06 Januari 2010

» Home » Solo Pos » PAN kembali ke jati diri

PAN kembali ke jati diri

Partai Amanat Nasional (PAN) menyelenggarakan Kongres III pada tanggal 7–9 Januari 2010 di Batam dengan tema yang cukup menarik untuk didikusikan, yaitu Kembali ke Jati Diri. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang perlu dielaborasi, mengapa tema itu muncul.

Pertama, disadari secara institusional, perjalanan partai berlambang matahari terbit ini telah keluar dari jati dirinya. Partai ini sejak awal didesain di atas fondasi modernitas, dengan ciri inklusif-pluralis, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama, dan bertekad melanjutkan perjuangan reformasi secara konstitusional.


Wahananya melalui para kadernya yang menduduki jabatan politik, baik di legislatif atau eksekutif. Namun ternyata melihat kenyataan sekarang, hal-gal di atas belum mendatangkan simpati rakyat yang bisa dilihat melalui Pemilu, sejak 1999 hingga 2009.
Pada pemilu pertama di era reformasi, meski PAN belum mempunyai kinerja yang bisa diukur, dan hanya mengandalkan ketokohan Amien Rais saat terjadi gerakan reformasi, PAN telah memperoleh suara secara nasional 7,2%.
Para elite partai ini meyakini, dalam Pemilu berikutnya (2004), perolehan suara akan meningkat, karena kinerjanya sudah bisa diukur, dan tema sentral dalam Pemilu 2004 mengusung Amien Rais for President.
Prediksi tersebut ternyata meleset. Dalam pemilu 2004, suara PAN menurun menjadi 6,8%. Ketika PAN dicoba untuk “disapih” Amien Rais, dengan melakukan regenerasi kepemimpinan dalam Kongres II di Semarang, lima tahun yang lalu, di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachier ternyata perolehan suara dalam pemilu 2009 tidak jauh berbeda. Trennya cenderung menurun, yakni hanya memperoleh 6,1% suara nasional.
Oleh banyak pihak, perolehan 6,1% suara disebut masih dinilai sebagai keberhasilan Mas Tris —sapaan akrab Soetrisno Bachier—untuk mempertahankan perolehan suara, mengingat Pemilu 2009 terdapat “tsunami politik” akibat aksi Partai Demokrat.
Jika saja PAN tidak mengembangkan kepemimpinan model Mas Tris, yang mencoba dan berjuang keras membawanya ke “partai tengah”, diyakini PAN akan memperoleh suara lebih kecil lagi.
Kecenderungan suara PAN yang selalu menurun ini, barangkali yang kemudian membawanya pada suatu kesimpulan, PAN telah keluar dari jati dirinya. PAN dinilai tidak konsisten menjalankan amanah cita-cita para pendirinya, dan PAN telah gagal meraih simpati rakyat melalui pemilu.
Kedua, tema kongres tersebut mengandung suatu tekad, PAN harus mampu memperbaiki kinerja, menebar simpati kepada rakyat dan konsisten memperjuangkan hak-hak sipil rakyat. Oleh karena itu, untuk menghadapi Pemilu 2014, dimana saat itu akan terjadi peralihan generasi kedua pascareformasi, akan menjadi ujian krusial bagi PAN.
Apakah tren suara menurun tersebut juga akan terjadi pada pemilu 2014 atau tidak? Jika pada Pemilu 2014 nanti perolehan PAN tidak lebih dari perolehan suara Pemilu-pemilu sebelumnya, itu mengandung pesan, PAN memang harus mengakhiri sejarahnya.

