LEBIH dari satu dekade menjadi pengabdi rakyat di dalam pemerintahan, saya menemukan satu idiom bahwa, memakmurkan dan menyejahterakan rakyat selalu suatu hal yang sangat mudah diretorikakan tetapi tidak mudah untuk direalisasikan.
Hal tersebut semakin menebal ketika saya berada dalam posisi sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. Jawa Tengah dengan penduduk terbesar kedua di Indonesia, dengan posisi di tengah Jawa ini masih banyak sekali desa miskin dan tertinggal.
Kita tidak hanya memerlukan program untuk memerangi kemiskinan tetapi harus pula bisa menjamin program tersebut bisa diterapkan dan benar-benar bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan, untuk kemudian memakmurkannya.
Progam-program klasik yang saat ini dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, terbukti kurang berhasil mencapai target memakmurkan rakyat. Dalam pandangan saya ada beberapa mindset, sistem, dan metode yang kurang tepat dalam program tersebut.
Salah satu mindset yang keliru adalah kita selalu menganggap bahwa masyarakat tertinggal -khususnya desa- sudah bernasib final sebagai keluarga miskin (gakin), sehingga kita merasa harus selalu memenuhi kebutuhan mereka -raskin, bantuan langsung tunai (BLT), askeskin, dan sebagainya.
Seharusnya yang harus kita lakukan adalah bagaimana membuat masyarakat tertinggal itu menjadi sepenuhnya mandiri sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, sehingga upaya berikutnya untuk membuat mereka makmur akan lebih mudah.
Kemudian sistem anggaran pemerintah dan metode kegiatan pemberdayaan-pembangunan oleh dinas-dinas dalam pemerintahan sendiri masih kental nuansa birokratis yang sering kurang efektif, kurang sigap, dan kurang efisien. Untuk mengubah mindset, sistem, dan metode meskipun bisa, rasanya sangat sulit dan menghabiskan energi padahal rakyat yang miskin ini perlu segera ditangani.
Perlu ada konsep sinergi untuk menutup keterbatasan kemampuan pemerintah tersebut. Perlu ada konsepsi jalan baru untuk membangun Jawa Tengah, yang bisa membuka keterbatasan-keterbatasan ekonomi rakyat.
Jawa Tengah mempunyai banyak modal untuk bisa bangkit, antara lain, SDA berupa tanah vulkanik yang sangat subur serta laut yang luas dan SDM yang relatif lebih maju dibandingkan dengan luar Jawa. Dalam membangun jalan baru tersebut, kita tidak bisa tidak bisa mengintroduksi hal-hal yang sama sekali baru kepada masyarakat.
Saya sangat sepakat dengan program Gubernur Jawa Tengah Bali Ndesa Mbangun Desa. Bahwa yang digarisbawahi adalah desa adalah suatu konsep cerdas, di mana pembangunan bottom-up dari desa akan juga berdampak positif memakmurkan kota, yang apabila secara sistemik dan serentak digerakkan maka ini adalah arti sebenarnya membangun negara.
Pemberdayaan desa yang berhasil memandirikan masyarakat desa dan memberikan kemampuan berwirausaha, akan membuat pusaran energi spiral-up ke atas yang semakin membesar. Sebuah energi luar biasa besar dari puluhan juta orang yang tidak pernah kita bayangkan, akan mendorong kemakmuran, kesejahteraan, dan kemandirian bangsa.
