Di dalam proses negosiasi ada offer and request. Misalnya, dengan adanya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA), ASEAN diperkirakan akan mendapat keuntungan tambahan 5 miliar dollar AS, begitu pun China. Tak ada pihak yang dirugikan. Kalau ada pihak yang sudah diperkirakan akan dirugikan, yang salah adalah perundingnya. Mengapa begitu bodoh mau menerima. Ini, kan negosiasi, jadi kita bisa minta.
Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas (FTA), tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan. Kalau merugikan, untuk apa menandatangani suatu persetujuan? Dengan membuka pasar seluas-luasnya kepada negara lain, berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Ini bisa mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu di dalam negeri.
Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Hal ini juga tidak berarti bahwa sektor tersebut kalah total karena ini memberikan petunjuk bahwa sektor bersangkutan memang lemah dan perlu pembenahan. Jadi, kerugian ini bisa diminimalisasi dengan meningkatkan efisiensi serta daya saing, dan sektor tersebut tidak perlu kalah total.
Kebalikannya, perhitungan setiap negara yang terlibat adalah bahwa keuntungan dari kemungkinan peningkatan ekspor karena keterbukaan pasar negara lain akan masih lebih besar daripada jumlah kerugian yang mungkin diderita. Jadi harus ada studi kelayakan lebih dulu mengenai untung-ruginya sehingga hasil akhirnya adalah saling menguntungkan (win-win solution).
Dalam perundingan suatu kawasan perdagangan bebas, tidak berarti bahwa semua sektor barang dan jasa harus dibuka. Biasanya ada sejumlah sektor di mana kita bisa meminta waktu pembebasan lebih panjang asal didukung alasan kuat. Misalnya, AFTA mengenal sektor-sektor sensitif. Akan tetapi, FTA antara ASEAN-6 dengan China mencakup semua sektor tanpa kecuali, begitu pun di pihak China.
Kalau persetujuannya juga mencakup bidang investasi, mungkin bisa disepakati bahwa kita menutup atau menunda sektor tertentu dengan imbalan membuka lebih luas izin investasi, terutama kalau pihak lawan sangat berminat di suatu bidang tertentu. Di samping ACFTA, Thailand bahkan begitu berani untuk menandatangani FTA bilateral dengan China. Ini perlu dipelajari pelaksanaannya, cakupannya, dan apa saja isi dari persetujuan tersebut secara detail untuk mengetahui dampaknya terhadap Thailand.
Sebagai bagian integral dari ACFTA, ada persetujuan mengenai Early Harvest Program, yakni perdagangan bebas di bidang pertanian. Di sini, Indonesia mengajukan 14 item produk yang dikecualikan dari perdagangan bebas dan telah disetujui China. Dalam setiap persetujuan selalu ada safety guard mechanism. Meskipun dalam ACFTA tercantum klausul ini, penerapannya sulit karena harus dibuktikan dulu apakah terjadi kerugian (injury) pada sektor-sektor tertentu atau tidak. Ini sudah kita alami di Kementerian Perdagangan.
ACFTA ditandatangani karena negara ASEAN lain menghendakinya sehingga ketika berunding Indonesia berada di bawah tekanan untuk ikut menyetujui. Setelah persetujuan mulai berlaku awal 2010, perlu diteliti perkembangannya di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kalau mereka mampu bersaing dengan China, maka yang menjadi pertanyaan mengapa Indonesia tidak?
Kalau perhitungan awal kita memang akan rugi, kita bisa lebih keras dalam negosiasi atau negosiasi akan berlangsung lama dan alot. Dalam ASEAN-Korea FTA, satu negara anggota ASEAN, yakni Thailand, dengan tegas menolak dan tidak ikut menandatangani persetujuan tersebut, karena merasa dirugikan, sebab Korea menolak membuka pasar beras mereka. Jadi kalau dalam suatu perundingan perdagangan bebas Indonesia merasa akan dirugikan, Indonesia bisa bersikap lebih keras, bahkan menolak.
