Keceplas-ceplosan Gus Dur kita anggap unsur sepele. Kita lekas melupakannya. Padahal, sejatinya, unsur tampak remeh-temeh inilah yang justru paling menentukan vitalnya kedudukan Gus Dur di tengah kemunafikan Nusantara.
Kalau sekadar tokoh yang bertumpu pada kekuatan pikiran, ada banyak tokoh sekelas Gus Dur. Baik itu gagasannya tentang pluralisme, demokrasi, maupun pembaruan pemikiran Islam. Ketokohan dan ”darah biru”-nya juga tidak kalah dibanding Gus Dur. Akan tetapi, arek Jombang ini menjadi kinclong dibanding tokoh-tokoh setarafnya justru karena bawah sadar kolektif kita yang munafik ini sebetulnya merindukan keterusterangan.
Jauh di dasar permukaan tata krama, sopan santun, basa-basi, dan seluruh perangkat kemunafikan lainnya, kita sesungguhnya mendambakan sesuatu yang urakan. Urakan bukan dalam nuansa arogan. Nuansanya egalitarian. Itulah keceplas-ceplosan Gus Dur.
Dari lubuk dasar yang permukaannya saja tampak hipokrit, kerinduan kita pada keterusterangan itu menjadi jelas kalau kita rujuk suku Jawa sebagai salah satu pengisi budaya nasional yang paling rumit tata kramanya. Tingkatan bahasa orang Jawa paling tidak ada tiga: ngoko (bahasa kasar), kromo madyo (bahasa sedang), dan kromo inggil (bahasa tinggi). Akan tetapi, bawah sadar kolektif nenek moyang orang Jawa yang tecermin dalam wayang justru menjadikan Bima yang cuma bisa ngoko alias blakblakan, sebagai manusia dengan derajat kesempurnaan tertinggi.
Dengan bahan baku Ramayana dan Mahabarata dari India, metabolisme kreatif lokal para leluhur orang Jawa tidak memilih tokoh-tokoh santun seperti Yudistira dan Kresna sebagai puncak idola. Pada lakon Dewa Ruci, lakon carangan atau gubahan lokal yang menjadi master- piece dunia pedalangan Jawa dan tidak terdapat dalam naskah asli India, hanya Bima seorang diri yang diberi hak oleh leluhur Jawa untuk bisa bertemu dan berdialog langsung dengan Tuhan semasa hidupnya.
Kemunculan Gus Dur yang fenomenal bisa dipahami dalam konteks memori bawah sadar kolektif kita, apalagi di tengah kancah kemunafikan tata krama yang makin bikin sumpek seperti sekarang. Mungkin ada beberapa tokoh ceplas-ceplos yang pluralis, demokratis, dan pembaru pemikiran Islam. Akan tetapi, keceplas-ceplosan Gus Dur sangat dekat pada model blaka suta (frankly speaking) yang diimpikan leluhur Jawa melalui karakter khayalan Bima. Bima bicara apa adanya dan ngoko dan tanpa basa-basi, tetapi tak satu pun lawan bicaranya sakit hati atau merasa tidak dihormati. Kuncinya adalah ketulusan, tanpa pretensi ataupun tendensi tertentu yang tersembunyi.
Para leluhur Jawa, suku yang di permukaan tampak ruwet tata kramanya, memilih kentut Semar sebagai senjata paling ampuh di dunia, bukan senjata pamungkas pasopati milik Arjuna ataupun cakra milik Kresna.
Dalam konteks budaya, sebagai simbol, kentut adalah seluruh hal yang tabu di Nusantara, seperti sendawa pada orang-orang ”Barat”. Maknanya, bangsa yang kian sesak kemunafikan ini sesungguhnya di bawah sadar memori kolektifnya membolehkan malah mengharuskan pelanggaran hal-hal tabu untuk menyelesaikan masalah seperti, antara lain, persetujuan Gus Dur untuk perayaan Imlek.
Sungguh agak kurang sedap dan kurang inspiratif mengenang Gus Dur hanya dalam hal ketokohannya di ranah pluralisme, demokrasi, dan pembaruan pemikiran Islam, tanpa mengenang keceplas-ceplosannya termasuk dalam melanggar tabu-tabu. Ibarat mengenang garam tanpa kita kenang asinnya.