Temuan adanya kamar mewah untuk Ayin dan narapidana lainnya di Rumah Tahanan Pondok Bambu tidak terlalu mengejutkan. Cerita tentang perlakuan istimewa bagi narapidana yang memiliki uang sudah menjadi rahasia umum. Sebuah buku terbit di Australia pada 2009 bahkan menggambarkan dengan sangat rinci kehidupan sebuah penjara di Indonesia yang mengerikan sekaligus memilukan. Jual beli kamar, narkoba, pekerja seks, menggunakan telepon seluler, laptop, hingga perlakuan istimewa untuk keluar penjara.
Pertanyaannya, mengapa terjadi? Jawaban untuk itu mungkin dimulai dengan sedikit respons terhadap kerja Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang 'mengungkap' itu ke permukaan. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dalam konteks sistem peradilan pidana, posisi sistem pemasyarakatan (seperti rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) relatif 'lemah'.
Bila polisi, jaksa, dan hakim hanya mengelola fungsi sebagai penegak hukum, rutan dan LP, selain mengelola fungsi pembinaan, juga sekaligus mengelola fisik, yaitu fisik tahanan maupun narapidana dan tempat penahanan atau penjara itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Satgas Mafia Hukum memulai kerjanya yang terkesan seperti reality show tersebut di Rutan Pondok Bambu karena memang paling mudah dilihat dan sulit untuk dielakkan. Itu berbeda dengan karakteristik mafia hukum di kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan yang sulit diidentifikasi.
Tulisan ini tidak bertendensi mengatakan satgas tersebut tidak perlu melakukan tindakan seperti itu. Toh sistem pemasyarakatan perlu mengakui masalah itu jamak ditemukan dan telah berlangsung sangat lama, hampir di setiap rutan atau LP di Indonesia. Bahkan ada indikasi pembiaran karena sangat mungkin oknum-oknum tertentu menikmati hasil dari pelanggaran tersebut. Termasuk pembiaran oleh kantor wilayah dan kewenangan pengawasan di inspektorat departemen. Jadi, kerja satgas bersifat instrumental dalam memberikan terapi kejut kepada pihak-pihak lain yang tentu saja sekarang ini tidak sesial Kepala Rutan Pondok Bambu yang dicopot.
Namun, terkait dengan masalah di rutan dan LP ini, satgas perlu memahami bahwa melakukan sidak tidak mampu menyelesaikan masalah yang mendasar. Meski terkesan klise, semua pihak perlu mengetahui bahwa dalam perspektif organisasi penjara selalu berhadapan dengan setidaknya tiga hal. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Seperti masalah anggaran dan sumber daya manusia, rutan dan LP tidak berada dalam posisi yang memiliki kewenangan untuk menambah atau mengurangi.
Demikian pula halnya dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebagai direktorat teknis yang hanya memiliki kewenangan dalam memberikan usulan. Kewenangan perencanaan dan penganggaran dalam struktur Departemen Hukum dan HAM ada pada jalur kantor wilayah dan fungsi sekretariat jenderal. Jadi, buruknya kualitas makanan dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya juga merupakan tanggung jawab dari kantor wilayah dan departemen umumnya. Meskipun, dalam banyak kasus, itu juga disebabkan oleh penyimpangan yang dilakukan pada tingkat teknis. Kesenjangan antara kebutuhan fungsional dan dukungan fasilitatif ini merupakan salah satu faktor makro yang perlu diperhatikan dalam upaya perubahan di pemasyarakatan.
Mungkin perlu didiskusikan kembali apakah pola hubungan struktural di Departemen Hukum dan HAM sekarang ini sudah akomodatif terhadap kebutuhan di tingkat teknis. Perlu diketahui bahwa, pola hubungan terintegrasi (integrated), sebagaimana yang sekarang diterapkan oleh Kemenkum dan HAM, adalah pola yang efektif apabila fungsi-fungsi pada tingkat direktorat teknis saling terkait, dengan fungsi satu berpengaruh pada fungsi yang lain.
Padahal bila diambil contoh dua direktorat teknis terbesar di Kemenkum dan HAM, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Imigrasi, di antara keduanya jelas memiliki fungsi yang berbeda dan tidak saling terkait meski masih berada dalam kerangka penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pola hubungan struktural yang lebih otonom mungkin patut dikaji kembali, sambil memikirkan bagaimana pengawasan bisa dilakukan secara efektif bila pola hubungan struktur yang otonom tersebut dipilih.
Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Banyak penelitian memperlihatkan tidak efektifnya perawatan dan pembinaan yang dilakukan oleh rutan dan LP. Pembinaan pun cenderung seragam, tidak variatif, yang seharusnya menyesuaikan dengan karakteristik tahanan atau narapidana. Hal ini memang sangat terkait dengan masalah otonomi yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyak pembinaan yang tidak berjalan karena minimnya dukungan fasilitatif, karena sumber daya yang terbatas lebih banyak dialokasikan untuk pengamanan rutan atau LP.
