Oleh Dede Mariana
”Saya, Irfan Suryanegara, Ketua DPRD Jawa Barat, mengucapkan selamat tahun baru 2010. Kami siap memperjuangkan kepentingan rakyat Jawa Barat dan menyalurkan aspirasi masyarakat Jawa Barat.” Demikian penggalan iklan dari salah satu radio swasta niaga di Kota Bandung, yang penulis dengar saat terjebak di tengah kemacetan Kota Bandung, di pengujung akhir tahun 2009.
Iklan politik yang berisi ucapan selamat tahun baru bagi warga Jawa Barat tersebut menarik untuk disimak karena beberapa hal. Pertama, karena disampaikan ketua DPRD yang dapat dianggap representasi institusi DPRD dan representasi seluruh anggota DPRD Jawa Barat. Dalam konteks demokrasi, ketua parlemen adalah juru bicara (spoker) dari institusi parlemen itu sendiri.
Menyimak isi iklan politik di atas, tampaknya ketua DPRD sebagai ketua ”parlemen” di level Provinsi Jawa Barat ingin menegaskan kesiapan institusinya sekaligus para anggota DPRD Jawa Barat, untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat Jawa Barat. Namun pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan kepentingan rakyat Jawa Barat yang akan diperjuangkan tersebut? Sudahkah DPRD Jawa Barat mengidentifikasi dan merumuskan yang dimaksud dengan kepentingan dan aspirasi rakyat tersebut? Dengan cara apakah kepentingan dan aspirasi rakyat akan diperjuangkan dan bagaimana rakyat tahu bahwa kepentingan dan aspirasinya sudah diperjuangkan oleh para wakilnya, dan dapat mereka rasakan hasilnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu saja tidak mudah. Namun karena sudah dijanjikan kepada rakyat, baik saat kampanye maupun diiklankan kembali oleh para anggota DPRD Jawa Barat melalui ketuanya menjelang tutup tahun 2009, maka menjadi kewajiban mereka untuk merealisasikannya.
Indikasi yang paling mudah dicerna publik bahwa DPRD Jawa Barat telah memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat, adalah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen di dalam APBD 2010 sesuai dengan amanat konstitusi, dapat dipenuhi DPRD sebagai institusi yang berwenang di dalam penetapan anggaran daerah. Faktanya, DPRD Jawa Barat membiarkan dan malah menyetujui anggaran pendidikan sebesar 16 persen sebagaimana diajukan eksekutif. Meskipun ada argumen bahwa terdapat biaya-biaya yang ”bernuansa pendidikan”, yang tersebar di beberapa organisasi perangkat daerah di luar Dinas Pendidikan Jawa Barat. Tentu, ini merupakan kemunduran kinerja DPRD sebelumnya, yang secara tegas menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan berada di Dinas Pendidikan Jawa Barat. Ikhwal bahwa anggaran yang 20 persen pada tahun anggaran yang lalu ternyata belum terserap oleh dinas bersangkutan, adalah persoalan lain yang terkait dengan kemampuan menyusun perencanaan program dan implementasi kegiatan.
Untuk hal ini, publik telah bereaksi lewat aksi demonstrasi untuk memprotesnya. Namun hingga APBD 2010 tersebut disahkan, angka tersebut tidak diubah dan tampaknya menunggu hasil koreksi dari kementerian dalam negeri. Padahal, otonomi daerah sebagai buah dari politik desentralisasi menghendaki bahwa setiap keputusan itu ”matang” di daerah dan sesuai kebutuhan daerah, apalagi apabila itu berkenaan dengan amanat konstitusi. Ringkasnya, untuk hal yang sederhana seperti ini saja, DPRD belum mampu mengidentifikasi, merumuskan, dan sensitif dengan agenda kepentingan rakyat.
Kedua, harus disadari bahwa DPRD hakikatnya adalah lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, di dalam rapat-rapat DPRD yang membahas ikhwal kebutuhan rakyat, termasuk pembahasan APBD tahunan, harus mencerminkan dinamika kepentingan, aspirasi, dan prioritas kebutuhan rakyat Jawa Barat. Meski menurut UU 32 Tahun 2004, DPRD provinsi dan kabupaten/kota sudah ”dikebiri”, tidak dianggap lagi sebagai lembaga legislatif daerah, tetapi ditempatkan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama gubernur dan bupati/wali kota. Inilah salah satu ”keanehan” adopsi praktik demokrasi di kita. Lebih parah lagi, apa yang diputuskan DPRD masih harus dikonsultasikan ke kementerian dalam negeri, yang biasanya ditangani oleh para pejabat birokrasi yang kedudukannya bukan dipilih rakyat. Dalam konstruksi demikian, kedudukan DPRD provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya mirip ”dinas daerah” yang menjalankan fungsi legislasi daerah, tetapi masih di bawah supervisi birokrasi pemerintah. Ke depan, aturan main seperti ini harus diperbaiki karena mendistorsi makna ”demokrasi” dan representasi rakyat.
