SEBAGAI sebuah bangsa, Indonesia memiliki banyak hari dan tanggal yang diperingati secara khusus. Bulan ini saja kita memiliki dua tanggal yang ditetapkan sebagai hari peringatan nasional, yaitu 2 Mei Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Menjadi menarik untuk dikaji, ketika peringatan-peringatan itu hanya menjadi kegiatan seremonial rutin, tanpa membawa makna dan tanpa membawa perubahan. Menurut penulis, yang terjadi selama ini memang hanya seremonial.
Setiap tahun kita memperingati Hardiknas tetapi dunia pendidikan tetap penuh dengan masalah. Setiap tahun kita juga memperingati Harkitnas namun bangsa ini bukannya bangkit dari keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, tapi justru muncul berbagai permasalahan yang makin rumit.
Tahun 2008, peringatan 100 tahun Harkitnas dilakukan secara besar-besaran dengan slogan Indonesia Bangkit. Namun seperti kita lihat, belum ada kebangkitan bangsa ini dalam semua aspek kehidupan. Jumlah pengangguran tetap tinggi, jumlah penduduk miskin tidak berkurang secara signifikan, dan pendidikan makin sulit diakses rakyat miskin.
Belum lagi kehidupan politik dan berdemokrasi belum memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyat, penegakan hukum makin jauh dari rasa keadilan, kekerasan makin menjadi tren dalam masyarakat, korupsi juga tidak memperlihatkan tanda-tanda berkurang, bahkan dalam aspek olahraga pun bangsa ini terpuruk meskipun hanya dalam level Asia Tenggara.
Boedi Oetomo yang didirikan tahun 1908 oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan, dalam sejarahnya menjadi titik tolak dan pemicu pergerakan bangsa Indonesia untuk terbebas dari cengkeraman penjajah. Dari titik tolak itu, maka terjadilah gerakan Sumpah Pemuda tahun 1928 dan bermuara pada kemerdekaan pada tahun 1945.
Maka sudah seharusnya, peringatan Harkitnas juga menjadi titik tolak bagi bangsa ini untuk keluar dari segala belitan masalah yang mendera rakyat. Kemajuan dan kesejahteraan bangsa tidak ditentukan oleh usianya. Banyak negara yang usianya masih muda namun telah menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, misalnya Singapura.
Kemajuan dan kesejahteraan tidak juga ditentukan oleh sumber daya alam yang dimiliki. Swiss dan Jepang dengan sumber daya alam yang tidak melimpah seperti kita, mampu menjadi negara yang maju dan sejahtera.
Perubahan Dahsyat
Rheinald Kasali (2010) dalam bukunya Myelin: Mobilisasi Intagibles Menjadi Kekuatan Perubahan, menyebut sikap dan perilaku dasar itu sebagai intangibles internal. Jika kekuatan intangibles itu dapat dimobilisasi, maka akan menjadi kekuatan perubahan yang dahsyat.
Jika kita sebagai bangsa sungguh ingin bangkit, maka tidak ada cara lain kecuali dengan mengubah sikap dan perilaku dalam hidup. Memang tidak mudah, namun harus dilakukan. Menurut penulis, untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat, kita perlu mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. Tantangan berat yang saat ini ada dalam masyarakat kita adalah apa yang disebut oleh Gun R Semin & Klaus Fiedler (1996), dalam bukunya Applied Social Psychology sebagai konformitas semu.
Artinya bahwa banyak anggota masyarakat menyelaraskan sikap dan perilakunya dengan perilaku orang lain yang sesungguhnya salah. Sikap dan perilaku yang salah akhirnya malah menjadi pedoman. Sebagai contoh, jika kita amati ketika traffic light menyala lampu kuning semua pengendara justru akan menambah kecepatannya, bukannya berhati-hati dengan mengurangi kecepatan seperti diajarkan oleh guru kita sejak di taman kanak-kanak.
Menurut penulis, sikap dan perilaku dasar dalam kehidupan dapat dibentuk melalui pendidikan. Sebagai sebuah proses, pendidikan harus mampu membentuk kebiasaan-kebiasaan positif. Untuk mewujudkan hal itu, yang harus dilakukan adalah meredefinisi peran pengajar (baik guru maupun dosen) agar tidak hanya menjalankan tugas mengajar atau kuliah seperti yang ditugaskan kepadanya.
Peran paling mendasar dari seorang guru dan dosen sesungguhnya adalah menjadi teman, motivator sekaligus model bagi terbentuknya kebiasaan-kebiasaan baik dari peserta didiknya. Kejujuran, etika, kerja keras, kedisiplinan, tanggung jawab, dan empati seharusnya dipancarkan, dikobarkan dan diteladankan oleh setiap guru dan dosen dalam aktivitas pembelajaran. (10)
— Ferdinand Hindiarto SPsi MSi, Wakil Rektor III Unika Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 20 Mei 2010