06 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Tingkatkan Etos Kerja

Tingkatkan Etos Kerja

Oleh Hj. ERNI R. ERNAWAN

REAKSI yang muncul pascapemberlakuan perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina (ACFTA) sejak 1 Januari 2010, hampir semua kalangan mengkhawatirkan kondisi dunia usaha kita. Lalu apa sebenarnya ACFTA dan bagaimana implikasinya terhadap etos kerja bangsa Indonesia? Mudah-mudahan menjadi hikmah untuk kita semua.


ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan area perdagangan bebas antara sepuluh anggota negara ASEAN dengan Republik Rakyat Cina. Kerangka perjanjian tersebut ditandatangani di Phnom Penh, 4 November 2002, yang menyepakati dimulainya zona perdangan bebas antara sebelas negara pada 2010. Perjanjian tersebut antara lain memuat pengurangan tarif terhadap 7.881 kategori produk atau 90 persen dari barang yang diimpor. Rentang pengurangan tarif tersebut bervariasi hingga tinggal mencapai 0 persen. Rata-rata pengurangan tarif bagi produk Cina yang dijual di negara-negara ASEAN, yaitu antara 12,8-0,6% mulai 1 Januari 2010, sedangkan rata-rata penurunan tarif bagi barang-barang produk ASEAN yang dijual di Indonesia menurun dari 9,8-0,1 persen. Bahkan terdapat enam negara pendiri yang termasuk pendiri ASEAN akan mengurangi tarif hingga 99,11 persen terhadap barang-barang yang diperdagangkan di zona tersebut.

Dalam kerangka kerja kesepakatan ini, negara-negara ASEAN dan Cina mempunyai komitmen untuk mendirikan suatu wilayah perdagangan bebas (FTA) pada 2010. Artinya, tarif terhadap semua barang yang masuk dalam kategori FTA ini akan dihilangkan. Yang menarik dari kesepakatan ini adalah penurunan tarif untuk sejumlah produk pertanian yang diperdagangkan selama ini antara ASEAN dan Cina, sudah mulai diturunkan dan dihapuskan sepenuhnya pada Januari 2006. Ini yang disebut Early Harvest Program (EHP), yaitu awal dari implementasi kesepakatan ASEAN-Cina FTA tersebut. Produk-produk pertanian yang masuk di dalam program ini, antara lain binatang hidup, daging, sayur-sayuran, ikan, dan buah-buahan.

Dengan demikian, pada dasarnya kedua belah pihak (ASEAN ataupun Cina) memiliki kesempatan untuk dapat melakukan perdagangan bebas secara lebih menguntungkan. Dalam kaitan ini penurunan tarif tentu menjadi peluang untuk melakukan ekspor secara lebih agresif. Namun konsekuensinya, pasar lokal dari negara-negara yang terikat dalam perjanjian harus mau menerima serbuan produk luar negeri, yang bisa jadi harganya akan murah karena tarif masuk yang rendah.

Indonesia sebagai bagian dari perjanjian tersebut tentu harus lebih agresif menyerbu pasar asing, agar perjanjian ini menjadi momentum yang menguntungkan dan membuka peluang perdagangan luar negeri yang lebih luas, khususnya di ASEAN dan Cina. Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini, serbuan produk Cina yang murah masih merupakan ancaman bagi pasar Indonesia. Selain itu, beberapa data menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia dan Cina selama beberapa tahun ini cenderung defisit.

Dalam perkembangannya, total ekspor Indonesia ke Cina pada 2004 mencapai 4,6 miliar dolar Amerika dan sebesar 6,7 miliar dolar Amerika pada 2005 mengalami pertumbuhan 45 persen, sedangkan pada periode yang sama, total impor Indonesia dari Cina tahun 2004 sebesar 4,1 miliar dolar Amerika meningkat menjadi 5,8 miliar dolar Amerika, mengalami pertumbuhan 42 %.

Ekonom Faisal Basri menunjukkan, pada 2008, neraca perdagangan Indonesia dan Cina tiba-tiba mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar 3,6 miliar dolar Amerika. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus 1,1 miliar dolar Amerika. Bahkan defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari 1,3 miliar dolar Amerika pada 2007 menjadi 9,2 miliar dolar Amerika pada 2008 (terjadi lonjakan sekitar enam ratus persen). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai 3,9 miliar dolar Amerika.

Terjadinya lonjakan defisit dalam perdagangan Indonesia dan Cina di 2008, terutama karena sebelumnya, data impor belum memasukkan barang-barang yang berasal dari kawasan terikat (bonded zones). Ini berarti, defisit dalam perdagangan dengan Cina sesungguhnya telah lama terjadi sebelum 2008.

