06 Januari 2010

» Home » Kompas » Ke Mana PAN Akan Dibawa?

Ke Mana PAN Akan Dibawa?

Mulai hari ini Partai Amanat Nasional atau PAN akan menyelenggarakan kongresnya yang ketiga di Batam. Memori saya kembali ke beberapa waktu tidak lama sebelum deklarasi PAN di bulan Agustus tahun 1998.
Ketika itu kami mengadakan pertemuan berkali-kali di kantor saya di bilangan Kuningan, Jakarta, untuk mempersiapkan deklarasi sebuah partai baru dengan penuh semangat. Hadir antara lain, di samping Amien Rais sebagai motor utamanya, ada Goenawan Mohamad, Prof Toeti Heraty, Albert Hasibuan, AM Fatwa, AM Lutfi, Zumrotin, Rizal Panggabean, almarhum Kristoforus Sindhunata, dan saya sendiri. Inilah juga kesepuluh ”formatir” kepengurusan pertama PAN sebelum dikukuhkan oleh kongres resmi PAN pertama yang diadakan di Yogyakarta dua tahun kemudian pada tahun 2000.


Pertemuan-pertemuan itu juga mematangkan konsep platform yang disusun beramai-ramai beberapa hari sebelumnya di Mega Mendung. Ikut menyusun, antara lain, Ulil Abshar-Abdalla, Faisal Basri, Mochtar Mas’ud, Santoso, Dawam Rahardjo, Amin Aziz, dan banyak lagi. Platform sebuah partai modern yang terbuka, berani dengan gagasan-gagasan baru, bahkan kadang terlalu berani dengan, umpamanya, memperkenalkan konsep negara federal dan hak menentukan nasib sendiri bagi Timor Timur. Kami ketika itu bertekad mendirikan sebuah partai tengah yang demokratis, bersih, reformis, plural dan bermoral, serta mewakili kemajemukan masyarakat Indonesia.
Euforia reformasi dan posisi Amien Rais saat itu yang sedang berada di puncak popularitasnya memicu ekspektasi berlebihan bahwa PAN pada pemilu demokratis pertama di tahun 1999 akan meraih paling sedikit 20 persen suara. Kenyataan pahit bahwa PAN kemudian hanya meraih sedikit di atas 7 persen telah mengakibatkan kekecewaan dan disilusi bagi banyak kadernya. Sebagian menyalahkan—meminjam istilah AM Fatwa—tidak jelasnya ”kelamin” PAN sebagai penyebab utama kekalahan partai.
Dalam perjalanan selama lebih dari sepuluh tahun kita ketahui kemudian terjadi tarik-menarik antara kekuatan inklusifis di satu pihak dengan kelompok eksklusifis di pihak lain dengan akibat jatuhnya beberapa ”korban” dan hengkangnya sebagian besar kelompok inklusifis seperti Faisal Basri, Santoso, dan kawan-kawan. Namun, setelah PAN menjadi lebih eksklusif dan lebih jelas jenis ”kelamin”-nya, perolehan suara PAN di dua pemilu berikutnya, tahun 2004 dan 2009, tetap saja tidak beranjak, bahkan sedikit menurun, pada kisaran sekitar 6 persen. Di mana sebenarnya letak permasalahannya?
Konsep kekuasaan
Setiap partai niscaya berkeinginan meraih kekuasaan untuk memerintah. Itu tentunya bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan misi menyejahterakan rakyat. Dalam perjalanannya, partai sering lupa dan cenderung meremehkan kecerdasan masyarakat pemilih bahwa masyarakat terus-menerus menilai kiprah partai. Apakah partai berjalan sendiri demi ”kejayaannya” atau benar memerhatikan aspirasi konstituennya. Di luar itu, masyarakat memilih sebuah partai dalam pemilu karena merasa punya rasa kepemilikan atas partai yang dipilihnya, antara lain dengan merasa terwakili dalam partai oleh misinya, ideologinya atau orang per orang yang duduk dalam kepengurusan partai. Bila semua unsur itu tidak ada, tidak ada alasan baginya untuk menjatuhkan pilihan kepada partai tersebut.
Dari sisi keterwakilan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam partai, belakangan PAN juga menjadi semakin eksklusif. PAN, seperti beberapa partai lain, juga terjebak dalam konsep kekuasaan yang keliru. PAN sejauh ini telah mengambil posisi bahwa kekuasaan harus diraih betapapun harganya. Kalau tidak bisa menang dalam pemilu dan menempatkan kadernya sebagai kepala pemerintahan, apa pun yang ditawarkan oleh sang pemenang harus diambil.
Bahkan, setelah tiga kali pemilu yang ”mengecewakan”, elite pimpinan PAN merasa pasrah bahwa memang hanya segini saja ukuran partai kita dan karenanya PAN harus nrimo dan pasrah. Tak pernah terpikir secara serius bahwa mengambil posisi dil uar pemerintah sebagai oposisi adalah posisi yang terhormat. Bahwa membangun sebuah partai baru menjadi besar adalah pekerjaan jangka panjang yang memerlukan kesabaran dan ketekunan, dan bahwa sekadar jadi bagian embel-embel dari sebuah partai pemenang pemilu akan menggerus jati diri partai.
Berkoalisi dengan partai pemenang pemilu tidak diharamkan dalam sebuah sistem demokrasi. Namun, koalisi yang bertanggung jawab adalah koalisi yang didahului dengan negosiasi untuk mencapai kontrak politik yang jelas dan menjunjung platform partai. Koalisi yang bisa dibatalkan sewaktu-waktu dengan menarik menteri-menterinya dari kabinet bila kontrak politiknya dilanggar. Bukan sekadar ikut numpang kekuasaan atas dasar belas kasihan, atau demi kekuasaan itu sendiri, atau karena pertimbangan politik sang pemenang untuk memperkuat dukungannya di DPR.
Langkah regenerasi partai yang dilakukan pada Kongres Kedua PAN tahun 2005 di Semarang, dengan mundurnya Amien Rais, sebenarnya sudah tepat dengan sedikit kelemahan. Sampai batas tertentu, PAN sudah mulai menjangkau konstituen di luar pendukung tradisionalnya dengan sikap yang lebih independen. Namun, hasil Pemilu 2009 oleh sebagian elite partai dianggap sebagai sebuah kegagalan walaupun sebenarnya secara relatif PAN cukup bertahan di hadapan ”tsunami” perolehan Partai Demokrat. Karena itu, elite tertinggi partai kemudian merasa harus turun tangan dan mengambil alih pengelolaan partai sebelum kongres, sebagiannya dengan cara yang kurang elegan.
Kongres pada Januari ini, yang antara lain akan memilih ketua umum dan pengurus baru, akan merupakan sebuah test case besar bagi PAN. Apakah PAN akan sekadar jadi partai embel-embel untuk selamanya dengan akibat tergerusnya suara partai sedikit demi sedikit sampai habis atau apakah PAN akan mengembalikan jati dirinya sebagai partai reformis yang mandiri dan pada waktunya berpotensi menjadi partai besar yang menentukan arah nasib bangsa. Dua kandidat yang diunggulkan dalam kontes ketua umum di kongres mendatang tampaknya sudah menyajikan pilihan yang jelas di antara dua alternatif arah PAN ke depan. Semoga.
ABDILLAH TOHA Anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN
Opini Kompas 7 Januari 2010