Daya Beli
Pemberdayaan tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Perlu pemerintah berkolaborasi dengan: (1) Para ahli (expert) yang sudah berpengalaman dan berhasil dalam bidang-bidang yang akan dijadikan acuan pemberdayaan, untuk menimba ilmu dan pengalaman. Misal ahli sekaligus praktisi yang sudah berhasil di bidang perikanan air tawar, pertambakan, perikanan laut, pertanian hortikultura, peternakan sapi, dan praktisi ahli pemasaran. (2). Berkolaborasi dengan pengusaha atau BUMN/BUMD yang mempunyai dana untuk corporate social responsibility. Memakmurkan dan memandirikan desa bukan berarti menciptakan pesaing bagi pengusaha, tetapi justru ini adalah upaya meningkatkan daya beli masyarakat yang berujung pada peningkatan pendapatan perusahaan-perusahaan tersebut dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemberdayaan harus dimulai dari mengajari masyarakat dengan apa yang mereka bisa, dan sesuai dengan daerahnya, kemudian kita pertajam dengan sentuhan pemberdayaan dan teknologi. Pendidikan rakyat tidak bisa dilakukan dalam pendidikan formal tetapi harus melalui pendidikan aplikasi praktik di lapangan.
Dalam perjalanan mengkonstruksikan jalan baru bagi kemakmuran Jawa Tengah, saya mendapat pencerahan dari seorang pemberdaya masyarakat desa, Budi Dharmawan, Ketua Yayasan Obor Tani, adik kandung dari mantan Menko Ekuin/ Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie. Ia berkata bahwa sudah tidak zamannya lagi pemberdayaan petani dilakukan sepotong-sepotong, sebagai contoh membagi bibit kepada petani kemudian ditinggal pergi, atau bibitnya dibagi sekarang, pupuknya tahun depan.
Budi Dharmawan juga mengkritisi metode pemberdayaan masyarakat oleh dinas-dinas di pemerintahan, bahwa pemberdayaan saat ini dilakukan dengan cara mengumpulkan petani, kemudian diceramahi sehari-dua hari di ruang pertemuan dinas, kota/kabupaten atau di hotel-hotel, kemudian diberi uang saku untuk pulang.
Atau sudah tidak tepat menurutnya, petani diajak piknik sehari ke tempat-tempat agribisnis yang sudah jadi, kemudian diberi bantuan bibit atau sarana produksi tanpa pembimbingan yang intensif. Ada hal menarik yang telah dikerjakan Yayasan Obor Tani, yaitu pembangunan sentra pemberdayaan tani (SPT) di desa-desa miskin dan tandus.
Hibah Murni
SPT adalah satu model pemberdayaan masyarakat desa di bidang pertanian dalam bentuk hibah murni secara menyeluruh, masif, dan terintegrasi. Sasarannya desa miskin dan tandus yang mempunyai kegotongroyongan kuat. Pertama di desa tersebut diberikan air untuk budi daya buah-buahan unggul seperti lengkeng itoh, durian monthong, buah naga red dragon, srikaya grand anona, dan mangga nam dokmai.
Caranya dengan dibangunkan waduk mini tadah hujan di puncak bukit kurang lebih seluas lapangan sepakbola, bervolume 7.500-10.000 m3 sedalam 3 meter berdasarkan curah hujan rata-rata di Jawa Tengah 3.000-4.000 mm/tahun, kemudian diberi lapisan geomembran agar air tidak meresap ke dalam tanah. Waduk mini tersebut akan digunakan sebagai sarana irigasi dengan sistem gravitasi tanpa listrik dan BBM, untuk mengairi kebun buah unggul untuk petani peserta program.
Kedua, kepada 100 kepala keluarga (KK) petani peserta diberikan kebun buah unggul masing-masing 2.000 m2 dengan luas total 20 hektare. Dengan cara petani menyerahkan tanah mereka seluas maksimal 2.000 m2 dalam keadaan kosong kepada Obor Tani, kemudian selama tiga setengah tahun dikelola oleh Obor Tani dari mulai pembukaan lahan, tanam, pemeliharaan, hingga menjadi kebun buah siap panen, untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada 100 KK petani peserta program itu. Seluruh bibit, pupuk, obat-obatan tanaman, tenaga kerja, operasional dibiayai oleh Obor Tani.
Rustriningsih, Wagub Jawa Tengah
Opini Suara Merdeka 7 Januari 2010