DI Solo beberapa waktu lalu muncul perdebatan dari beberapa pakar menyangkut perubahan nama Surakarta menjadi Solo. Polemik itu bukan kali pertama karena tahun 1998 wacana mengubah nama kota ini pernah mengemuka saat DPRD membentuk Panitia Khusus Hari Jadi Kota Solo.
Waktu itu pun terjadi pro dan kontra di DPRD dan eksekutif. Tapi lantaran kala itu Pansus cuma menetapkan hari jadi maka ikhwal perubahan nama itu tak diamini semua pihak. Hal itu berbeda dari polemik episode kedua yang melibatkan sejarawan Soedarmono dengan ahli filologi Nancy K Florida yang saling sanggah di media cetak.
Debat panjang tentang asal-muasal nama kota itu dipicu oleh Paguyuban Pensiunan Pegawai Pemkot Solo yang menghendaki perubahan nama Kota Surakarta menjadi Kota Solo atau Sala. Mereka mengusulkan perlu segera mengubah nama kota lantaran masyarakat lebih akrab dengan kata Solo atau Sala ketimbang Surakarta.
Aneka produk branding pun menggunakan Solo, misalnya Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan juga slogan Solo Berseri Tanpa Korupsi.
Soedarmono dalam artikelnya yang menantang Salakarta apa Surakarta? (Solopos, 22/02/10). Dia menjelaskan, beberapa dokumen lokal tidak pernah menyebutkan fakta mengenai nama Kartasuro menjadi kepanjangan Surakarto.
Penyebutan nama Kutho Sala menjadikan wacana yang lebih aktual karena nama itu kepanjangan dari Desa Salakarta. Ini merupakan bukti nyata orang-orang yang hidup di zamannya amat kukuh mematuhi kaidah-kaidah bahasanya dan konsisten mempertahankan ejaan kejawaannya.
Dia malah menuding para peneliti kini cenderung mengabaikan ejaan Jawa dan kosa kata kejawaannya karena begitu mudahnya fakta-fakta itu dianulir menjadi ketatabahasaan yang mengindonesia.
Perubahan sebutan Salakarta menjadi Surakarta terjadi semenjak surutnya gelar dan jabatan baru nama karesidenan. Dalam epilognya, Soedarmono yang lama menekuni dunia kesejarahan Solo mengatakan nama Sala lebih afdol daripada Surakarta yang berbau kolonial.
Dua hari kemudian koran yang sama menurunkan artikel ””bantahan”” Nancy K Florida yang kebetulan berada di Solo, menangkis opini Soedarmono. Filolog yang 30 tahun menggeluti naskah lawas ini meluruskan bahwa di Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Pakepung,
Babad Sangkala, Babad Itih, atau Babad Surakarta, kata yang justru sering ditemui adalah Surakarta. Penyebutan Surakarta untuk negeri dan masyarakat yang tinggal di kota dimulai sehabis perpindahan keraton.
Meskipun begitu, sulit disangkal kata Sala juga bertahan hidup di tengah masyarakat sebagai nama alternatif. Ia menduga, nama Solo mulai populer di penghujung abad ke-19, saat Belanda memperlakukan struktur pemerintahan dobel di Surakarta.
Latar Belakang Agar makin paham mengenai seluk-beluk sejarah muasal nama kota itu perlu membuka catatan S Poedjowardojo dan Karjana Prawirasoebrata yang berjudul Desa Itu Namanya Sala. Karya dua tokoh ahli bahasa Jawa ini menuliskan latar belakang mengapa disebut Sala karena pertama, tanah yang dijadikan tempat Keraton Surakarta dulunya dihuni Ki Ageng Sala.
Kedua, daerah persilangan antara Bengawan dan Kali (Sungai) Pepe itu dulu ditumbuhi pohon solo (Pinus mercutii). Pohon sebangsa cemara ini bergetah dan dapat dimanfaatkan untuk campuran minyak cat dan gandarukem. Ketiga, nama Sala mestinya diucapkan menurut lidah Jawa: sa-legena dan la-legena.
Ditinjau dari aspek kehidupan sosial budaya, pro dan kontra tidak begitu vital. Sebab, baik nama Solo, Sala, Surakarta atau bahkan Kota Bengawan telah merasuk dalam struktur kesadaran kolektif sosial.
Bukan berarti masyarakat tidak memedulikan kaidah bahasa, namun mereka lebih menginginkan kehidupan yang makin harmonis antarsesama dan merindukan kedamaian karena bila merujuk lembaran sejarah lokal, tergores belasan kali konflik etnis dan ketegangan akibat radikalisasi di kota yang multietnis ini. Jadi, wajar jika warga tidak ambil pusing dengan saling silang sejarah nama kotanya.
Lagi pula, berapa besar biayanya seandainya perubahan nama itu benar-benar direalisasikan, yang berarti harus mengganti stempel, papan nama, kop surat dan sebagainya, yang terkait dengan berbagai instansi. (10)
— Heri Priyatmoko, kolumnis Solo Tempo Doeloe
Wacana Suara Merdeka 20 Mei 2010