06 Januari 2010

» Home » Kompas » Menata Ulang Pemekaran Daerah

Menata Ulang Pemekaran Daerah

Jeda atau moratorium pemekaran daerah untuk memberi waktu bagi evaluasi proses dan hasil pemekaran daerah selama 10 tahun terakhir hingga kini masih sulit diwujudkan. Walaupun pemerintah mengeluhkan pemekaran daerah hanya membebani anggaran negara, pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru terus mendorong terbentuknya daerah otonom baru.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September 2009 menyurati Ketua DPR, yang mempersilakan DPR untuk mengajukan kembali usulan pembentukan daerah otonom. Usul inisiatif DPR dalam rancangan undang-undang (RUU) tentang pembentukan kabupaten/kota/provinsi dapat diajukan kembali setelah penyelenggaraan Pemilu 2009 selesai dan setelah dilakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Di bagian lain surat itu, Presiden mengatakan, sebelum melaksanakan pemekaran daerah, perlu dilakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah secara konsisten, sungguh-sungguh, tuntas, dan menyeluruh. Evaluasi diperlukan mengingat pemekaran daerah yang tak memenuhi urgensi, persyaratan administratif, dan kurang didukung keuangan yang memadai hanya membebani keuangan negara.


Sebelum ada surat itu, DPR mengusulkan 20 RUU pembentukan kabupaten/kota/provinsi pada Juni 2009 dan meminta kepada Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU itu. Ke-20 RUU itu kini masih tertunda pembahasannya karena belum ada amanat Presiden untuk pembahasannya.
Ambigu pemerintah dan DPR terhadap persoalan pemekaran daerah tidak terlepas dari belum adanya desain besar (grand design) otonomi daerah, khususnya terkait pembentukan daerah otonom baru. Hingga 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah, belum ada kajian pasti berapa sebenarnya jumlah daerah otonom yang dibutuhkan Indonesia dengan berbagai karakteristik kewilayahan dan budayanya.
Saat ini Indonesia memiliki 530 daerah otonom, terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif, dan 1 kabupaten administratif. Selama 1999-2009, terbentuk 205 daerah otonom baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah lebih dari 63 persen dibandingkan dengan jumlah daerah otonom di akhir masa Orde Baru.
Evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) pada 2008 menunjukkan, dari 148 daerah otonom baru yang dimekarkan antara 1999-2007, sebanyak 49 daerah berkinerja pemerintahan tinggi dan 28 daerah berkinerja rendah. Sisanya, sebanyak 71 daerah, tak bisa dievaluasi karena tidak menyampaikan laporan kinerja pemerintahan.
Hasil evaluasi daerah oleh Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan.
Meski hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukkan hasil yang kurang baik, usulan pemekaran daerah tetap mengalir dan diakomodasi Kemdagri, DPR, dan DPD. Hingga akhir Desember lalu, tercatat 112 usulan daerah otonom baru yang diajukan ke Kemdagri. Jika ditambah dengan usulan yang masuk melalui DPR dan DPD, jumlahnya dipastikan membengkak sebab banyak usulan pemekaran daerah diajukan melalui DPR karena lebih mudah.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Ratnawati, mengingatkan, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menindak dan membubarkan daerah otonom yang tidak memiliki kinerja baik. Tindakan tegas itu diperlukan bagi daerah otonom yang tidak bisa mewujudkan peningkatan kualitas layanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan demokrasi lokal.
Banyaknya pembentukan daerah otonom baru tidak terlepas dari lemahnya kendali pemerintah pusat dalam menjalankan desentralisasi. Kondisi itu dimanfaatkan sebagian aktor politik lokal dan nasional untuk berkontestasi mewujudkan kepentingan politik mereka, termasuk salah satu caranya melalui pemekaran daerah.
