04 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Pelajaran dari Kebakaran Bangunan

Pelajaran dari Kebakaran Bangunan

KEBAKARAN hebat melanda diskotek KTV M-City di Jl Gatot Subroto, Simpang Majestik Medan. Sedikitnya 20 korban tewas dari dalam bangunan dan belasan lainnya luka-luka. Korban umumnya terperangkap di dalam gedung karena tidak mengetahui ada kebakaran (SM, 5 Desember 2009).

Ternyata bangunan tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas standar keamanan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini diketahui ketika pengunjung panik, mereka berebut keluar dari satu-satunya pintu akses keluar di lantai 3.


Sebagian besar korban yang tewas disebabkan terinjak-injak pengunjung lain yang panik dan karena kehabisan oksigen. Peristiwa ini selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi pengelola bangunan bertingkat untuk lebih memperhatikan standar keamanan bangunan.

Yang memrihatinkan, tidak semua bangunan di kota kota besar seperti Semarang yang sudah dilengkapi sistem detektor kebakaran, termasuk untuk fasilitas umum, perkantoran, pasar, dan sebagainya. Sebagian besar bangunan belum siap menghadapi bencana kebakaran.

Tujuan penerapan peraturan keamanan bangunan terhadap bahaya kebakaran adalah untuk menjamin keselamatan jiwa penghuninya dan mencegah kerusakan bangunan.

Untuk mencapai tujuan itu, bangunan dituntut memiliki sistem keamanan kebakaran yang memenuhi persyaratan, yaitu mampu mencegah timbulnya api, mencegah penjalaran api dan asap, memadamkan api dan menyediakan sarana evakuasi yang aman bagi penghuni bangunan.

Sebenarnya bencana, seperti kebakaran, dapat dicegah agar jangan sampai pada situasi terburuk, yakni melalui manajemen yang benar dan sesuai prosedur. karena itu, perlu ada pelatihan atau simulasi penanggulangan bencana kebakaran yang rutin diselenggarakan. 

Berdasarkan ketentuan Fire Suppression Rating Schedule (FSRS) untuk keselamatan publik terdiri atas tiga unsur penentu yaitu, pertama, pasokan air (40%), kedua, institusi kebakaran kota (50%) dengan komponennya yaitu mobil kebakaran, mobil tangga, distribusi mobil, petugas pemadam, dan pelatihan rutin.

Ketiga, alarm kebakaran (10%) dengan komponennya yaitu waktu penerimaan oleh operator alarm, alarm keberangkatan dan fasilitas sirkuit.

Indonesia memiliki peraturan perihal keamanan bangunan terhadap bahaya kebakaran, yang mengacu pada peraturan internasional yaitu Kepmen PU No. 10/Kpts/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Ada dua sistem proteksi kebakaran bangunan yaitu, pertama, sistem proteksi pasif, merupakan sistem yang melekat pada bangunan dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran yang terdiri dari  bahan bangunan, kondisi lingkungan, dan proteksi kebakaran struktural bangunan.

Kedua, sistem proteksi aktif, merupakan sistem yang dengan sengaja ditempatkan untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran kota dengan urutan sesuai fire scenario.

Sistem proteksi pasif ini harus mampu mendukung bekerjanya sistem proteksi aktif, penyelamatan, dan evakuasi manusia dan barang secara aman, pembatasan penyebaran dan besarnya api, perlindungan terhadap bangunan di sekitarnya dan keselamatan pada saat dilakukan pemadaman kebakaran.

Pemasangan detektor dan peralatan pemadaman kebakaran merupakan salah satu upaya aktif agar bangunan tersebut mampu melakukan proteksi.

Alarm tanda terjadinya kebakaran, yang biasanya berupa detektor asap, akan segera berbunyi jika terjadi kebakaran, sehingga upaya lokalisasi dan pemadaman juga dapat segera dilakukan sebelum api telanjur besar atau menjalar ke ruangan lain.

Pembuatan tangga darurat dan balkon pada bangunan bertingkat juga akan memudahkan proses evakuasi pada saat terjadinya kebakaran. Tangga-tangga tersebut sebaiknya dibuat di sisi luar bangunan sehingga kemungkinan terhambat asap dapat dihindari, karena penyebaran asap umumnya vertikal.

Data statistik di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 74% dari korban meninggal pada kebakaran bangunan diakibatkan terhirupnya asap yang berlebihan.

Pemilihan sistem keamanan bangunan dalam hubungannya dengan pencegahan kebakaran didasarkan oleh keseimbangan antara besarnya biaya yang harus disediakan untuk pemasangan sistem pengaman dan jumlah kerugian apabila bangunan terbakar.

Keselamatan jiwa penghuni pada saat terjadi kebakaran tergantung dari kemampuan para penghuni itu sendiri. Keamanan tersebut meliputi kecepatan berjalan, pengetahuan akan bentuk denah/lay out bangunan dan peralatan pemadam serta ketepatan dan kecepatan informasi kebakaran.

Kecepatan berjalan akan tergantung dari jumlah penghuni dan luas sirkulasi emergency yang ada, disamping juga faktor ketidakmampuan dari penghuni, misalnya: pengguna kursi roda. (10)

— Sukawi, dosen arsitektur Undip, pengampu mata kuliah utilitas bangunan
Wacana Suara Merdeka 5 Januari 2009