Memang, hingga tutup usia dalam umur 79 tahun, bila kita bersetia membaca tulisan-tulisannya, analisis terhadap kasus hukum yang terjadi di Indonesia diungkapkan dengan bahasa sederhana, tetapi mengentak. Boleh dikata, kecuali Satjipto, tak ada ilmuwan hukum mana pun yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap keputusan-keputusan publik untuk masalah gawat dalam dua dekade terakhir di republik ini.
Kini dia telah berpulang, meninggalkan warisan intelektual tak ternilai. Buku terakhirnya, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009), merupakan sebagian kecil dari serpihan pemikiran yang dipresentasikan dalam pelbagai kesempatan. Melalui bahasanya sendiri, hukum progresif dimaknai sebagai ”prinsip-prinsip dasar yang menjadikan hukum sebagai perangkat menegakkan kemanusiaan (2009: 4)”.
Hukum adalah alat, bukan tujuan.
Dia memberikan orientasi hukum kepada kita tentang apa yang seharusnya. Karena sebagai prinsip dasar, pemikirannya tentang hukum positif di Indonesia tak semata-mata merujuk pada UU dan pasal tertentu. Asas-asas pokok itulah yang membuat pemikiran-pemikirannya tak berhenti pada sosiologi hukum yang menguji korelasi praktik individu maupun institusi vice versa. Dia masuk ke wacana filsafat hukum dan mengusung humanisme baru dalam praktik hukum di Indonesia. Dia menjawab kebuntuan hukum selama ini yang berkubang dalam permainan kata-kata untuk mempertahankan kepentingan pribadi/ kelompok.
Humanisme hukum itu jelas mengingatkan pada buah pikir Protagoras (500 SM) dalam buku bertajuk Aletheia (kebenaran). Dikatakan, manusia adalah ukuran segala-galanya. Untuk mencapai itu, segala-galanya bisa digunakan untuk meneguhkan nilai kemanusiaan. Dalam pemikiran kontemporer, humanisme hukum mengkritik pragmatisme hukum Amerika Serikat yang berakar pada nilai praktis dan semangat pencerahan Jerman yang berakar pada akal sehat.
Kaitannya dengan pemikiran humanisme Satjipto, hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat kemanusiaan. Manusia tidak menghamba pada abjad dan titik koma yang terdapat dalam UU sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi.
Relevansi dengan nilai dasar kebangsaan, humanisme hukum model Satjipto berbicara tentang mewujudkan konsepsi adil sekaligus beradab, seperti sila kedua Pancasila. Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal UU.
Keadilan bukan tugas rutin mengetukkan palu di gedung pengadilan. Keadilan juga tak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas UU untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Mengkritik liberalisme
Gagasan ini sekaligus melampaui liberalisme hukum model John Rawls dalam Theory of Justice (1971: 65). Keadilan hukum menurut Rawls harus dibatasi oleh mekanisme institusional yang telah disepakati oleh masyarakat untuk mengikat kebebasan masing-masing individu.
Ukuran itu disebut nalar umum. Artinya, norma yang termaktub dalam UU cukup dijadikan landasan utama mengatur perilaku masyarakat yang sedang dan akan terjadi. Alhasil, perilaku diprediksi di dalam pasal-pasal yang diasumsikan berlaku melampaui ruang dan waktu.
Kelemahannya, asumsi-asumsi ini menyatukan antara nilai keadilan dan institusi keadilan. Keadilan hanya diserahkan pada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencarian di dalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file di meja penegak hukum yang harus diselesaikan.
Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang populer dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum, UUD (ujung- ujungnya duit), pasal karet, 86, dan penyelesaian di balik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang di dalam institusi pengadilan.
Humanisme hukum Satjipto memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proposisi tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktik ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini.
Satjipto membayangkan Indonesia di masa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan di depan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan terhadap yang lemah itu mutlak. Pesannya, manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk keadilan, tetapi atas nama pemberadaban.
Satjipto memang telah pergi, tetapi karyanya abadi.
SAIFUR ROHMAN
Opini Kompas 22 Januari 2010