Beragam masalah di wilayah perbatasan Indonesia bukanlah barang baru. Sejak Orde Baru hingga saat ini, persoalan kawasan perbatasan selalu menjadi duri dalam dinamika pembangunan nasional.
Minimnya alokasi anggaran untuk membangun fasilitas infrastruktur dasar dan mendorong aktivitas ekonomi membuat hampir sebagian besar daerah perbatasan tetap tak beranjak menjadi lebih baik secara signifikan. Padahal terdapat paling tidak 16 departemen teknis yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan. Dengan program pembangunan yang tidak terstruktur dan terkoordinasi, tidak aneh jika kondisi di wilayah perbatasan sangat memprihatinkan. Kesenjangan ekonomi sangat mencolok dengan wilayah negara tetangga.
Orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan lebih condong ke negara tetangga. Mereka yang tinggal di Kecamatan Nunukan, Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia misalnya lebih mengenal mata uang ringgit daripada rupiah. Mereka lebih mengenal pemimpin, artis, dan kebudayaan negeri tetangga karena siaran Radio Television Malaysia (RTM) lebih jelas ditangkap. Dari aspek kesejahteraan, warga Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan tetap terbelakang karena ketersediaan sarana dan prasarana masih jauh dari apa yang selama ini dijanjikan para pejabat yang berkunjung ke sana.
Kenyataan yang menunjukkan kurangnya kehadiran negara (state presence) di wilayah perbatasan itu dalam jangka panjang bisa menjadi ancaman yang sangat nyata karena bisa melunturkan rasa dan semangat nasionalisme. Bahkan kasus hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta konflik di Blok Ambalat juga mencerminkan lemahnya manajemen negara dalam pengelolaan wilayah perbatasan dan pengelolaan pulau-pulau terluar.
”Bemper” Pertahanan
Garis batas wilayah antarnegara yang belum jelas serta besarnya potensi konflik di wilayah perbatasan membuat penanganan masalah perbatasan melulu dipandang dari sisi keamanan. Akibatnya, sering kali persoalan yang muncul di perbatasan pun coba dituntaskan dengan menggunakan pendekatan keamanan dan pertahanan. Misalnya, warga perbatasan hanya dicekoki soal dasar negara, doktrin pertahanan, dan isu keamanan.
Sayangnya, wilayah perbatasan yang dijadikan “bemper” pertahanan tidak didukung oleh kondisi kesejahteraan prajurit TNI yang baik. Uang lauk pauk yang diterima prajurit TNI di wilayah perbatasan hanya sekitar Rp38.000. Bandingkan dengan uang makan prajurit Amerika yang mencapai Rp75.000 untuk sekali makan. Sementara aspek kesejahteraan dan psikologi masyarakat yang juga tidak kalah penting terabaikan.
Di wilayah perbatasan, kehadiran negara harus diintensifkan dan jelas dirasakan oleh masyarakat di sana. Rasa bangga sebagai warga negara Indonesia harus terus digelorakan melalui pelayanan dasar kepada publik seperti kantor pos, puskesmas, sekolah, lembaga penyiaran seperti RRI dan TVRI yang dapat memberikan informasi dan hiburan.
Pemerintah harus berani menjadikan wilayah perbatasan sebagai teras, bukan halaman belakang negara seperti yang dilakukan selama ini. Dengan menjadi teras, pembangunan di wilayah perbatasan akan teperhatikan dan menjadi lebih fokus. Wilayah perbatasan akan hidup karena perekonomian terbentuk dan tumbuh seiring dengan perpindahan penduduk.
Tengok kehidupan masyarakat di Tawau (Malaysia) dengan Nunukan (Kalimantan Timur) yang hanya berjarak 15 menit penyeberangan dengan speed boat. Kesejahteraan masyarakat di Tawau jauh lebih baik dibandingkan di Nunukan. Strategi yang dikedepankan Malaysia yang menjadikan daerah perbatasan justru sebagai beranda negara patut kita tiru.
BNPP sebagai Solusi?
Hadirnya Undang-Undang tentang Wilayah Batas Negara (UU No 43/2008) ternyata belum dimanfaatkan sebagai dasar untuk mengembangkan daerah perbatasan. Pemerintah masih terjebak pada paradigma lama, yaitu tetap menggunakan pendekatan simbolik dengan membangun fasilitas fisik dan pos pengamanan. Penguatan dan pemberdayaan warga di perbatasan kurang diupayakan.
Program sektoral hanya berhenti di wilayah perkotaan. Akibatnya, kondisi perbatasan kian terpuruk. Sesuai amanat UU No 43 Tahun 2008,pemerintah akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) untuk memaksimalkan pengelolaan wilayah perbatasan RI dengan sejumlah negara lain, baik perbatasan darat maupun laut. Dengan keppres itu, seluruh departemen dan instansi terkait pengelolaan perbatasan akan terkoordinasi dengan baik dalam mengelola wilayah perbatasan.
BNPP apabila dijalankan dengan konsekuen akan menjadi solusi karena permasalahan di kawasan perbatasan hanya bisa diselesaikan melalui koordinasi dan perubahan paradigma. Penyelesaian permasalahan secara sektoral dan parsial oleh departemen-departemen teknis selama ini jelas menghamburkan APBN dan menguras banyak tenaga serta waktu dengan hasil yang minim. Departemen- departemen terkait harus rela merendahkan ego dan kepentingannya. Mereka harus ikhlas bekerja dalam kerangka koordinatif di bawah BNPP demi pemenuhan hak asasi rakyat Indonesia yang hidup di wilayah perbatasan, yakni menikmati hasil kemerdekaan dengan lepas dari keterisolasian dan keterbelakangan.
Keberadaan BNPP diharapkan dapat mengantisipasi masalah kesimpangsiuran penanganan, penyalahgunaan dana APBN untuk pembangunan wilayah perbatasan, serta mencegah praktik menjual kemiskinan dan ketertinggalan di daerah perbatasan demi mendapatkan anggaran yang kerap dilakukan oknum pemda yang tidak bertanggung jawab. BNPP harus menjadi badan yang berwibawa tanpa terjebak menjadi superbody, yang bukan hanya mendesain, tapi juga mengeksekusi program-program pembangunan di wilayah perbatasan.(*)
Tantowi Yahya
Anggota Komisi I DPR RI
Opini Okezone 22 Januari 2010
21 Januari 2010
Daerah Perbatasan, Beranda yang Masih Diabaikan
Thank You!