Oleh Y. Herman Ibrahim
Yang selalu menarik di setiap perhelatan kongres, munas atau muktamar organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan adalah siapa yang menjadi suksesor atau pelanjut dari ketua umumnya. Masyarakat jarang memperhatikan agenda partai atau ormas, bahkan para peserta kongres pun lebih tertarik dan serius memperbincangkan siapa yang akan menjadi ketua umumnya daripada pertanggungjawabannya.
Yang menarik dalam kongres Partai Demokrat adalah tampilnya kandidat ketua umum yang berasal dari generasi muda. Selama kurang lebih sepuluh tahun Partai Demokrat dipimpin pendirinya, Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian digantikan saudara iparnya Hadi Utomo, sudah sepantasnya generasi muda mengambil alih estafet kepemimpinan.
Banyak kalangan politisi dan pengamat yang tergesa-gesa membicarakan siapa dari kandidat Andi Malaranggeng, Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie yang layak dan akan memenangi kompetisi tersebut. Yang menarik, media pun turut meramaikan arena kampanye kepada publik melalui iklan dan berbagai hasil survei jajak pendapat. Asumsinya, pemegang hak suara dalam kongres Partai Demokrat akan merujuk kepada pendapat umum. Tidak heran jika kandidat banyak memasang iklan di televisi, media cetak, bahkan di dunia maya seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tentu cara itu tidak salah karena partai politik sebesar Demokrat adalah benar-benar milik publik. Lagi pula bukankah raihan suara yang akan diperoleh pada Pemilu 2014 akan banyak ditentukan oleh pendapat publik.
Meski demikian dalam sistem kepartaian kita cara berpikir konvensional seperti itu tidaklah tepat. Pada Pemilu 2009 Partai Demokrat meraih suara terbanyak bukan karena kepiawaian para kadernya ataupun ketua umumnya, melainkan karena faktor Susilo Bambang Yudhoyono. Jika demikian, seberapa besar pengaruh survei dan iklan di masyarakat umum kepada raihan suara sesungguhnya akan ditentukan seberapa besar pengaruh iklan tersebut kepada Yudhoyono. Tentu Yudhoyono akan mempertimbangkan opini publik yang direpresentasi hasil survei dan persepsi masyarakat terhadap ketiga kandidat. Namun dalam sistem politik yang memiliki akar panjang feodalisme, keputusan yang diambil tidak selamanya berdasarkan pertimbangan rasional. Bagi Yudhoyono, kehadiran pemimpin dan kader Demokrat dengan segala prestasi dan pengabdiannya harus menjamin kelangsungan dan kelanjutan dari nilai-nilai dan ideologi yang dibangun Yudhoyono.
Jika analisis ini benar, penulis menduga, kompetisi belum tentu dimenangkan oleh kandidat yang mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat umum. Yang sulit diprediksi adalah persepsi internal partai politik yang suka tidak suka akan banyak menunggu isyarat dari ketua dewan pembina. Akan tetapi, jika itu merupakan hal yang sulit, sesungguhnya lebih sulit lagi memprediksi keinginan Yudhoyono. Sampai tulisan ini dibuat, Yudhoyono tidak banyak memberikan komentar, kecuali pernyataannya, pemilihan ketua umum harus fair, bersih, dan demokratis.
Kongres Partai Demokrat ke-2 ini sesungguhnya berada pada iklim kurang menguntungkan karena berada pada situasi merebaknya berbagai isu korupsi yang berdampak pada pencitraan partai. Berbagai kasus yang belum tuntas datang bergelombang mulai dari isu Bank Century, Cicak dan Buaya, korupsi lintas aparat (dalam kasus Gayus), politisasi kasus Susno Duadji, dan isu ikhwal dibentuknya sekretariat gabungan koalisi yang sarat dengan tudingan oligarki dan kartel politik. Yang sedikit menolong adalah keberhasilan Polri/pemerintah menumpas terorisme.
Namun, situasi politik yang paling diperhitungkan oleh Yudhoyono tentu saja adalah perkembangan politik dan konsolidasi partai bagi pemenangan Pemilu 2014. Jika tidak ada perubahan konstitusi, Yudhoyono tidak akan bisa mencalonkan lagi sebagai presiden. Repotnya adalah dua kali masa jabatan tampaknya tidak cukup waktu bagi Yudhoyono untuk mempersiapkan penggantinya.
Itulah sebabnya kekuasaan haruslah diserahkan kepada pengganti yang paling dipercaya. Masalahnya adalah apakah pengganti itu harus orang yang dipercaya oleh masyarakat pemilih atau oleh Yudhoyono. Di sinilah letaknya perbedaan posisi yang terjadi di antara para pewaris Partai Demokrat.
Di tingkat kepemimpinan nasional, Pemilu 2014 bangsa ini akan kehilangan calon-calon tua, kecuali jika Megawati mencalonkan diri lagi. Dalam hitungan saya, jumlah partai yang masih ada di Senayan pun akan semakin berkurang, terutama jika parliamentary threshold diberlakukan lima persen. Jika itu terjadi, saya menghitung hanya ada Partai Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS yang memperoleh kursi di parlemen. Pertanyaannya, siapakah calon presiden dari Partai Demokrat? Jika Yudhoyono berani dan tampaknya harus berani, dia harus menjalankan politik dinasti.
Politik dinasti bukanlah sesuatu yang haram. Di negara-negara demokrasi seperti AS, India, Singapura, Filipina, kepemimpinan nasional banyak dilanjutkan oleh kalangan keluarga. Fenomena pemilukada yang juga menampilkan kandidat anak atau istri incumbent tengah marak dan berproses di negeri ini. Jika keluarga bupati dan wali kota bisa memenangi pemilukada bukankah itu bisa terjadi di tingkat nasional. Politik dinasti di tingkat lokal akan menjadi legitimasi bagi kompetisi capres di tingkat nasional.
Analisis ini harus diakhiri dengan kalimat pengaman bahwa suksesi Partai Demokrat ke-2 akan menghasilkan suksesor yang simetris dengan opini publik atau bertolak belakang dengan pendapat umum. Kalimat yang tepat adalah biarlah Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih tahu dan tentu Tuhanlah Yang Maha Tahu. Wallahualam.***
Penulis, pengamat politik dan militer.
opini pikiran rakyat 20 mei 2010