Ketiga, pasca-penetapan APBD Jawa Barat 2010 oleh DPRD, wacana yang menonjol di publik melalui media massa lebih pada soal kemungkinan fasilitas yang akan diperoleh anggota DPRD Jawa Barat, mulai dari gaji anggota yang hanya Rp 6,9 juta, tunjangan perumahan, tunjangan komunikasi, dan mobil dinas untuk setiap anggota. Jadi, jumlah uang yang akan diterima setiap anggota DPRD sebenarnya akan relatif cukup bila dilihat dari besarannya, apalagi bagi anggota DPRD yang menduduki alat kelengkapan dewan. Dengan catatan, setiap anggota dewan harus mampu mendidik konstituen bahwa tidak setiap waktu mereka bisa meminta uang. Perlu pula ditegaskan, bila demikian terus, sama saja dengan konstituen itu menyuruh mereka melakukan ”praktik korupsi”.
Soal fasilitas yang akan diterima anggota DPRD Jawa Barat ini, sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan biasa saja, sepanjang memenuhi dua hal. Pertama, jelas aturannya, ada dasar hukum yang melandasinya. Kedua, jelas tujuannya untuk apa fasilitas itu diberikan kepada para pejabat publik, baik pejabat politik, maupun pejabat birokrasi. Tampaknya ihwal gaji, tunjangan perumahan, dan tunjangan komunikasi dari sisi aturan sudah tidak ada permasalahan. Sementara itu, untuk pemberian mobil dinas bagi setiap anggota masih menemui masalah. Ini tampak dari keraguan soal bagaimana mobil dinas tersebut diadakan. Muncullah wacana pinjam pakai mobil dinas, artinya mobil tersebut diadakan oleh eksekutif dan dipinjampakaikan kepada anggota DPRD. Tentu hal ini memunculkan kecurigaan dan kekhawatiran publik, terkait dengan daya kritis dan independensi DPRD di dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Bagaimana jadinya DPRD Jawa Barat yang seharusnya mengawasi eksekutif daerah, malah melegalkan kemungkinan cara-cara yang tidak atau belum jelas aturannya.
Kalaulah publik dan media masa seperti terkesan tidak berempati kepada DPRD Jawa Barat, menurut saya, justru sebaliknya. Publik dan media masa melancarkan kritik-kritiknya terhadap DPRD Jawa Barat sebagai wujud memiliki dan sangat sayang serta khawatir DPRD Jawa Barat ini menjadi terkooptasi oleh eksekutif hingga kehilangan daya kritisnya dan akhirnya tak mampu lagi memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat Jawa Barat, hanya karena mereka semua telah menerima berbagai fasilitas yang didanai APBD. Padahal kita tahu, dana APBD adalah dana rakyat juga, yang harus secara cermat alokasi penggunaannya. Kecuali kalau para anggota DPRD Jawa Barat telah menempatkan diri hanya sebagai ”pekerja politik” yang diupah semata-mata, layaknya para Pegawai Negeri Sipil (PNS) Provinsi Jawa Barat yang mulai tahun anggaran 2010 akan menerima kenaikan tunjangan perbaikan penghasilan yang relatif besar setiap bulannya untuk para pejabat strukturan, fungsional, maupun yang tanpa jabatan.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 841/2009, eselon satu akan menerima tunjangan perbaikan penghasilan sebesar Rp 40 juta per bulan dan PNS nonstruktural akan menerima Rp 3 juta per bulan. Tentu angka ini sangat jomplang, karena idealnya skala pemberian imbalan yang wajar antara tertinggi ke terendah adalah satu berbanding empat atau lima. Dalam konteks ini, karena eksekusinya harus didasarkan kepada suatu Peraturan Daerah yakni Perda APBD 2010, maka seharusnya DPRD Jawa Barat dapat mengkritisinya, bukan malah terkesan mempertukarkannya dengan soal fasilitas yang diperlukan DPRD Jawa Barat, seperti yang berkembang saat ini di berbagai media masa. Padahal mencermati dan mengkritisi anggaran yang diajukan eksekutif dan birokrasi, adalah salah satu bentuk pengawasan secara dini yang harus dijalankan DPRD di level provinsi maupun kabupaten/kota.
Semoga di 2010 ini, DPRD Jawa Barat benar-benar dapat menjalankan tugas dan fungsinya, yakni menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, secara lebih berkualitas dan sesuai dengan agenda dan harapan publik Jawa Barat, sebagaimana iklan politik yang disuarakan Ketua DPRD Jawa Barat lewat radio siaran swasta niaga di Kota Bandung dan Jawa Barat di akhir 2009.***
Penulis, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Pascasarjana Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 7 Januari 2010
06 Januari 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Iklan Politik dan APBD Jabar 2010
Iklan Politik dan APBD Jabar 2010
Thank You!