TOKOH besar dan bapak bangsa -dengan beragam predikat- KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah berpulang ke rahmatullah. Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine Indonesia. Gus Dur adalah sosok pemikir yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia: akulturatif, moderat, dan toleran.
Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah "Islam skripturalis". Berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik.
Saat ini, rasanya hampir semua gagasan dan pemikiran Gus Dur telah terpublikasikan, baik dalam bentuk karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi maupun dalam bentuk kumpulan tulisan yang diedit editor dengan beragam latar belakang paham keagamaan.
Begitu tidak sia-sianya perjuangan panjang nan konsisten yang telah Gus Dur lakukan. Gus Dur telah menuai hasil. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di sebagian angkatan muda Muhammadiyah.
Relasi Agama-Negara
Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan asas tunggal Pancasila, melalui Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, NU menerima asas tunggal. Dan, salah satu motor penerimaan asas tunggal adalah Gus Dur yang dipilih -melalui mekanisme ahlul halli wal aqdhi- sebagai ketua tanfidziyah PB NU pada muktamar tersebut.
Dibanding ormas lain, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan "strategi perjuangan politik", melainkan keabsahannya di mata fiqh. NU memberi batasan yang jelas antara wilayah "kekuasaan agama" dan "kekuasaan negara". Agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.
Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Sementara ormas Islam lain kesulitan beradaptasi dengan keinginan negara. Mereka tidak mampu mendudukkan keimanan dan ideologi. Mereka menganggap soal Pancasila berada di luar soal agama. Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan.
Menurut Gus Dur, hal itu tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada Pancasila dan agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama. Sementara akidah merupakan milik sendiri. Ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan.
Komitmennya yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Namun, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya "masyarakat islami" (lebih pada value). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina "masyarakat Islam". Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi, karena ia akan menempatkan nonmuslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah "masyarakat Indonesia" yang di dalamnya umat Islam tumbuh kuat -berfungsi dengan baik- dianggap lebih baik".
Relasi Muhammadiyah-NU
Gus Dur termasuk sosok yang menginginkan adanya relasi harmoni antara Muhammadiyah dan NU. Beberapa sikap politik dan pandangan Gus Dur setidaknya menggambarkan kuatnya keinginan tersebut. Ketika sebagian nahdliyin mengklaim NU sebagai satu-satunya representasi Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni), Gus Dur berpandangan bahwa Muhammadiyah, Persis, Perti, dan Al-Washliyah juga layak disebut Sunni.
Dalam konteks politik, Gus Dur senantiasa mencoba melibatkan warga Muhammadiyah. Ketika mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), beberapa tokoh Muhammadiyah duduk sebagai pengurus DPP PKB, seperti dr Sukiat, dan Habib Chirzin. Marzuki Usman pernah menjadi ketua DPW PKB DKI Jakarta sebelum digantikan Muslim Abdurrahman. Ketika menjadi presiden, Gus Dur memercayakan Menteri Pendidikan Nasional kepada Yahya Muhaimin dan kepala LKBN Antara kepada Mohamad Sobary.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur kerap menceritakan seputar kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Kedekatan ini digambarkan Gus Dur ketika menceritakan mula pertama berdirinya Muhammadiyah, yang sempat muncul penilaian ''sesat" di masyarakat. Penilaian ini sempat disampaikan langsung ke KH Hasyim Asy'ari. Ketika KH Hasyim Asy'ari mengetahui bahwa yang menyebarkan "ajaran sesat" itu ternyata KH Ahmad Dahlan -teman seperguruannya ketika nyantri di Pesantren Langitan, Pesantren Soleh Darat, dan di Makkah, serta merta KH Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa ajaran itu "tidak sesat".
Pahlawan Nasional
Hanya sehari selepas meninggalnya Gus Dur, sudah bermunculan usul dan gagasan dari beberapa pihak untuk memberikan gelar pahlawan kepada Gus Dur. Tidak kurang beberapa pejabat negara, seperti menteri sosial, menteri agama, dan partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Gerindra merespons positif usul tersebut.
Menilik sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa ini, terlebih dalam konteks relasi Islam dan negara, pluralisme, pembelaan, dan penghargaannya terhadap kelompok minoritas, toleransi antarumat beragama, rasanya tidak berlebihan usul pemberian gelar pahlawan diterima. Justru mengherankan kalau negara tidak memberikan gelar pahlawan kepada tokoh sekaliber Gus Dur, yang tidak hanya diakui di lingkup internal NU, nasional, tapi juga di dunia internasional yang ditandai dengan pemberian berbagai penghargaan internasional, termasuk beberapa gelar doktor honoris causa dari beberapa universitas di luar negeri.
Dengan reputasinya yang demikian, pemberian gelar pahlawan menjadi sangat wajar. Karena the real, Gus Dur adalah "Pahlawan untuk Semua". (*)
*). Ma'mun Murod Al-Barbasy, ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Opini Jawa Pos 4 Januari 2009
04 Januari 2010
Gus Dur Pahlawan untuk Semua
Thank You!