KONTES rapat Pansus Hak Angket Bank Century DPR dengan para pejabat beberapa hari terakhir ini seolah menunjukkan kegarangan para anggota pansus tersebut. Kekuasaan mereka terlihat dari rekayasa cecaran pertanyaan untuk menggali informasi yang kemudian dirangkaikan dalam sebuah simpulan. Performa itu pun masih diperkuat perilaku galak mereka yang bersifat para-linguistik seperti seringnya mereka memotong seorang pejabat yang sedang menjawab pertanyaan atau dalam meninggikan intonasi dan nada pertanyaan mereka.
Namun, kegarangan itu, agaknya, mendapatkan tandingan ketika pejabat yang diundang sebagai saksi dalam rapat adalah Marsilam Simanjuntak. Sebagai mantan jaksa agung yang mempunyai jam terbang dalam hal bernegosiasi informasi, di dalam rapat tersebut dia menunjukkan kelasnya sebagai seorang saksi yang bukan sembarang saksi. Dia tampil sebagai saksi yang punya prinsip untuk tidak mau diarahkan atau digiring anggota pansus ke arah satu pendapat atau opini yang tidak didukung data.
Dalam kacamata ilmu bahasa sistemik, performa verbal yang dilakukan Marsilam dalam memosisikan dirinya sebagai seorang saksi yang tidak lebih rendah daripada para anggota pansus itu dikemas dalam ranah makna interpersonal dengan mengolah leksis dan konstruksi gramatika.
Di dalam rapat-rapat sebelumnya, hampir semua pejabat yang diundang dalam rapat pansus tersebut -termasuk Wapres Boediono- selalu menggunakan kata bapak atau ibu untuk menyapa para anggota dewan. Padahal, anggota pansus sering menggunakan sapaan dengan kata saudara atau anda kepada mereka. Bahkan, untuk menyebut pejabat yang tidak berada di dalam sidang itu, sering terdengar anggota dewan yang hanya menyebutkan nama mereka, seperti Sri Mulyani, Boediono, dan sebagainya.
Harus diingat bahwa para pelibat negosiasi informasi tersebut berada dalam wacana masyarakat timur yang menjunjung kesantunan kepada orang yang lebih tua. Oleh karena itu, secara interpretatif, penggunaan sapaan bapak atau ibu dari para pejabat tersebut dapat menunjukkan upaya mereka untuk ''menjinakkan'' anggota pansus yang akan mengorek informasi seputar kasus penggelontoran uang yang menghebohkan itu.
Lain halnya dengan Marsilam. Pejabat senior ini seolah tidak mau direndahkan oleh pansus. Karena itu, diambillah sapaan saudara untuk menunjukkan statusnya. Hal ini sepertinya dilakukan untuk mengimbangi para anggota dewan yang juga menyapa dia dengan kata saudara.
Perlawanan Marsilam dengan bahasa juga ditunjukkan dengan konstruksi gramatika yang dia buat. Dalam rapat-rapat sebelumnya, para pejabat yang diundang lebih banyak mengemas pesan dalam konstruksi deklaratif -hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan para anggota dewan yang dibuat dalam bentuk interogatif. Sebagai saksi yang ingin menunjukkan statusnya, Marsilam mempunyai konstruksi interogatif lebih banyak daripada para pejabat sebelumnya.
***
Lalu, apa hubungan konstruksi gramatika dengan perlawanan? Biasanya, di dalam sebuah transaksi atau negosiasi, seseorang yang lebih banyak melontarkan pertanyaan kepada lawan bicara itu akan mempunyai power lebih tinggi. Hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan jenis tindak tutur yang dia buat untuk melontarkan intensinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa ciri kebahasaan lain yang menunjukkan posisi garang Marsilam ditunjukkan dengan olah tindak tutur yang digunakan di dalam sidang. Posisi yang lebih rendah di dalam sebuah percakapan ditunjukkan oleh para pejabat sebelumnya melalui tindak tutur yang dipilih.
Sebagian besar mereka memberikan respons atas pertanyaan para anggota dewan dengan sebuah jawaban. Model adjency pairs seperti ini memberikan kesan berkuasanya para anggota dewan terhadap para pejabat yang diundang menjadi saksi. Hal ini disebabkan merekalah yang mendikte arah pembicaraan untuk dibawa ke mana.
Apabila seseorang yang diberi pertanyaan memberikan respons dengan sebuah pertanyaan, maka pemilihan tindak tutur bertanya untuk merespons sebuah pertanyaan itu menjadi sebuah tanda kebahasaan dari seorang petutur untuk menunjukkan power-nya. Dalam contoh yang mudah, apabila seorang lelaki bertanya kepada seorang penumpang perempuan yang duduk di sebelahnya dalam sebuah bus: ''Namanya siapa Mbak?", dan perempuan tersebut membalasnya dengan ''Tanya-tanya mau apa?", maka dengan cara ini perempuan tersebut terlihat mempunyai power terhadap si penanya itu. Apalagi si petutur perempuan tersebut merespons dengan sebuah perintah, misalnya: ''Ndak usah tanya-tanya sajalah!", maka dengan tindak tutur memerintah ini, si perempuan itu terlihat lebih garang daripada si penanya.
Keadaan tersebut dilakukan Marsilam di dalam sidang pansus. Selain pemilihan kata sapaan saudara kepada para anggota dewan, dalam menempatkan posisinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dia sering bertanya balik kepada anggota dewan di dalam memberikan respons atas pertanyaan yang mereka ajukan. Seringnya pertanyaan balik yang diberikan itu memberikan kesan justru Marsilam-lah yang mendikte mereka. Kegarangannya muncul lebih jelas ketika dia merespons sebuah pertanyaan dengan sebuah perintah seperti yang terjadi saat Melchias Mekeng dari FPG mendapatkan giliran bertanya.
Transkrip percakapan yang dimuat di Jawa Pos Selasa 19 Januari 2010 memberikan gambaran bagaimana Marsilam di dalam percakapan dengan Melchias menjaga power-nya dengan melontarkan sebuah perintah untuk sebuah pertanyaan. Ketika Melchias bertanya, "Saudara Marsilam, Saudara tahu berapa yang di-bailout oleh LPS?", alih-alih menjawab pertanyaan itu, Marsilam memberikan respons dengan sebuah perintah halus atau sebuah request, "Saudara bisa lebih spesifik". Respons seperti ini sudah menunjukkan kekuatan direktif olah bahasa yang dilakukan Marsilan.
Pada bagian lain, sebuah perintah yang dilontarkan kepada Melchias "Saudara jangan marah-marah", atau ketika dia melontarkan komentar, "Nah, bilang dong total" semakin mewujudkan kekuasaan Marsilam kepada Melchias. Secara implisit dapat diasumsikan bahwa Marsilam meremehkan Melchias sebagai orang yang tidak terampil dalam bertanya.
Dari sudut pandang ilmu bahasa, eksploitasi pemilihan leksis yang didukung konstruksi gramatika dalam bentuk tindak tutur di atas merepresentasikan upaya seseorang mempertahankan wilayah dan power-nya. Entah upaya tersebut dilakukan karena memang Marsilam tidak merasa salah sehingga harus berani berperilaku bahasa seperti itu, ataukah upaya tersebut dilakukan sebagai sebuah kompensasi untuk menutupi suatu kepentingan yang lebih besar. Wallahu a'lam. (*)
*). Djatmika, pemerhati ilmu bahasa dan dosen di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Opini Jawa Pos 21 Januari 2010
21 Januari 2010
Perlawanan ala Marsilam
Thank You!