04 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kerawanan Konflik Politik di Daerah

Kerawanan Konflik Politik di Daerah

Oleh H. PANDJI SANTOSA

GAGASAN yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang akan mengkaji ulang pemilihan gubernur (pilgub)  mendatang direspons positif sebagian pihak termasuk di kalangan DPR. Pengembalian pilgub ke DPRD selain dinilainya memiliki landasan kuat, rasional, dan konstitusional, juga karena  alasan lainnya yang menganggap riskan konflik horizontal dan efisiensi anggaran.


Sebagai contoh, dalam satu pilgub, seorang calon gubernur dapat menghabiskan biaya Rp 50 miliar untuk kampanye. Sementara gaji yang diterima setiap bulan hanya Rp 8,7 juta. Selain itu, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk perhelatan pilgub sangatlah besar. Bahkan, di Jawa Timur anggaran untuk pilgub hampir mencapai Rp 2 triliun.

Pada awalnya, dengan pelaksanaan pilkada langsung, banyak pengamat meramalkan bahwa dalam tataran implementasinya akan mencuatkan konflik horizontal. Secara kebetulan hal itu terjadi di beberapa daerah, misalnya Poso Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi Selatan seperti Polewali dan Mamasa, serta beberapa daerah lain.  

Dalam dua tahun terakhir ini, rupanya konflik pilkada dikhawatirkan terus merambah, bahkan diperkirakan akan muncul kembali pada 2010 di mana terdapat 244 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah, terdiri atas 7 provinsi dan 237 kabupaten/kota. Persoalan ini tentunya berkaitan langsung dengan implementasi kebijakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan sebutan UU Otonomi Daerah (Otda) dan kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004. Oleh karena itulah, untuk mengubah format pemilihan gubernur, harus dilakukan revisi kembali terhadap UU tentang Pemerintah Daerah.

Namun, harus diakui bahwa perkembangan berdemokrasi di daerah telah tumbuh sangat luar biasa sejak lahirnya UU tersebut. Seluruh kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat "kecuali jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Wali Kota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta"  yang menganut UU tersendiri. Sejak itulah berbagai gesekan ketidakpuasan ekses politik terus terjadi di zona pelaksanaan pilkada.

Lepas dari konflik yang terjadi, berbagai pandangan tokoh masyarakat terhadap wacana pilkada langsung dikembalikan ke DPRD bermunculan, seperti tokoh Islam dari NU, K.H. Hasyim Muzadi. 

Dalam konteks demokrasi, pilkada langsung merupakan mekanisme dalam merekrut pemimpin di daerah dan rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Jadi wajar, jika pemilihan langsung dijadikan tolok ukur untuk menentukan pemimpin daerah. Meski dalam demokrasi tidak semata-mata ditentukan oleh ada atau tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya. Namun, pemilihan adalah sebuah perangkat untuk mendukung proses pemilihan kepada daerah.

Bila melihat kondisi pilkada yang terjadi, ada baiknya mengevaluasi kembali UU yang berkaitan dengan pilkada. Pernyataan Hasyim Muzadi perlu diapresiasi dengan nalar dan logika untuk menjadi bahan ke depan, agar konflik-konflik serupa tidak perlu terjadi dalam pilkada. Meski itu semua butuh kedewasaan dalam berdemokrasi, tetapi apa jadinya jika tatanan berdemokrasi selalu diiringi dengan konflik horizontal yang tak perlu. Padahal dalam konsep berdemokrasi bukanlah konflik yang harus mengemuka, tetapi daya nalar dan logika serta kedewasaan berpikir yang harus dikedepankan.

