PADA zaman kemerdekan sampai reformasi selalu lahir tokoh-tokoh pembuat sejarah (history maker). Evolusi Orde Lama (Orla) menjadi Orde Baru (Orba), tak jarang mengundang sikap-sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Sama halnya ketika era Orba ditransformasikan menjadi era Reformasi.
Pergantian corak perpolitikan tak lepas dari tokoh yang memprakarsai pendirian suatu mazhab besar, yang biasanya ditandai konfrontasi. Lihat saja, sejak zaman Bung Karno sampai sekarang, sebagian masyarakat menganggap bahwa Soeharto adalah musuh politik Soekarno. Begitu pula, Gus Dur yang semasa hidupnya menganggap Amien Rais sebagai ëímusuh dalam selimutnyaíí —meski nasib Amien Rais berbeda dari Soeharto dan Gus Dur: tidak menjadi presiden.
Konfrontasi selalu terjadi dalam percaturan politik bangsa ini. Peristiwa Supersemar, demo besar-besaran pada tahun 1997 dan 1998 adalah peristiwa yang menggambarkan konfrontasi politik itu. Mengapa hal itu terjadi? Secara teoretis penyebabnya adalah tidak dijalankannya secara benar asas check and balance yang berfungsi mengatur jalannya pemerintahan supaya seimbang sehingga kekuasaan pemerintah tidak berlebihan. Era Orla dan era Orba adalah representasi hal tersebut, meski dalam substansi yang berbeda.
Sejarah mencatat beberapa dampak dari kekuasaan pemerintah yang berlebih itu. Sebut misalnya pada era Orla terjadi pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup (Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965), penggantian UUD 45 ke dalam UUDíS 50. Puncak konfrontasi politik pada era Orla adalah peristiwa G30S/PKI, yang kemudian menjatuhkan Bung Karno dan melahirkan pemimpin baru, Soeharto.
Keterpilihan Soeharto sebagai presiden otomatis menciptakan mazhab politik baru atas Indonesia. Ia menggagas konsep politik baru yang bernama Orba, yang banyak mengusung ide-ide pembangunan berlandaskan pada idealisme Barat. Jika Soekarno lebih condong pada negara-negara Timur, Soeharto lebih tertarik pada negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Lalu lahirlah kekuatan Reformasi, dengan tokoh-tokohnya antara lain Gus Dur, Megawati, dan Amien Rais. Tahun 1998 merupakan realisasi perjuangan tokoh-tokoh Reformasi dengan kenyataan bahwa Soeharto beserta rezimnya harus ëíterjun bebasíí karena desakan mahasiswa.
Setelah Soeharto turun ia digantikan oleh BJ Habibie. Habibie hanya menyelesaikan sisa masa jabatan Soeharto. Setelah masa tugas Habibie habis, naiklah Gus Dur menjadi presiden dan Megawati sebagai wakilnya. Dalam era Reformasi ini banyak perubahan mendasar yang dilakukan oleh Gus Dur yang pada intinya adalah membuka kran demokratisasi seluas-luasnya. Antara lain pengakuan Konghucu sebagai agama, penghapusan golongan warga keturunaní bagi warga negara etnis Tionghoa, sampai pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dan menyerahkan urusan penerangan dan sosial kepada publik.
Gus Dur dinilai sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, mampu menembus sekat-sekat agama. Namun layak dicatat, bahwa Gus Dur juga manusia biasa yang akhirnya juga terjatuh dari kursi kepemimpinan nasional karena otoritasnya yang berlebih. Puncak masalah politik di masa Gus Dur adalah munculnya Buloggate dan Brunaigate, yang tak kunjung jelas sampai akhir hayatnya.
Runtuhnya Idealisme Penggambaran perjalanan perpolitikan dari era Orla sampai awal Reformasi ini tidak bermaksud mereduksi sejarah. Dengan melihat perjalanan sejarah perpolitikan tersebut kita dapat memetik satu pelajaran berharga bahwa semua kebijakan pemerintahan pastilah didasari pada idealisme kepemimpinan yang kuat.
Pada zaman pergerakan kemerdekaan, Soekarno berdiri tegak sebagai proklamator kemerdekaan RI dengan idealismenya yang sangat dipegang erat , yaitu Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri-Red), konsepnya tentang negara yang mampu berdiri sendiri tanpa bantuan negara lain.
Idealisme Soekarno tersebut masih konsisten sampai ketika ia mampu memberikan perlawanan terhadap kolonialis. Sejarah mencatat pernyataannya yang sangat terkenal yaitu go to the hell with your aid (Biography of Soekarno, 1901-1970), namun tetap saja terjadi disorientasi wewenang yang membuat bangunan besar idealismenya runtuh. Memang patut disayangkan, idealisme itu kemudian tergelincir pada hal-hal yang lebih bersifat pribadi, pada kebijakan yang berakar pada penilaian subjektif.