Ketiga, masalah kontrol, terhadap tahanan atau narapidana dan terhadap petugas serta otoritas rutan dan LP. Perlu dipahami bahwa rumah tahanan dan penjara adalah sebuah masyarakat yang memiliki kultur khusus. Corak ragam perilaku di dalam penjara adalah representasi kehidupan masyarakat umumnya. Termasuk model manajemen kekuasaan yang diterapkan oleh otoritas penjara. Jadi, tidak perlu heran bila seorang koruptor atau seorang makelar kasus kakap, ketika tidak lagi sebagai manusia bebas, akan melakukan hal yang sama di dalam penjara.
Demikian pula petugas penjara, yang merupakan bagian dari manajemen kekuasaan dan kultur birokrasi Indonesia yang masih adaptif terhadap penyimpangan. Perpaduan antara kebutuhan akan keamanan serta upaya mengurangi penderitaan pemenjaraan dan kecenderungan birokrasi yang korup inilah yang menghasilkan kemewahan seperti yang terakhir dinikmati Ayin di Pondok Bambu.
Bagaimana pengawasan dapat dilakukan secara efektif bila kultur masyarakat penjara bersifat adaptif terhadap penyimpangan? Meskipun klise, tulisan ini melihat bahwa tidak logisnya proporsi antara petugas dan total tahanan dan narapidana adalah salah satu penyumbang utama lemahnya kontrol terhadap kehidupan penjara. Kondisi itu memang dilematis, baik bagi petugas maupun otoritas rutan atau LP. Bila manajemen pengendalian yang diterapkan bersifat ketat, disiplin tinggi dan keras, sementara jumlah petugas tidak proporsional, rutan atau LP akan potensial rusuh karena resistensi dari tahanan atau narapidana.
Jadi, dapat dipahami mengapa petugas dan otoritas penjara lebih mengambil pilihan-pilihan yang membiarkan tahanan atau narapidana berjudi, memasak, atau melakukan sesuatu yang melanggar aturan, asal tidak melakukan kerusuhan atau melarikan diri. Berdasarkan data akhir 2009, total tahanan dan narapidana di Indonesia hampir mencapai 140.000 orang. Sementara itu, total petugas pemasyarakatan, termasuk pejabat struktural, sekitar 28.000 orang. Jumlah total tahanan dan narapidana ini bila dibandingkan dengan kemampuan/kapasitas rutan atau LP juga tidak bisa dianggap proporsional.
Kontrol atau pengawasan terhadap petugas atau otoritas rutan dan LP juga perlu mendapatkan evaluasi terkait dengan hal ini. Sebagai organisasi di dalam lingkup Kemenkum dan HAM, inspektorat perlu konsisten dalam menjalankan pengawasan, yang diperlihatkan dengan konsistensi penindakan terhadap pelanggaran. Selain itu, pada tingkat teknis, mekanisme pengawasan langsung oleh atasan juga perlu diperkuat. Jamaknya penyalahgunaan kewenangan salah satunya disebabkan oleh hal ini.
Pertanyaan mengapa pengawasan internal cenderung tidak efektif sangat terkait dengan kultur birokrasi, dengan ada keengganan untuk menindak pihak yang sama-sama pegawai pemerintah, atau karena pengawas adalah pihak yang juga diuntungkan oleh pelanggaran yang terjadi. Salah satu jalan keluar bagi lemahnya pengawasan ini adalah dengan mulai membuka diri terhadap pengawasan eksternal dari unsur masyarakat. Ide monitoring eksternal yang coba didorong oleh Protokol Opsional Konvensi Antipenyiksaan, bila dicermati dengan baik mekanismenya, cukup memberikan peluang untuk perbaikan rutan atau LP. Hal yang dipentingkan dalam monitoring ini tidak berada pada subjek dan penyimpangannya, tetapi pada upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah penyimpangan. Resistensi terhadap instrumen ini perlu dipikirkan kembali.
Terakhir, upaya reformasi terhadap sistem pemasyarakatan tidak dapat dipandang secara parsial. Banyak aspek yang terkait sehingga reformasi birokrasi pemasyarakatan dan Kemenkum dan HAM umumnya perlu disegerakan karena memang telah diprioritaskan. Subsistem peradilan pidana yang lain (polisi, jaksa, hakim) juga memiliki peran penting dalam upaya mengurangi masalah overcrowded di rutan atau LP. Tidak semua pelaku pelanggaran hukum perlu ditahan atau dipenjarakan. Tentu saja pada aspek politik, pemerintah dan kekuasaan legislatif memberikan payung hukum untuk langkah-langkah nonpemidanaan dan nonpemenjaraan bagi subjek-subjek khusus, seperti anak, first offender, pelaku kejahatan ringan, murni pengguna narkoba, atau perempuan dengan tanggungan anak.
Oleh Iqrak Sulhin Kriminolog UI, Direktur Center for Detention Studies
Opini Media Indonesia 22 Januari 2010