Dari wacana yang berkembang, rencana revisi UU No. 32/2004 akan dipecah menjadi tiga bagian, yakni UU Pemda, UU Pilkada, dan UU Desa. Bila hal itu akhirnya disahkan DPR RI , maka peran ganda gubernur, yakni sebagai wakil pemerintah pusat dan pemimpin daerah otonom jangan menjadi dilematis, ibarat dua sisi mata uang. Namun, posisi gubernur lebih difungsikan sebagai wakil pemerintah pusat saja, dan untuk menopang kinerjanya gubernur didukung oleh supporting staf dan dana. Artinya, pemilihan gubernur tak perlu lagi dilakukan secara langsung, tetapi dikembalikan kepada semula, yakni oleh DPRD di daerah masing-masing.

Hal yang berbeda dengan kabupaten/kota yang merupakan tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat. Dengan demikian, otonomi daerah sebenarnya menitikberatkan pada kabupaten/kota. Jadi, posisi gubernur nantinya hanya berfungsi untuk menjaga rentang kendali, pembinaan, pengawasan, dan fasilitasi jalannya pemerintahan daerah. Dengan demikian, gubernur bisa lebih menjamin efektivitas pemerintah daerah dan integrasi nasional.

Kalau dilihat dari sisi demokrasi di Indonesia, pilkada langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy guna memenuhi semua unsur yang diharapkan. Artinya, demokrasi bersifat lokal, salah satu tujuan pilkada guna memperkuat legitimasi demokrasi. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, pilkada didukung semua elemennya, mulai dari kematangan partai, aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada itu sendiri.

Sebaliknya, jika dilihat dari kondisi politik lokal yang heterogen, di mana kesadaran dan pengetahuan politik masyarakatnya rendah dan dukungan infrastruktur sistem pencatatan kependudukan kurang baik, maka penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) menyebabkan kegagalan dari tujuan pilkada langsung serta riskan konflik horizontal.

Manor dan Crook (1998) mengatakan, dalam banyak hal, pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan councellor (anggota DPRD) di negara berkembang telah menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor penyebabnya adalah karakter dan perilaku elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam ranah politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah.

Jadi harus diakui, sebagian besar konflik pilkada yang terjadi di Indonesia diawali oleh data kependudukan yang tidak valid. Artinya, infrastruktur yang kurang memadai. Di samping masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada sehingga muncul riak-riak praktik money politic dalam pilkada.

Kalau dilihat untung ruginya, pilkada melalui DPRD sebenarnya banyak keuntungannya, bila dibandingkan dengan pilkada langsung, yakni menghemat anggaran. Bukan saja anggaran yang disiapkan pemerintah untuk pelaksanaan pilkada, tetapi juga dana yang harus disiapkan seorang calon gubernur. Sementara itu, jika dilihat dari titik kerawanan konflik politik akibat pilkada akan jauh lebih besar ongkos sosialnya. Selain itu, hal tersebut memicu keretakan masyarakat di sejumlah daerah dan suasana keamanan menjadi kurang kondusif.

Dengan demikian, adanya tuntutan dan wacana menghapus pilkada langsung bukan tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi, dengan sejumlah argumentasi yang ada dan dari kondisi riil di lapangan, memungkinkan pilkada langsung ditinjau kembali. Jangan disamakan dengan negara-negara demokrasi modern yang memiliki tradisi pemilihan langsung, penyelenggaraan pemilu mereka dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal yang ditopang oleh biro statistik lokal atau dinas kependudukan lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai. Jadi hal yang berbeda terjadi di Indonesia, di mana biaya KPU daerah menjadi amat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penetapan pemenang.

Mahalnya pilkada di Indonesia disebabkan adanya biaya khusus, mulai dari pendaftaran ulang yang tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang kerap berulang tiap pemilihan, sampai kepada biaya kampanye yang dilakukan partai politik (parpol) dan kandidat pemimpin daerah. Artinya, pesta demokrasi melalui pilkada adalah sebuah "megaprojek" yang harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma baru di setiap megaprojek pilkada.***

Penulis, dosen FISIP dan Pascasarjana Universitas Langlangbuana Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 5 Januari 2010