signifikan. Kuatnya pengaruh SBY tak hanya terlihat dalam dua pilpres yang dimenanginya, melainkan juga pemilu legislatif (pileg). SBY seolah jadi mesin pengeruk suara bagi caleg PD seperti terlihat dari banyaknya pemilih yang mencontreng tanda gambar PD ketimbang calegnya. Sebagai pemimpin, SBY tak hanya dikenal cerdas, tetapi juga santun, hati-hati, perhatian kepada lawan bicara, tak emosional. Mengutip penuturan seorang anggota KPPS dari pinggiran Kota Padang, SBY digambarkan para pemilihnya sebagai ”urang panyaba” (orang penyabar).
Disukai atau tidak, secara tersirat hasil pilpres yang diperoleh SBY mengindikasikan karakter ideal yang seharusnya dimiliki pemimpin politik Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, tipe kepemimpinan seperti Soekarno yang ekspresif dan meledak-ledak hanya cocok untuk era revolusi. Akan tetapi, tidak demikian halnya pascarevolusi.
Sebagai masyarakat yang memandang penting harmoni sosial, karakter tersebut justru dianggap kurang mencerminkan kewibawaan dan sekaligus kemampuannya dalam mengontrol dan menguasai dirinya. Selain itu, pemimpin dengan karakter seperti itu sulit jadi pengayom rakyat karena cenderung menimbulkan kontroversi.
Sesungguhnya, tipe kepemimpinan itu tak berkaitan dengan etnik Jawa. Secara umum, karakter kepemimpinan Akbar Tandjung yang bukan Jawa banyak mirip SBY. Pada awal era reformasi, Golkar mengalami hujatan keras dan membuatnya terempas pada pemilu 1999. Namun, dengan sosoknya yang tenang, Akbar berhasil mengembalikan kejayaan partai pada pemilu 2004.
Sosok kepemimpinan tersebut juga dimiliki Anas. Selama ini, pernyataan-pernyataan politiknya cukup terjaga, menyejukkan, dan tidak menimbulkan kontroversi SARA. Kepiawaiannya berbahasa Indonesia yang baik bahkan mendapat pengakuan resmi dari Kemendiknas pada tahun 2008. Bisa dipahami bila dalam pileg dan pilpres 2009, Anas kerap tampil dalam pertemuan pers, termasuk di Cikeas, mewakili SBY/ PD untuk menjelaskan hal-hal yang krusial dan sensitif.
Seperti halnya SBY, Anas juga memiliki intelektualitas memadai yang dibutuhkan seorang pemimpin. Sebagai pemikir muda PD, ia terbilang produktif. Tak kurang dari sembilan buku diterbitkannya, seperti Bukan Sekadar Presiden, Takdir Demokrasi, Menjemput Pemilu 2009, dan Menuju Masyarakat Madani: Pilar dan Agenda Pembaruan. Buku Bukan Sekadar Presiden membuktikan kemampuannya memahami pemikiran dan kebijakan SBY dari jarak dekat. Ini penting karena bagaimanapun para penerus PD harus bisa menerjemahkan pemikiran politik SBY.
Dengan karakter dan kualitas intelektual ini, sangat mungkin tongkat estafet kepemimpinan PD dipercayakan ke Anas. Hal ini tampak jelas dari survei LP3ES, Maret 2010. Survei dengan metode wawancara langsung tatap muka dengan 481 ketua DPD dan DPC PD seluruh Indonesia menempatkan Anas di peringkat pertama (46,2 persen), disusul Marzuki Ali (21,1 persen).
Pengalaman sebagai mantan Ketua HMI dan pimpinan KAHMI jadi modal penting yang memperlihatkan luasnya jaringan sosialnya, khususnya dengan organisasi dan masyarakat Islam sebagai konstituen terbesar masyarakat Indonesia. Apalagi sebagaimana terlihat dari buku Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, Anas adalah sosok inklusif yang bisa menerima perbedaan dan kemajemukan.
Kritik yang menyatakan Anas (dan juga Marzuki Ali sebagai Ketua DPR) gagal menangkal kasus Century, tak bisa dijadikan dasar pembenaran. Siapa pun yang menduduki posisi keduanya sangat mungkin bernasib serupa karena kasus tersebut telah telanjur jadi bola liar. Seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution, itu tak akan terjadi bila sejak awal SBY dengan tegas menyatakan tanggung jawabnya.
Di tengah persaingan ketat antarpartai ke depan, PD harus bisa menangkap sosok pemimpin yang diidealkan publik dan yang telah teruji elektabilitas serta kepemimpinannya. Faktor popularitas tak selalu berkorelasi positif dengan elektabilitas dan kepemimpinan. Seperti Yusril Ihza yang gagal membesarkan PBB, hal yang sama dialami Andi. Dalam Pemilu 2004, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) yang didirikan Andi bersama Ryaas Rasyid hanya memperoleh 1,16 persen suara. Andi juga belum mampu menunjukkan elektabilitasnya karena pada Pemilu 2004 ia gagal jadi anggota DPR dari PPDK. Berbeda dengan Anas yang dalam Pemilu 2009 telah membuktikan elektabilitas, setidaknya sebagai anggota DPR.
Opini Kompas 20 Mei 2010