Maraknya pemekaran daerah juga didorong motif untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan akibat wilayah yang luas, sebaran penduduk yang tak merata, serta keinginan untuk memanfaatkan bantuan fiskal dari pemerintah pusat. Hal itu sering kali disertai keinginan untuk mewujudkan homogenitas etnis, agama, ataupun identitas primordial lainnya dalam suatu daerah.
Selain itu, pembentukan setiap tingkatan daerah otonom baru umumnya hanya didasarkan atas syarat minimum pembentukan daerah otonom baru, yaitu lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, lima kecamatan untuk pembentukan satu kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota.
Dosen Departemen Geografi Universitas Indonesia, Djoko Harmantyo, dalam Jurnal Makara Sains Volume 11 Nomor 1, April 2007, menyebutkan, idealnya Indonesia pada 2005 memiliki 460 kabupaten/kota. Jumlah itu didasarkan asumsi jumlah penduduk minimal 500.000 warga atau sekitar 100.000 keluarga dalam sebuah kabupaten/kota. Jumlah penduduk itu diharapkan bisa berkembang menjadi wilayah perkotaan.
Pembentukan daerah otonom baru perlu disesuaikan dengan karakter geografisnya, yaitu negara kepulauan tropis yang memiliki keberagaman morfologi wilayah, sebaran penduduk yang tak merata, serta keragaman kondisi sosial budaya, bahasa, hingga agama. Penggunaan perspektif geografis dapat mengindari konflik tata ruang yang muncul pascapemekaran yang banyak terjadi saat ini, baik perebutan wilayah, sengketa perbatasan, maupun pengelolaan fungsional suatu ekosistem tertentu antardaerah.
Sejatinya, proses pemekaran daerah tak dapat dilarang karena kebutuhan untuk memekarkan daerah hingga kini tetap ada akibat luasnya wilayah Indonesia ataupun pertumbuhan wilayah. Hal yang dibutuhkan adalah penataan kembali proses pemekaran daerah.
Mekanisme pembentukan daerah otonom baru harus dievaluasi agar proses yang membutuhkan biaya dan tenaga besar itu tidak melenceng dari tujuan utamanya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tanpa membebani keuangan negara.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Syarif Hidayat, menyatakan, agar proses penataan ulang pemekaran daerah itu berlangsung optimal, proses pemekaran daerah harus dihentikan sementara secara total atau dilakukan moratorium. Selama masa itu, proses pemekaran daerah otonom ditinjau ulang, membuat tim penilai yang independen hingga pemberian sanksi tegas bagi daerah otonom yang dinilai gagal.
Penilaian layak tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini dilakukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Namun, oknum di lembaga itu justru ditengarai menjadi konsultan pemekaran daerah sehingga bermunculan daerah otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD diperlukan dengan mengisinya dari kalangan profesional yang independen dan memiliki kemampuan luas tentang otonomi daerah. Lembaga baru inilah yang selanjutnya akan merekomendasikan kepada DPR dan Presiden tentang layak tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan. Proses ini juga untuk menghindari dijadikannya isu pemekaran daerah sebagai alat politik untuk bagi-bagi kekuasaan di daerah.
Sanksi juga perlu diterapkan. Jika pemekaran daerah tidak dilarang, penggabungan dan penghapusan sebuah daerah otonom juga tidak perlu ditabukan. Namun, penggabungan dan penghapusan daerah otonom yang tidak bisa melaksanakan kewenangan otonominya itu selama ini sulit dilaksanakan.
Untuk menjamin agar proses pemekaran daerah tidak hanya menghasilkan daerah otonom baru yang buruk, calon daerah otonom baru saat disahkan sebaiknya tidak langsung diberi kewenangan sebagai daerah otonom, tetapi menjadi daerah administratif dahulu. Proses transisi untuk memantau perkembangan daerah ini perlu diberlakukan selama minimal lima tahun sejak pembentukannya.
Setelah lima tahun, nasib daerah administratif itu bergantung pada hasil evaluasinya
Oleh M ZAID WAHYUDI dan SUSIE BERINDRA
Opini Kompas 7 Januari 2010