04 Januari 2010

» Home » Kompas » Indonesia dan Gus Dur

Indonesia dan Gus Dur

Di tengah sakit yang mendera, pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan menelepon untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan rekan-rekan sejawat lainnya.
Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di Kantor PB NU (juga sempat menyatakan sudah makan bubur). Saat itu beliau menyatakan keluhan sakit pada giginya. Saya menanyakan mengapa tidak istirahat di rumah sakit saja, beliau masih menjawab dirinya sehat-sehat saja.


Memang ada yang berbeda dalam perjumpaan terakhir itu dan itu yang membuat saya pribadi begitu berat kehilangan. Dalam percakapan itu Gus Dur menitipkan beberapa pesan penting dan tidak saya sadari itulah pesan terakhir kepada kami.
Harga mati
Yang pertama yang beliau sampaikan secara sungguh-sungguh adalah masalah keindonesiaan kita. Beliau berharap agar keindonesiaan bisa kita jaga dengan sekuat tenaga, keberanian, dan kejujuran. Kata ”kejujuran” itu diulang berkali-kali seolah untuk menunjukkan betapa kejujuran dalam ber-Indonesia selama ini sudah benar-benar diabaikan, utamanya dalam politik-kekuasaan.
Yang kedua, ”Pluralisme itu harga mati, Romo.” Pluralisme itu mutlak untuk membangun Indonesia kita yang memiliki banyak suku bangsa dan agama. Pluralisme menjadi cara pandang paling baik untuk bersikap dan bertindak. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditawar, pluralisme harus menjadi cara pandang untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.
Yang ketiga, tak lupa beliau berpesan tentang sikap yang sebaiknya dilakukan agar dalam menghadapi tantangan dan tentangan yang datang dari kaum yang memiliki fanatisme sempit dan fundamentalisme. Menurut Gus Dur, itu semua harus dihadapi dengan cinta. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan karena ia hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan. Untuk mewujudkan perdamaian, cinta adalah dasar dari nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme universal.
Tak lupa beliau mengingatkan bahwa saat ini negara kita dikendalikan oleh para mafia hitam. Mereka seolah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bisa menghancurkan kedaulatan hukum kita. Itu semua, sekali lagi ditegaskannya, karena sudah hampir hancurnya kejujuran dalam bertindak dan berperilaku. Tanpa kejujuran kita hanya akan terperosok pada hal sama berulang-ulang. Saya mengingat betul kalimat yang beliau sampaikan bahwa negara ini akan hancur apabila dibimbing oleh orang yang tidak punya nurani.
Atas itu semua Gus Dur masih meyakini bahwa peluang untuk menjadikan Indonesia lebih baik itu masih terbuka apabila kekuasaan diorientasikan untuk membantu rakyat, bukan semata-mata mendukung pada kapital. Karena itu, dibutuhkan proses yang panjang dan terus-menerus untuk mendidik masyarakat ini, demikian ujarnya.
Perjuangannya untuk kaum minoritas dan pembelaannya untuk kaum perempuan juga sudah tak diragukan lagi. Itu setidaknya dinyatakan pada akhir pembicaraan agar ikut serta membantu dan memperkuat perjuangan yang sudah dijalani oleh Ibu Shinta Nuriyah selama ini.
Dalam percakapan singkat di telepon itu, saya tidak tahu jika itu pesan terakhir Gus Dur kepada kami yang juga relevan ditujukan kepada rekan-rekan sejawat yang masih setia dengan perjuangan untuk pluralisme, demokrasi, dan humanisme melalui kekuatan hati nurani dan kejujuran.
Di tengah derita rasa sakit yang sudah dijalaninya bertahun- tahun, bahkan di akhir hayatnya, Sang Gus Dur begitu jelas dan tegas menyatakan kecintaannya untuk Bumi Pertiwi ini, dengan keyakinan dan semangat! Adakah teladan seperti ini bisa dikuti para elite dan politisi kita dewasa ini.

Peristiwa Situbondo
Begitu banyak ide nyeleneh beliau yang diposisikan kontroversial di tengah masyarakat pada akhirnya terbukti sebagai ide-ide yang lurus, yang mendukung pluralisme dan demokrasi. Itu arti- nya ada pertanyaan besar di te- ngah kita semua, adakah jalan yang kita tempuh selama ini begitu menyimpang sehingga jalan lurus pun dianggap sebagai nyeleneh?
Romo Mangun (almarhum) adalah tokoh yang memperkenalkan saya kepada Gus Dur pada 1996, terutama di sekitar peristiwa Sepuluh Sepuluh. Sebuah peristiwa yang menggemparkan sejarah hubungan agama dan negara di masa rezim Orde Baru. Kita pun ingat istilah rekayasa para ”naga merah” untuk menghancurkan ”naga putih”.
Peristiwa pembakaran gereja pertama kali di Situbondo pada 1996 itu didokumentasikan secara lengkap dalam berbagai foto, catatan, dan analisis. Saat itulah begitu jelas diketahui bagaimana rezim berkeinginan untuk mengadu domba keberagamaan masyarakat.
Saya mengingat saat itu Gus Dur datang dari Roma dan langsung menuju Situbondo, sekaligus meminta maaf atas adanya kejadian itu—walau kita tahu persis itu bukan kesalahan Gus Dur dan kelompoknya. Gus Dur menyadari ada kekuatan rezim yang mengadu-domba dengan menggunakan agama sebagai kepentingan politik.
Semenjak itu saya mengenal Gus Dur sebagai tokoh yang tidak hanya berbicara, melainkan juga melakukan tindakan. Kami sering turun ke bawah untuk memberikan penjelasan kepada umat yang diombang-ambingkan informasi sesat.
Semenjak itulah kami merumuskan apa yang selanjutnya dikenal dengan ”Persaudaraan Sejati”. Itu semua disadari dan diyakini bahwa peristiwa Sepuluh Sepuluh itu bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang menggunakan agama sebagai kambing hitam.
Begitu banyak kami menjalani hari-hari memperjuangkan pluralisme, toleransi, kebersamaan, dan demokrasi bersama Gus Dur. Sudah tak terkirakan lagi sumbangsih beliau untuk kemajuan negeri ini. Kini Indonesia hidup tanpa seorang Gus Dur. Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah kita mampu menjaga dan meneruskan semua cita-cita besar beliau untuk mewujudkan Indonesia yang beradab? Semoga.
Selamat jalan, Gus....

BENNY SUSETYO Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia
Opini Kompas 5 Januari 2010