Kegagalan
Kegagalan partai politik memenuhi harapan rakyat, dan dicap meninggalkan jati diri partai, sebenarnya tidak hanya dimonopoli PAN. Di tengah gelombang pragmatisme politik yang sedang menjangkiti para pelaku politik di tanah air, sulit untuk menemukan partai yang benar-benar mampu memenuhi harapan rakyat.
Ketika era setelah Orde Baru, demokrasi dibangun diatas fondasi atau pilar partai politik, namun partai diisi oleh orang-orang yang tidak mempunyai kompentensi etis menjalankan roda pemerintahan. Dan ini nyaris dilakukan oleh seluruh partai.
Karena itu, praktik politik berada dalam kesunyian makna dan jauh dari cita-cita budaya politik yang lebih mencerahkan daripada praktik politik yang dilakukan oleh elit politik Orde Baru. Satu hal baru yang mungkin terjadi, pada era reformasi ini tidak lebih dari sekadar pergantian elit dengan instrumen Pemilu yang secara prosedural demokratis.
Sehingga, eksistensi partai politik sebenarnya layak dipertanyakan oleh rakyat. Rakyat berada dalam kebingungan memilih, apakah tetap pada pilihan partai politik lama yang ternyata gagal, atau mencoba pilihan partai politik baru, dengan harapan ada perubahan.
Dalam rangka mencoba-coba itu, rakyat menjatuhkan pilihan pada Partai Demokrat, sebagai alternatif pilihan dari partai-partai nasionalis lama yang dinilai gagal, meski telah memiliki kesempatan menjadi pemenang Pemilu, yakni PDIP dan partai Golkar. Sementara itu, sebagai bagian dari partai nasionalis, PAN juga dinilai gagal menciptakan harapan bagi rakyat.
Dalam konteks inilah, Partai Demokrat menjadi pemenang dalam Pemilu 2009. Partai yang dibesarkan oleh kharisma SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) tersebut tergolong partai baru, yang mengikuti Pemilu pertama kali pada tahun 2004, dan diuntungkan oleh “kebingungan pilihan” dan harapan rakyat yang kian hilang, sehingga sedikit keberhasilan pemerintahan SBY sebagai presiden periode 2004 – 2009 mampu mendorong rakyat untuk menjatuhkan pilihan pada partai ini.

Agenda
Kemenangan Partai Demokrat adalah kemenangan swing voters, yang didominasi oleh pemilih rasional yang menjatuhkan pilihan pada partai nasionalis. Kecenderungan rakyat dalam sejarah Pemilu di tanah air selalu dimenangi oleh partai nasionalis.
Karena itu, faktor swing voters akan menjadi penentu pemenang Pemilu. Karena watak swing voters gampang datang dan pergi. Suatu partai yang mampu mengelola harapan, partai itu yang akan menjadi pilihannya. Jika PAN pandai mengelola harapan, suatu hal yang tidak mustahil, PAN akan menjadi alternatif pilihan para swing voters.
Dengan demikian, tema Kongres III PAN Kembali ke Jati Diri perlu diterjemahkan dalam bentuk yang lebih riil.
Pertama, perlu mempertajam kode etik kader, baik yang memiliki jabatan di legislatif, eksekutif atau yang berada di luar kekuasaan politik. Kode etik tersebut memuat secara rinci apa yang boleh, tidak boleh, dilarang dan harus dilakukan oleh kader, yang secara konsisten dan tegas dilakukan oleh partai.
Selama ini, PAN terlalu longgar terhadap para kadernya. Seolah-olah, partai hanya dijadikan “bus penumpang” untuk memperoleh jabatan politik. Seolah-olah, jika “seorang penumpang” telah memenuhi “kewajibannya” dia dapat berbuat apa saja. Karena itu, seperti kasus di Jawa Tengah, meski terkena kasus Narkoba, yang bersangkutan masih dikatakan sebagai “kader terbaik”.
Kedua, PAN harus mampu menerjemahkan harapan rakyat dalam mengelola negara ini dengan mendefinisikan dan merealisasikan pflatform dan cita-cita partai dalam langkah-langkah yang kongkrit.
Perlu managemen yang sengaja diciptakan agar seluruh kader elalu merujuk pada garis program dan cita-cita partai tersebut dalam berbagai aksi dan perilakunya, sehingga segala praktik politik kader PAN selalu mempunyai rujukan. Selamat berkongres, dan selamat kembali ke jati diri partai. - Oleh : Thontowi Jauhari, Ketua DPD PAN Boyolali.
Opini Solo Pos 7 Januari 2010