Itu ada benarnya sebab Gus Dur dan Sokrates sama-sama memiliki keberanian dan otonomi moral untuk berpihak kepada apa yang diyakini mereka sebagai kebenaran, apa pun risikonya. Gus Dur memang tidak mere- lakan jiwanya dengan mereguk racun demi mempertahankan kebenaran sebab Gus Dur tidak pernah dihadapmukakan dengan keharusan semacam itu.
Seandainya demi kebenaran Gus Dur harus memilih antara minum racun atau tidak, saya kira Gus Dur akan memilih menolak cawan racun itu sebab bunuh diri dilarang oleh agamanya. Gus Dur juga akan emoh mengakhiri hidupnya dengan meminum racun karena tentulah ia tahu bahwa kematiannya akan menjadikannya seorang martir dan akan menyulut kemarahan massa pendukungnya. Konflik berdarah akan terjadi dan ia tidak mau itu!
Seperti Gunawan Kunto Wibisono yang berani melawan Prabu Rahwono, Gus Dur pun berani melawan penguasa dan rezim yang militeristik dan otoriter. Namun, Wibisono, kendati hatinya remuk redam bagaikan tersayat- sayat sembilu, ”tega” mengor- bankan saudara dan kerabat serta rakyatnya. Gus Dur saya kira tidak akan berbuat sejauh itu meskipun demi kebenaran.
Ketika pada tahun 2001 sebagai RI-1 ia mengeluarkan dekrit pembubaran DPR-MPR, lalu dimakzulkan oleh ”poros tengah” yang semula mengusungnya, ia lereh tanpa melawan. Bukan saja itu wujud sikapnya yang demokratis, tetapi juga karena kalau ia membangkang dikhawatirkan akan terjadi gelombang gerudukan massa pendukungnya, mengingat karismanya yang sedemikian besar. Dia tak mau ada pertumpahan darah.
Berbeda dengan Galileo Galilei, Gus Dur pantang mengingkari keyakinannya demi menyelamatkan diri. Ketika ada fatwa MUI yang mengharamkan penyedap masakan ”Ajinomoto” karena proses produksinya terkontaminasi lemak babi, sebagai Presiden Gus Dur memerintahkan kepada LIPI memfalsifikasi tuduhan MUI itu secara ilmiah. Falsifikasi itu berhasil. Penelitian LIPI memberikan hasil negatif. Tidak ada lemak babi dalam proses dan produk Ajinomoto.
Gus Dur memercayai LIPI, tetapi demi menghindari keributan yang tidak perlu dan tidak diinginkan, ia membiarkan penyedap masakan itu ditarik. Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal.
Di kelas saya di IAIN Walisongo, saya mengemukakan keserupaan Gus Dur dengan Paul Feyerabend. Filsuf kelahiran Vienna (1923) ini suka nyeleneh dan tidak merasa nyaman berselancar mengikuti gelombang arus utama. Gagasan-gagasan Feyerabend melawan arus dan mendobrak kemapanan sehingga ia dijuluki Dadasoph dan Flippant Dadaist. ”Dada(isme)” ialah gerakan di bidang seni dan sastra (1916- 1920), terutama di Perancis, Jerman, dan Swiss, yang menentang (kemapanan) peradaban dan dengan sindiran yang tajam mencemoohkan semua kesenian yang sudah ada sebelumnya. ”Soph” berasal dari kata ”sophia” (kearifan). Esai-esai Feyerabend berupa sindiran yang tajam dan kritik yang keras terhadap gagasan-gagasan yang mapan di bidang ilmu, filsafat, dan demokrasi.
Paul Feyerabend-lah yang melontarkan anjuran ”Apa saja boleh” (Anything goes) untuk menentang pemaksaan metode-metode tertentu dalam penelitian. Saya kira Feyerabend (dan Gus Dur) akan mencemoohkan profesor doktor yang mencela Gurita Cikeas-nya George J Aditjondro, yang mengatakan bahwa buku itu tidak ditulis dengan metodologi (sic) ilmiah. Seandainya Adhi Massardi sempat menyampaikan buku itu kepada Gus Dur dan Gus Dur dalam keadaan sehat mengikuti diskusi tentang buku itu di televisi, saya kira Gus Dur akan menertawakan pengecam George Aditjondro yang mengatakan bahwa bukunya tidak ilmiah sebab pernyataan-pernyataan George dalam buku itu tanpa acuan.
Buku itu bukan surat kaleng dan George bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan- pernyataannya dalam debat pu- blik dengan siapa saja. Ia mempersilakan mereka yang merasa difitnahnya untuk memerkarakannya di pengadilan. Adanya acuan tidak membuat suatu pernyataan menjadi ilmiah atau benar. Sebaliknya, tiadanya acuan, apalagi kalau alasannya demi melindungi narasumber, tidak serta- merta membuat suatu pernyata- an menjadi salah atau tidak ilmiah, atau logikanya melompat.
Gus Dur adalah pejuang pro-demokrasi yang memperjuangkan keberagaman pandangan. Begitu pula Paul Feyerabend, yang mendambakan masyarakat yang bebas, tempat setiap tradisi mempunyai hak dan akses yang sama untuk berkembang dan memperoleh kedudukan-kedudukan kunci di masyarakat.
Kekaguman saya terhadap Gus Dur tidak tanpa reservasi. Ada pernyataan-pernyataannya yang terasa aneh, misalnya tentang Tommy Soeharto yang katanya sudah tertangkap, tetapi lari lagi karena polisinya menelepon dulu, menanyakan apa tindakan yang harus dilakukannya. Tentulah polisi tak sebodoh itu!
Juga aneh bahwa ia merasa kalah ”abu”-nya dengan Megawati sebab nenek moyangnya di zaman para wali lebih muda daripada nenek moyang Megawati. Kok tahu? Aneh pula pernyataannya bahwa ia menentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, tetapi okay kalau pembangkit itu dibangun di Karimunjawa.