Daya tarik China adalah pasar yang luar biasa besar, apalagi kemakmuran rakyatnya meningkat terus. Ini memberi peluang yang besar bagi negara-negara lain untuk mengekspor ke sana. Apalagi kalau segala macam hambatan terhadap negara-negara tertentu (ASEAN, misalnya) dihapus, dan terhadap negara lain tidak. Kebaikan lain ACFTA adalah bahwa dengan adanya perdagangan bebas, arus penyelundupan barang dari China ke Indonesia secara otomatis akan hilang.
China adalah suatu fenomena yang bukan saja dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang, yang negaranya dibanjiri produk-produk buatan China yang super murah tidak tertandingi.
Masalahnya, tidak ada negara yang bisa bersaing dengan China karena barang-barangnya terlalu murah, bukan berarti bahwa Indonesia harus meningkatkan daya saing. Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain, dengan India, tetapi tidak dengan China.
Dan dunia pun termasuk Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa China melakukan dumping. Ingat saja serbuan motor China ke Indonesia sepuluh tahun yang lalu. Pemerintah AS sudah lama menekan China untuk mengapresiasi nilai tukar mata uang renmimbi agar harga barang impor yang masuk ke China di negara tersebut menjadi lebih murah, sementara harga barang ekspor mereka di negara tujuan menjadi lebih mahal.
Namun, apresiasi mata uang China terlalu kecil untuk menghasilkan dampak yang diharapkan. Indonesia bisa bersaing dengan banyak negara di dunia, tetapi semua negara di dunia sulit bersaing dengan China. Karena itu, beda dengan negara lain, China hanya punya sedikit FTA dengan negara lain di luar ASEAN.
China mempunyai persetujuan FTA dengan Selandia Baru, Brasil, Pakistan, Singapura, Norwegia, dan Eslandia, sementara masih dalam proses perundingan dengan Australia, gabungan China-Australia-Selandia Baru, Southern African Customs Union, India, Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council), dan Uni Eropa. Mungkin banyak negara takut bersaing secara terbuka dengan China.
China sekarang telah jadi raksasa ekonomi dunia yang sulit ditandingi, apalagi setelah baru- baru ini berhasil mengalahkan Jerman sebagai negara eksportir terbesar dan pemilik cadangan devisa kedua terbesar dunia.
Mungkin ASEAN, kecuali Singapura atau Brunei, terlalu berani dalam menerima tawaran China untuk mengadakan suatu FTA. Dalam melakukan prastudi kelayakan, metode penelitian yang dipakai bukanlah, misalnya, dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), tetapi dengan melihat potensi ekspor Indonesia ke China apa saja dan apakah kita menghadapi hambatan di sana.
Biasanya, untuk bahan-bahan mentah seperti lateks, kopi, dan cokelat tak ada hambatan sama sekali, juga ke negara-negara maju, karena komoditas perkebunan ini tak bisa ditanam di sana. Yang menghadapi hambatan perdagangan adalah barang hasil industri. Informasi ini harus datang dari para eksportir kita, terutama yang ekspor ke China.
Kemudian, kita melihat jenis barang apa saja dari China yang sudah menyerbu pasaran Indonesia dan bagaimana kira-kira dampaknya jika pasar ini dibuka sama sekali. Ancaman ini sudah jelas ada dan nyata. Namun, kalau dari pihak Indonesia tidak ada keuntungan atau keuntungannya kecil untuk memasuki pasaran China setelah ada perdagangan bebas, kita tidak memerlukan suatu FTA dengan China. Persetujuan FTA dengan China adalah beda dengan ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement atau ASEAN-Korea FTA, atau dengan EPA bilateral antara Jepang dan enam negara ASEAN, termasuk Indonesia. Di sini tidak ada ancaman masuknya barang secara besar-besaran dari sana, dan sifat perdagangannya adalah lebih komplementer. Sementara dengan China lebih substitutif.
Apa yang sekarang bisa kita lakukan? ACFTA tak bisa dirundingkan kembali atau retraktif (artinya, apa yang telah kita setujui ditarik kembali). Yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki infrastruktur, memberikan berbagai insentif untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Dan senjata terakhir adalah menggunakan safeguard measures.
Opini KOmpas 22 Januari 2010