04 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Tahun Pemilukada 2010

Tahun Pemilukada 2010

Oleh ATIP TARTIANA

Tahun 2010 merupakan tahun pembuka pesta demokrasi lokal selepas Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Sebutan itu dirasa tidak berlebihan mengingat pada 2010 akan digelar agenda pesta demokrasi di 246 daerah, masing-masing 7 pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub), 204 pemilihan bupati dan wakil bupati (pilbup), serta 35 pemilihan wali kota dan wakil wali kota (pilwalkot).


Di Provinsi Jawa Barat khususnya, pesta demokrasi lokal 2010 akan digelar di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok. Dua kabupaten lain akan mengawali tahapan pilbup pada 2010. Dinamika komunikasi politik di daerah-daerah ini pun sudah menjadi agenda penting media massa lokal. Para bakal calon dari parpol dan perseorangan, termasuk yang berlatar belakang artis/selebriti pun sudah mulai berbicara di media massa. Bahkan di provinsi lain, seorang calon gubernur sudah mengiklankan dirinya di televisi nasional.

Ini boleh jadi merupakan sinyal positif bagi dinamika budaya politik lokal di Indonesia. Meskipun negeri ini baru saja melewati Pemilu 2009 dengan berbagai problem dan dinamika di dalamnya, spirit politik masyarakat untuk berpartisipasi dalam pilgub/pilbup/pilwalkot pada tahun ini menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. Pilgub/pilbup/pilwalkot bukan lagi menjadi wacana elite politik, tetapi juga publik, terutama yang memiliki akses media.

Sekalipun demikian, hingga kini media massa, publik, dan elite parpol daerah tampaknya lebih akrab menyebut agenda politik tersebut dengan istilah ”pilkada” --akronim dari pemilihan kepala daerah-- ketimbang istilah ”pemilukada” --akronim dari pemilihan umum kepala daerah-- yang mulai dikenalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Banyak orang mengaku asing dengan istilah ”pemilukada”. Bahkan seorang wartawan dalam suatu wawancara sempat serius bertanya perihal perbedaan pilkada dengan pemilukada.

Pilkada dan pemilukada adalah dua agenda politik lokal yang masing-masing berkiblat pada rezim yang berbeda. Pilkada merujuk pada rezim pemerintah daerah (pemda), sedangkan pemilukada mengacu pada rezim pemilu. Memang dalam UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Bab VII B tentang Pemilu, tidak ditemukan satu kali pun istilah pemilukada. Pemilu, sebagaimana disebutkan pada Ayat (2) Pasal 22 E UUD 1945, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, serta DPRD.

Istilah pemilukada baru dapat ditemukan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (4) yang berbunyi ”Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendeknya, berdasarkan UU tersebut, pilgub/pilbup/pilwalkot merupakan bagian dari pemilu eksekutif --selain pemilu presiden-- yang wewenang penyelenggaraannya berada di tangan KPU.

Regulasi untuk memilih gubernur/bupati/wali kota memang tak dijabarkan secara rinci dalam UU 22/2007. Lagi pula regulasi yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot selama ini adalah UU No. 32/2004 tentang Pemda sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP 49/2008. Namun istilah yang muncul dalam regulasi tersebut bukanlah pemilukada, tetapi pilkada.

Spirit pemilukada

Dalam konteks penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot, UU 22/2007 memiliki spirit yang berbeda dengan UU 32/2004. Spirit yang berbeda di antaranya dapat dilihat pada ranah pertanggungjawaban. Berdasarkan UU 22/2007, KPU provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab kepada KPU pusat. Namun dalam UU 32/2004 disebutkan, KPU provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab kepada DPRD.

Begitu pula dalam hal teknis seperti pemungutan suara, pilkada merujuk pada UU 32/2004 menggunakan cara mencoblos. Namun, rezim pemilu merujuk pada UU 10/2008 tentang Pemilu sudah menggunakan cara mencontreng. Terbuka pula ruang untuk menggunakan KTP seperti Pilpres 2009 lalu. Selain itu, UU 32/2004 masih mengenal kartu pemilih, sedangkan UU 10/2007 tidak mengenal kartu pemilih.

Sebagai konsekuensi mengikuti spirit UU 22/2007, KPU tidak lagi menyebut agenda pilgub/pilbup/pilwalkot dengan istilah pilkada, tetapi pemilukada. Namun, tiadanya undang-undang yang mengatur secara rinci tentang pemilukada, jelas membuat KPU provinsi dan kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pemilukada tahun ini kerepotan dan gamang dalam menentukan acuan regulasi yang akan dipakai. Kegamangan bahkan telah menghantui KPU provinsi dan kabupaten/kota sejak memulai proses penyusunan tahapan, jadwal, dan program pemilukada yang harus ditetapkan dalam bentuk keputusan. Problemnya, KPU provinsi dan kabupaten/kota tak bisa sembarangan berinisiatif membuat suatu keputusan tanpa berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

Ketidakpastian regulasi ini sesungguhnya berpotensi melahirkan banyak kasus pelanggaran dan sengketa pemilukada. Mengingat hal itu, elite politik semestinya sejak jauh-jauh hari melakukan langkah-langkah konkret menyediakan payung hukum pemilukada. Namun hingga hari ini, harapan tersebut belum menampakkan kenyataan.
Inisiatif

Sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilukada, KPU tentu tak bisa menunggu lama dalam keadaan pasif. Maklum, pemilukada 2010 yang akan digelar di berbagai daerah sudah disepakati tak bisa ditunda-tunda lagi. Syukur, KPU baru-baru ini berinisiatif menerbitkan berbagai peraturan pemilukada. Langkah ini patut mendapat apresiasi positif dari semua pihak.

Kita memang tak bisa menutup mata kalau beberapa ketentuan dalam UU 32/2004 masih diadopsi dan mengisi pasal-pasal dalam peraturan KPU. Dalam Peraturan KPU No. 72/2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di TPS misalnya, masih muncul ketentuan penggunaan kartu pemilih dan teknis pemungutan suara dengan cara mencoblos. Padahal, kedua hal itu sudah ditinggalkan dalam Pemilu 2009.

Terlepas dari itu, terbitnya berbagai peraturan KPU tentang pemilukada membuat KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa bernapas lega. KPU provinsi dan kabupaten/kota kini telah memiliki pijakan yang jelas dalam menyelenggarakan Pemilukada 2010. Kita berharap berbagai peraturan KPU tentang pemilukada bisa menjadi kado ”manis” awal 2010 yang menggiring kemaslahatan bagi semua pihak. Oleh karena itu, kita layak menyambutnya dengan ucapan ”Selamat tahun Pemilukada 2010!”***

Penulis, anggota KPU Kabupaten Bandung, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Jabar, dosen FISIP Universitas Pasundan.
Opini Pikiran Rakyat 5 Januari 2010