Dengan demikian, perdagangan Indonesia-Cina telah menunjukkan tren yang semakin memburuk pada tahun-tahun belakangan ini. Produk Cina semakin membanjiri pasar Indonesia. Saat ini, Cina adalah negara sumber impor pertama Indonesia, yang angkanya sudah mencapai 17,2 persen dari total impor produk nonmigas. Sebaliknya, Cina hanya menyerap 8,7 persen dari total ekspor produk nonmigas Indonesia. Ini berarti, produk Cina telah melakukan penetrasi yang jauh lebih agresif di pasar kita melebihi yang lainnya. Komoditas utama mendominasi ekspor dari Indonesia ke Cina, sementara impor dari Cina ke Indonesia didominasi oleh berbagai produk manufaktur. Dalam jangka panjang, tentu sektor industri manufaktur kita akan semakin terancam. Sejauh ini, produk-produk manufaktur kita sudah tertinggal dalam kompetisi dengan berbagai produk Cina. Tidak mengherankan jika kemudian industri manufaktur kita menderita. Tampaknya, gejala-gejala deindustrialisasi di beberapa tahun belakangan ini hanya dibombardir dengan arus produk manufaktur Cina. Ketidaktahuan juga memperlemah posisi kita, termasuk masalah etos kerja yang masih belum mendukung produktivitas.

ACFTA dan Etos Kerja

Sekarang ini, suka atau tidak, faktanya Indonesia telah mengikatkan diri dalam sistem perdagangan bebas, baik lewat perjanjian bilateral, regional, maupun multilateral. Oleh karena itu, kita harus bekerja keras mengantisipasi berbagai ancaman, bahkan kita harus mampu mengubah ancaman menjadi peluang. Salah satu kunci penting adalah etos kerja masyarakat yang harus diperbaiki.

Jansen Sinamo mengemukakan beberapa hal yang mengejutkan dan memang pahit. Etos kerja Indonesia antara lain menunjukkan hal sebagai berikut. Pertama, di bidang ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan ekonomi rente daripada ekonomi riil, sebuah cerminan etos kerja yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Kedua, di bidang birokrasi, untuk bisa duduk di jabatan tertentu banyak dilakukan secara tidak profesional, yang mencerminkan etos yang mengutamakan jabatan demi uang dan kekuasaan daripada prestasi dan pelayanan publik. Ketiga, di bidang pendidikan, masih terdapat adanya proses pendidikan yang ditempuh tidak semestinya, merupakan cerminan etos buruk yang menginginkan gelar tanpa kompetensi. Rendahnya etos Indonesia menurut Jansen juga diperparah dengan negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan.

Sebagai perbandingan, Jansen lantas mengutip etos Jepang dan Jerman. Jepang terkenal dengan etos Samurai. (1) Bersikap benar dan bertanggungjawab. (2) Berani dan ksatria. (3) Murah hati dan mencintai. (4) Bersikap santun dan hormat. (5) Bersikap tulus dan sungguh-sungguh. (6) Menjaga martabat dan kehormatan. (7) Mengabdi pada bangsa. Sedangkan Jerman dikenal memiliki etos bertindak rasional, berdisiplin tinggi, bekerja keras, berorientasi sukses material, tidak mengumbar kesenangan, hemat dan bersahaja, serta menabung dan berinvestasi.

Mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia [1977], "etos kerja" orang Indonesia adalah (1) munafik atau hipokrit, suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati; (2) enggan bertanggung jawab, auka mencari kambing hitam; (3) berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi; (4) percaya takhyul, gemar hal keramat, mistis, dan gaib; (5) berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu (6) artistik; dekat dengan alam.

Pandangan Mochtar Lubis ini kemudian dipertanyakan kembali oleh Jansen. Benarkah Indonesia memiliki etos seperti itu? Namun Jansen mengakui, etos orang Indonesia tersebut memang sulit dimungkiri. Namun demikian, masih ada harapan, pemerintah sudah mulai mencanangkan reformasi birokrasi, adanya upaya good corporate governance, juga merupakan upaya yang diharapkan sedikit demi sedikit mengubah etos kerja negatif menjadi etos kerja positif. Adanya tantangan di depan diharapkan mampu mempercepat perubahan etos kerja ke arah yang diharapkan.

Dengan adanya komitmen yang dimulai dengan merumuskan etos seperti itu, setidaknya menunjukkan adanya tekad memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Etos kerja sangat penting untuk memperkuat bangsa dari sudut kerja, karena semua bidang kehidupan, sebenarnya bergulat pada sebuah dunia yang disebut kerja. Bekerja keras, disiplin, jujur, berintegritas, merupakan kunci sukses bangsa-bangsa, sehingga kita patut mengembangkan etos kerja tersebut. Etos mencakup sikap terhadap waktu, kerja, dan masa depan yang kemudian membentuk sehimpunan perilaku khas individu atau organisasi. Pada tingkat internasional sudah dibuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh etosnya. Perusahaan-perusahaan kelas dunia, seperti Matshushita dari Jepang, Kodak dari Amerika, juga berhasil karena mempunyai etos kerja yang unggul. Dengan demikian, segala sesuatu dibangun di atas kerja keras dan bukan instan, sehingga setiap manusia Indonesia terinspirasi bahwa keberhasilan merupakan proses pencapaian yang dibangun dengan penuh kerja keras, pengabdian, dan kebersihan hati. Semoga!***

Penulis, penulis buku "Budaya Organisasi (Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis)".
Opini Pikiran Rakyat 7 Januari 2010