21 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Ketika Guru Swasta Kerahkan Massa

Ketika Guru Swasta Kerahkan Massa

DUA minggu belakangan ini, Kabupaten Tegal diramaikan oleh berita seputar unjuk rasa guru-guru swasta yang tergabung dalam Forum Guru Swasta (Forgusta).

Sumarno, guru swasta asal Tegal yang kini bekerja di Tangerang, menilai aksi itu sebagai sebuah pesan (Suara Merdeka, 21 Januari 2010)


Aksi Forgusta berawal dari beredarnya wacana kalau bantuan yang selama ini diberikan ada pengurangan. Merasa sebagai pihak yang dirugikan mereka pun melakukan aksi besar-besaran. Ribuan orang digerakkan.

Siswa-siswa pun dilibatkan. Aspirasi disampaikan di hadapan gedung DPRD dengan tujuan minimal mempertahankan, dan kalau memungkinkan memermanenkan bantuan.

Saya prihatin melihat sosok guru yang begitu mulia, lebih memilih meluangkan energi yang besar hanya untuk mengurusi seputar tunjangan. Sebagai guru tak tampak lagi wibawa, tak terlihat lagi karisma.

Orientasi bagaimana mencerdaskan siswa, berangsur-angsur bergeser. Yang kini seolah diperlihatkan dan diperjuangkan benar-benar adalah bagaimana bisa sejahtera lewat angka.

Dalam aksinya tenda-tenda didirikan. Satu tenda, dua tenda, hingga puluhan tenda simbol keprihatinan telah berdiri. Mereka bertahan, dan terus bertahan. Aksi akan terus dilakukan, sampai tuntuan yang disampaikan dikabulkan.

Sebuah keputusan paling berani yang diambil sosok guru pun sempat disuarakan, bahwa mereka siap mogok mengajar. Bahkan sampai mogok makan.

Kegiatan belajar siswa dialihkan dengan berunjuk rasa. Dan ini menjadi semacam instruksi berantai yang harus diikuti oleh guru-guru swasta. ‘’Beruntung’’ masih ada beberapa sekolah yang menuruti aksi solidaritas semacam itu.

‘’Beruntung’’ pula karena masih ada yang sadar kalau sebenarnya siswa menjadi pihak  yang paling dirugikan untuk sebuah kepentingan golongan.

Terlepas hal-hal yang berpotensi itu dilakukan oleh oknum atau penyusup atau apapun, itulah gambaran nyata, kalau sebenarnya masih ada potensi karakter yang belum terbangun. Sifat kebergantungan masih menempati peran dominan.

Kemandirian pun masih perlu benar diupayakan agar bisa lepas dari kebergantungan akan bantuan tunjangan.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tegal sudah selayaknya sesegera mungkin mengambil sikap agar tidak membiarkan kondisi semacam ini tidak dibiarkan berlarut-larut.

Begitu pula sebaliknya, para guru swasta yang tergabung dalam Forgusta tidak terburu-buru meminta tuntutannya terkabul.

Amatlah pantas apa yang dikatakan psikolog Elly Risman dalam Majalah Teachers Guide Vol 3 edisi 9-2009. Beliau memberi pandangan bahwa menjadi guru sekarang itu berat.

Apa yang diterapkan untuk orang lain belum tentu bisa diterapkan di kehidupannya sendiri. Itulah sebabnya mereka itu perlu diperhatikan, misalnya dengan mencari keberkahan melalui kesejahteraan dan perhatian pada guru.

Selain hal primer, kebutuhan apresiasi lain juga perlu dipikirkan. Bila perlu menanamkan pemahaman pada guru bahwa untuk bahagia bukan hanya uang ukurannya. Ketangguhan, rasa syukur, bekerja dengan hati sudah sepatutnya melekat dalam dimensi kehidupan guru. Jangan anggap pula klise nilai-nilai universal itu.

Barangkali untuk bisa mencapai target karakter, bisa dimulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Untuk apa mereka menjalani profesi guru? Apa yang nantinya didapatkan dari profesi guru? Bermanfaatkah hasil profesi itu? Dan ternyata dari pertanyaan-pertanyaan itu masih banyak yang harus diluruskan.

Banyak orang tak memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Sebagian orang hanya tahu apa keinginannya, tapi sama sekali tak mengerti apa yang dibutuhkannya.

Secara sembarangan, banyak orang mengajukan keinginan dan melakukan cara-cara yang berlawanan dengan tujuan yang hendak dicapainya.

Padahal, manusia terlahir dengan potensi kekuatan yang dahsyat, yang disebut fitrah.

Kedahsyatan ini hanya bisa muncul manakala mereka berada pada kondisi fitrah, yakni ikhlas, tawakal, dan syukur. Fitrah ini akan menjadi basic skill yang bekerja secara diam-diam dari pikiran dan perasaan, meski tak kasat mata hal itu sangat bertenaga.

Sebagai guru, sudah sepatutnya malu pada sosok Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam Novel Laskar Pelangi. ”Hidup ini untuk memberi. Apa yang kita berikan, janganlah lebih sedikit dari apa yang kita dapatkan.” Pernyataan ini diucapkan Pak Harfan dalam setting ruang kerja sederhana.

Berulang-ulang ia mengucapkan itu hingga menjelang berpulang pada Khalik-Nya. Sosok guru yang memberi lebih banyak dari yang didapat, akan menjalani hari-harinya tanpa berhitung. Pekerjaannya dijalani dengan semangat pengabdian, meski bukan tanpa hitungan imbalan yang matang.

Di tengah-tengah kita mungkin pernah terdengar ungkapan, bahwa bukan zamannya lagi menjadi guru yang ikhlas, mengabdi, mencari pahala akhirat dan sebagainya. Tapi saya yakin, kalau pendapat itu keliru karena nilai-nilai universal  tak akan lekang dimakan zaman.(10)

— Ali Irfan, guru Sekolah Islam Terpadu Luqman Al Hakim, Slawi Kabupaten Tegal
Wacana Suara Merdeka 22 Januari 2010