Oleh Petrus Suryadi Sutrisno
Tim Investigasi Kemanusiaan Palang Merah Indonesia atas Peristiwa Koja Tanjung Priok Jakarta Utara telah menyerahkan laporan resmi berikut tujuh rekomendasinya kepada Gubernur Fauzy Bowo. Salah satu rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa media massa harus bekerja profesional.
Bagaimanapun, hasil kerja tim yang dipimpin Ulla Nuchrawaty yang beranggotakan 72 orang dengan masa kerja mulai minggu ketiga April sampai awal Mei 2010 dengan mewawancarai hampir seratus sumber patut diapresiasi, lepas dari metode dan kompetensi teknis yang digunakan.
Yang patut dipertanyakan adalah mengapa rekomendasi Tim Investigasi Kemanusiaan PMI tersebut menyebutkan bahwa media massa harus bekerja profesional? Dari sisi text and talks analysis (analisis yang tertulis dan terucapkan) konten media massa, hasil investigasi PMI (terhadap aspek media massa kasus Koja Tanjung Priok) jelas-jelas menyimpulkan bahwa media massa telah melakukan praktik yang salah atau "malapraktik" dalam liputan, penyiaran, dan penerbitan Tragedi Makam Mbah Priok.
Rekomendasi PMI yang menyangkut media massa ini ada kaitannya dengan apa yang menjadi rapid assessment yang dilakukan Lembaga Kajian Informasi terhadap pemberitaan media cetak dan media televisi yang berkaitan dengan peristiwa di Makam Mbah Priok, Koja Tanjung Priok Jakarta Utara.
Permintaan PMI agar media massa harus bekerja profesional muncul akibat adanya pendapat bahwa media massa dianggap sebagai provokator karena tayangan media TV menjadi pemicu timbulnya "amuk massa".
Sesungguhnya, media massa hanya melaporkan secara objektif, memberitakan dan menayangkan fakta dan data di tempat peristiwa terjadi secara pas, tidak kurang, tidak lebih. Dari kaidah dan etika jurnalistik serta proses komunikasi media massa , tidak ada satu pun yang dilanggar atau diabaikan. Jika terjadi pelanggaran kaidah, etika, dan proses jurnalistik yang tergolong "tidak profesional" atau "malapraktik", maka publik bisa mengadukan kepada Dewan Pers sebagai delik aduan pers (media massa).
Kita tidak bisa membayangkan apa kata dunia luar jika media massa Indonesia tidak boleh melakukan peliputan "langsung" (live) hanya karena pertimbangan dampak pemberitaan media TV yang dapat memicu amuk massa dan bentrokan rakyat dengan aparat Satpol PP yang tak terhindarkan. Sementara media asing di Indonesia dapat leluasa meliput dan menyiarkan secara langsung peristiwa di Tanjung Priok tersebut.
Dalam konteks ini, maka kanalisasi informasi hanya bisa berlangsung sesaat karena dalam konsepsi arus "information superhighway" atau arus informasi bebas hambatan (Al Gore, 1994) akan membuka semua sumbatan, pembendungan, atau kanalisasi informasi apa pun. Dan tidak mustahil memunculkan informasi melalui saluran informasi komunikasi nonmedia, komunikasi media alternatif, dan bahkan media bawah tanah.
Melalui reduksi terhadap konten media massa, "kanalisasi" dan "pembendungan" arus dan limpahan informasi hanya merupakan upaya yang sia-sia karena seberapa besar kekuatan untuk mereduksi, menganalisis, dan membendung informasi tidak akan mampu menahan daya kekuatan gelombang informasi global. Limpahan siaran TV di Jerman Barat mampu menembus wilayah Jerman Timur dan mendorong rakyat merobohkan Tembok Berlin. Begitu juga "bendung" dan "blokade" informasi/siaran media radio televisi di bekas negeri Uni Soviet, bobol dan mendorong gelombang glassnot dan perestroika. Hal ini sama halnya dengan dinamika cuo moi dan du moi di Vietnam.
Apakah konten media massa tentang peristiwa lain yang bernuansa kekerasan dengan korban jiwa dan luka-luka serta bersimbah darah yang juga sama-sama ditayangkan - diekspose pada saat peristiwa Tanjung Priok 14 April seperti bentrokan kelompok "Kaus Merah" pendukung Thaksin dengan tentara Thailand atau konflik dan tindak kekerasan di Kyrgistan mampu membawa reperkusi di Indonesia?
Tayangan eksklusif televisi soal drama pengepungan teroris oleh Satuan Densus Antiteror secara terus-menerus dan berulang kali ternyata tidak memprovokasi teroris lainnya untuk menyerahkan diri atau justru memperbanyak pelaku teror di Indonesia. Jika ini terjadi, maka apakah tayangan penyergapan teroris harus ditiadakan?
Pemberitaan media cetak dan tayangan televisi tentang kerusuhan Mei 1998 justru telah mendorong seorang Soeharto sebagai pemimpin tergerak melihat suasana Jakarta lautan api sekembalinya dari kunjungan kenegaraan ke Kairo. Soeharto melalui helikopter melihat situasi Jakarta dalam lautan api dan banjir darah sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Rekomendasi Tim Investigasi Kemanusiaan PMI atas Tragedi Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara yang meminta media massa harus bekerja secara profesional, merupakan suatu hal yang tidak patut dan tidak perlu dimintakan kepada komunitas media massa. Harus dibuktikan temuan "tidak profesional" oleh pakar atau praktisi media massa ini karena jika tidak, maka rekomendasi dianggap melecehkan komunitas dan profesi media massa. Bahkan nyata-nyata merupakan ancaman, intervensi, dan reduksi bagi arti dan implementasi kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang No.40 Tahun 1990 tentang Pers.***
Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan konsultan/pengajar senior komunikasi.
opini pikiran rakyat 20 mei 2010