04 Januari 2010

» Home » Okezone » Refleksi Reformasi Birokrasi

Refleksi Reformasi Birokrasi

Tahun 2009 patut dicatat sebagai salah satu tahun tersibuk bagi bangsa dan negara Indonesia. Berbagai perhelatan besar telah dilakukan. Presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD periode 2009–2014 telah terpilih.

Tahun 2009 juga ditandai hiruk-pikuk kasus Bank Century yang banyak menyedot tenaga dan pikiran para pemimpin nasional. Berbagai hal tersebut ternyata cukup mengganggu konsentrasi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara serius. Tulisan ini mencoba untuk merefleksi gagasan dan implementasi reformasi birokrasi selama 2009 serta perspektif untuk tahun 2010.

Besar Wacana daripada Implementasi

Sulit untuk mengukur sejauh mana sebenarnya agenda reformasi birokrasi telah berhasil dicapai tahun 2009. Sebagai sebuah perubahan, strategi reformasi birokrasi di Indonesia tampaknya berjalan secara zig-zag, sambil lalu, dan tidak memiliki ketegasan agenda yang harus dilakukan dan tujuan yang akan dicapai. Secara legal-formal sebenarnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menerbitkan Permenpan No 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi yang menjadi dasar pelaksanaan reformasi birokrasi.

Meskipun secara resmi ada 3 agenda besar yang akan dicapai meliputi perubahan organisasi, proses bisnis dan sumber daya manusia aparatur, yang sangat mengemuka dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini adalah reformasi tunjangan kinerja. Karena itu target 2011 untuk merampungkan reformasi birokrasi di tingkat pusat dan di daerah sejatinya hanya terfokus pada sumber daya aparatur negara dan secara lebih khusus pada reformasi tunjangan kinerja. Reformasi birokrasi yang telah dilakukan secara parsial di Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung belum dapat dikatakan sebagai suatu keberhasilan strategi reformasi birokrasi.

Ada sejumlah persoalan yang harus segera dijawab. Pertama, reformasi birokrasi yang saat ini terjadi hanya dipahami sebagai reformasi tunjangan kinerja. Banyak kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang saat ini bersiap-siap untuk dijadikan sebagai bagian dari agenda tersebut hanya berorientasi pada upaya mendapatkan tunjangan kinerja. Hal ini tidak diikuti dengan kesadaran penuh tentang hakikat dan pentingnya melakukan reformasi birokrasi. Dengan kata lain belum terjadi perubahan paradigma, budaya, dan cetak pikir dari birokrasi pemerintahan tentang kedudukan dan fungsi birokrasi yang seharusnya.

Bahkan sering kali dokumen rencana reformasi birokrasi kementerian dan LPNK lebih banyak disiapkan oleh konsultan dan tidak melibatkan secara penuh seluruh pemangku kepentingan internal. Kekhawatiran yang mungkin muncul adalah naiknya tunjangan kinerja yang tidak diikuti dengan perubahan budaya kinerja. Kedua, reformasi birokrasi yang dilakukan secara parsial di sejumlah kementerian dan LPNK telah menimbulkan kecemburuan pada kementerian dan LPNK lain yang belum menerima tunjangan kinerja. Sangat dapat dipahami munculnya kecemburuan tersebut karena semua sektor pemerintahan pada dasarnya merupakan sebuah sistem dan tidak bisa dibeda-bedakan dalam hal tunjangan kinerjanya.

Memang pemerintah memiliki keterbatasan anggaran sehingga reformasi tunjangan kinerja dilakukan secara bertahap. Namun sebagai perubahan yang terencana, sebenarnya persoalan kecemburuan ini dapat diatasi dengan menyusun agenda reformasi yang lebih baik. Ketiga, reformasi birokrasi di Departemen Keuangan, BPK, dan MA belum dievaluasi hasilnya. Reformasi birokrasi tidak boleh hanya menjadi proses tanpa ada hasil.

Jika pemerintah berkeinginan untuk melanjutkan agenda reformasi birokrasi dengan strategi parsial ini, pemerintah harus melakukan evaluasi secara menyeluruh atas kebijakan reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan di sejumlah lembaga tersebut. Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah reformasi birokrasi didukung oleh seluruh pemangku kepentingan secara penuh? Apakah terjadi perubahan kinerja aparat birokrasi? Apakah terjadi perubahan kualitas pelayanan?

Apakah pula strategi reformasi yang telah ditetapkan bisa dilanjutkan atau perlu perubahan? Penulis khawatir bahwa sebenarnya tunjangan kinerja yang diperoleh para pejabat birokrasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan “penerimaan tambahan” yang diperoleh sebelum adanya reformasi tunjangan kinerja.

Beberapa Kontradiksi


Tahun 2009 juga ditandai oleh sejumlah kontradiksi kebijakan pemerintah terhadap reformasi birokrasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung strategi reformasi birokrasi tersebut adalah pembentukan wakil menteri di beberapa kementerian. Penulis merasa tidak cukup ada argumentasi untuk mendukung secara penuh keberadaan struktur dan jabatan wakil menteri.

Dalam hal ini perubahan sistem administrasi negara haruslah dilihat secara menyeluruh sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Sangat sulit untuk menempatkan struktur wakil menteri dalam desain reformasi organisasi pemerintah. Dengan kata lain, apa signifikansi struktur dan jabatan wakil menteri dalam reformasi birokrasi menyeluruh? Penulis justru melihat wakil menteri sebagai antitesis dari restrukturisasi organisasi sebagai bagian dari reformasi administrasi jika kebutuhan mengadakannya semata-mata hanya untuk menampung kepentingan-kepentingan politik.

Terlebih lagi, pada saat ini banyak sekali ketidakharmonisan, ketidaksinkronan, dan tumpang tindih berbagai struktur dan fungsi baik antar- maupun intrakementerian. Karena itu pembentukan wakil menteri seharusnya dilakukan setelah adanya reviu menyeluruh terhadap berbagai struktur internal kementerian. Kontradiksi lain adalah semakin gemuknya organisasi kementerian dan LPNK di tingkat pusat. Kebijakan desentralisasi tidak diikuti dengan rasionalisasi struktur organisasi internal kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.

Seharusnya reformasi birokrasi meliputi juga komitmen dan strategi untuk mereduksi jumlah kementerian dan LPNK lainnya. Fakta gemuknya struktur pemerintah pusat ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi hanya dimaknai secara sempit dan tidak meliputi agenda yang menyeluruh. Akhirnya penulis berpandangan bahwa komitmen politik untuk melakukan reformasi birokrasi pada 2010 harus secara radikal ditingkatkan.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai mesin reformasi birokrasi harus memulai reformasi dari rumah sendiri dan diberi kewenangan penuh untuk membuat kebijakan sekaligus melaksanakan dan mengawasi kebijakan tersebut. Tentu saja masih sangat banyak agenda yang harus disusun agar menjadi sebuah strategi yang utuh.Semoga.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar Ilmu Administrasi dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

Opini Okezone 4 Januari 2009