Soeharto pun memiliki idealisme; berkeyakinan akan mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan, yang tertuang dalam Pelita I-VII. Dalam tataran konsep, ide mengenai pembangunan berkelanjutan itu memang layak diakui sebagai konsep yang tepat mengingat kondisi negara yang membutuhkan pembangunan riil setelah kemerdekaan. Sayangnya, dalam tataran praksisnya pembangunan berkelanjutan tersebut berujung pada malapetaka dengan bertumpuknya utang dan kekuasaan kapitalis asing yang melanda pada bangsa ini. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga mewarnai pemerintahan Soeharto beserta kroni-kroninya.
Jika Soeharto ingin mengubah haluan kebijakan politik Indonesia (dari paradigma Timur yang cenderung sosialis menjadi paradigma Barat yang lebih liberal), maka pada era Reformasi juga didapati semangat perubahan semacam itu. Era Reformasi berniat mengubah cara pemerintahan Soeharto yang tidak demokratis menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Tokoh Reformasi yang mempunyai idealisme besar, untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di masa silam, ternyata juga menemui hal yang sama. Kenyataan itu terlihat ketika di Gus Dur pun pada ranah praksisnya menggunakan otoritasnya secara berlebih, bahkan terjadi persaingan antartokoh Reformasi tersebut.
Kenyataan-kenyataan empiris itu membuktikan bahwa bangunan idealisme besar belum cukup kuat untuk mengatasi kompleksitas masalah Indonesia. Idealisme itu harus didukung langkah praksis yang tetap mengusung konsep check and balance agar idealisme normatif para penguasa tidak berakhir pada otoritas kepentingan pribadi semata.
Sesat Pikir Jamak diketahui bahwa jabatan dan dunia politik merupakan dua hal yang sangat berkaitan. Karena tipisnya perbedaan antara dua hal itu, tak jarang orang salah persepsi tentang keduanya. Jabatan dianggap sebagai faktor utama dalam kancah perpolitikan. Bahkan orang cenderung rela menempuh segala cara untuk mencapai tujuan memperoleh jabatan tertentu.
Paradigma inilah yang membawa pada sesat pikir (falacy) yang menjadikan para pemimpin bangsa kehilangan idealismenya dalam menjalankan pemerintahan. Mereka cenderung terjebak dalam politik yang mengatasnamakan otoritas demi kepentingan pribadi. Menjadi ironis memang ketika jabatan hanya diorientasikan pada tujuan, bukan sebagai alat pengendali keadaan agar perpolitikan menjadi lebih baik lagi.
Beberapa kasus berbau KKN akhir-akhir ini menggambarkan bahwa idealisme seseorang seringkali hanyut terbawa arus ketika seseorang itu sudah memasuki ranah pemerintahan. Sering seseorang yang pada awal perjuangannya menggapai kekuasaan memiliki idealisme besar untuk melakukan perbaikan-perbaikan keadaan, tapi menjadi sangat pragmatis dan lupa pada idealismenya sendiri pada saat ia memegang tampuk kepemimpinan. Benar kata pepatah Barat power tends to corrupt atau pepatah orang Jawa milik nggendhong lali.
Kasus sel mewah Artalyta,íBank Century, kasus Anggodo, pembunuhan Nasruddin, kasus para pejabat yang masuk bui, dan berbagai kasus lainnya merupakan contoh yang bernuansakan lunturnya idealisme.
Penguasa (di berbagai tingkatan) kehilangan jalur idealismenya sebagai orang yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme, kebenaran, dan kejujuran. Nilai-nilai luhur itu telah bergeser ke jalur idealisme pragmatis. Distorsi semacam ini seharusnya tidak terjadi kalau mereka mampu menempatkan kekuasan atau jabatan sebagai alat, bukan tujuan.
Belajar dari kata-kata Bung Karno, ëíJangan sekali-kali melupakan sejarahíí atau lebih dikenal dengan ëíJasmerahíí seharusnya para penguasa (atau bahkan calon penguasa) dapat membaca pergerakan arah pemikiran kebiasaan perilaku para penguasa yang cenderung runtuh idealismenya ketika memasuki ranah pemerintahan.
Kesimpulannya, bahwa sekuat apa pun idealisme kita dibangun, namun ketika kita masih menganggap jabatan sebagai hal yang substansial, bukan sebagai alat pengubah menuju keadaan yang lebih baik untuk masyarakat luas, maka idealisme itu akan runtuh berkeping-keping digantikan oleh pragmatisme individu.
Meskipun demikian, sebaiknya kita tetap berharap bahwa suatu saat akan lahir generasi penerus yang mampu berdiri kokoh dan mengimplementasikan idealismenya tanpa terpengaruh oleh jabatan maupun kelimpahan materi yang akan menggelincirkan mereka pada kepentingan individu semata. (10)
— Banu Prasetyo, Ketua Lembaga Mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada
Wacana Suara Merdeka 22 Januari 2010