19 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Membangun Generasi Berkarakter

Membangun Generasi Berkarakter

SUDAH 65 tahun negara ini merdeka tetapi pendidikan masih menghadapi kendala dan masalah. Identifikasi permasalahan pendidikan, khususnya terkait dengan pencapaian tujuan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) relatif mudah dikenali.

Data statistik menyebutkan bahwa sekitar 70% penduduk berusia 10 tahun ke atas masih berpendidikan tamat sekolah dasar atau kurang sehingga dapat diperkirakan bagaimana kemampuan mereka mencapai prestasi yang kompetitif pada masa mendatang.

Sisdiknas juga masih bergulat dengan kerancuan makna kualitas manusia yang menjadi sasaran utama proses pendidikan. Definisi operasional mengenai manusia beriman dan bertakwa belum digarap serius, kalau tidak ingin dikatakan memang sengaja diambangkan. Padahal hal itu amat vital dalam menentukan nasib bangsa pada masa mendatang.


Ditinjau dari sisi ketenagakerjaan maka masalah pendidikan berkait pula dengan pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran hakikatnya ditentukan oleh perimbangan yang meliputi dua aspek pokok, yakni jumlah pencari kerja dengan jumlah kesempatan kerja, dan aspek kecocokan antara kualitas pekerja dan macam pekerjaan yang tersedia.

Kualitas tenaga kerja (naker) umumnya ditentukan oleh sistem pendidikan, sedangkan jumlah pekerjaan lebih ditentukan oleh sistem perekonomian. Jadi, permasalahan ketenagakerjaan tidak dapat mengabaikan aspek sistem perekonomian yang sedang diterapkan oleh negara mengingat sistem perekonomian itulah yang akan memproduksi pekerjaan.

Sistem ekonomi berimbas pula pada sistem pendidikan. Pada kenyataannya, di negara berkembang seperti Indonesia, penduduk tidak banyak terpengaruh oleh penurunan pajak, juga masih lemah usahanya untuk mampu memanfaatkan bunga bank yang rendah sewaktu ada penurunan bunga.

Fakta menunjukkan sistem ekonomi barat tidak berjalan mulus untuk pembangunan di negara berkembang. Apalagi bagi negara kita yang mayoritas penduduknya muslim yang menganggap praktik bunga dalam proses pinjam-meminjam bertentangan dengan ajaran agama, sedangkan pajak masih diperdebatkan kemanfaatannya karena masih dipisah dari kewajiban zakat dan infak.

Waktu Panjang

Pertumbuhan ekonomi nasional secara makro dalam tiga tahun terakhir ini dikatakan meningkat tajam dengan cadangan nasional dilaporkan makin tinggi. Hal itu ternyata karena prestasi sekelompok kecil konglomerat nasional dan internasional belaka, melalui proses perdagangan saham dan investasi skala besar yang keuntungannya juga hanya dinikmati oleh mereka.

Dengan demikian tidak mengherankan setelah berusaha keras melaksanakan pembangunan selama puluhan tahun, termasuk memberi prioritas utama pada sektor ekonomi, hasilnya tetap menyedihkan, masih jauh dari harapan. Sebagai penyejuk hati kadang dikatakan bahwa pembangunan memang memerlukan waktu amat panjang. Tidaklah terpikir akan alternatif lain, yakni setelah ada  kesalahan memilih sistem perekonomian sehingga kondisi ekonomi bangsa tetap lemah .Tidakkah terpikir pendekatan lain dalam upaya memajukan bangsa selain hanya dari sudut pandang ekonomi agar bangsa terangkat dari keterbelakangannya?

Aksioma syariah jelas menyatakan bahwa segala kekuatan itu datangnya dari Allah dan prosesnya berawal dari manusianya, bukan materi yang dimiliki manusia. Manusia berkualitas tidaklah diukur dari jumlah uang yang dimilikinya tapi lebih ditentukan oleh kekokohan akidahnya, keluhuran budi pekertinya, dan banyaknya ilmu yang dimiliknya, sehingga mampu bergelut memerangi segala problematikanya secara lebih rasional dan bekerja jujur agar keluar dari penderitaan yang dialaminya.

Karena itu, mengangkat keterbelakangan suatu masyarakat harus dimulai dari upaya meningkatkan kekokohan akidah manusianya, menambah kemampuan keilmuannya, dan memperbesar semangat gotong-royong dari masyarakat yang saat ini dirasakan makin memudar.

Di sini yang dijalankan haruslah sistem ekonomi yang menunjang terbentuknya kalbu yang takwa dan menumbuhkan rasa gotong-royong, bukan sistem ekonomi eksploitatif dan menumbuhkan orang yang materialistik, yang hanya menguntungkan si modal kuat dan meninggalkan si modal lemah.

Pendidikan yang tidak larut pada ekonomi kapitalis itulah yang mampu mengubah pola pikir bangsa dan mengubah pendekatan pembangunan nasional yang akan dilaksanakannya. Tentunya bila paradigma pendidikan yang digunakan memang benar. (10)

— Hajjah Wuryanti Koentjoro SE MM, doktor ekonomi Islam Unissula Semarang

Wacana Suara Merdeka 20 Mei 2010