Tangis sedih dan duka mendalam menyelimuti ribuan orang yang secara tiba-tiba dipaksa berpisah dengan anak, istri, suami, dan kekasih, yang dijemput malaikat melalui gempa di sore yang temaram di ranah Minang.
Laknat dan hukuman Tuhankah ini atau sebuah peringatan dari-Nya atau risiko kelalaian manusia yang semakin pongah tidak peduli lagi mekanisme alam? Alam dan bumi pun kembali menunjukkan keperkasaan dirinya tanpa meniup seruling peringatan.
Gempa kembali mengguncang negeri ini setelah sebulan lalu Tasikmalaya dan kawasan Jawa Barat. Kini gempa dengan kekuatan 7,6 Skala Richter menyapa Padang Pariaman dan kawasan Padang dengan ratusan korban jiwa (tercatat lebih 500,mungkin bisa mencapai 1000-an).
Kedahsyatan gempa Padang yang meluluhlantakkan beberapa hotel berbintang, gedung perkantoran, dan fasilitas umum itu konon beberapa kali dari gempa Jogja pada 2006. Masih hangat di ingatan kepedihan tragedi di Serambi Mekkah pada 2004,Jogja pada 2006, disusul semburan lumpur panas Lapindo Porong, Bengkulu, Nias, dan Tasikmalaya.Doa munajat pun semakin kencang dikumandangkan dengan lafaz yang semakin fasih sembari tangan menadah ke langit sambil menggigil.
*** Seseorang setengah putus asa berbisik lirih hampir tanpa desis: ”Tuhan, begitu bejatkah moral warga negeri ini, begitu parahkah maksiat bangsa ini sehingga Engkau tidak henti-henti menjatuhkan hukuman dan laknat-Nya?” Bersamaan itu,seorang teman yang lain seperti menggugat: ”Mengapa negeri dan bangsa yang selama ini dicap kafir dan ingkar kepada firman Tuhan tampak lebih aman dari murka Tuhan?
Apakah bangsa muslim terbesar ini belum juga menunjukkan keberimanannya yang teguh sehingga perlu diuji dan diuji dengan segala bencana dan musibah?” Pertanyaan demikian seringkali dan hampir dibenarkan dengan himbauan agar bangsa ini lebih meningkatkan kedekatan kepada Tuhan.
Namun, kegundahan hati dan sikap nakal seolah merasa diperlakukan tidak adil tersebut sering ditepis agar tidak menurunkan derajat atau kadar keimanan dengan menyatakan bahwa negeri dan bangsa kafir itu bukan bebas murka Tuhan, melainkan dilulu (Jawa; seolah dibiarkan memperbanyak dosa karena jatahnya nanti di neraka yang paling panas).
Tepisan ini juga memunculkan kegundahan hati berikut disertai pertanyaan: ”Mengapa kehidupan duniawi difungsikan sebagai medan penderitaan bagi mereka yang justru percaya firman Allah, sementara sesudah mati belum dijamin mendapat jatah surga,kecuali bagi mereka yang menderita di dunia?”
*** Sains modern tidak selalu melihat gempa tektonik dengan segala turunannya dan sejumlah korban sebagai laknat atau hukuman Tuhan, tapi sebuah dinamika dan mekanisme alam fisis. Mungkin akibat manusia lalai pada pola mekanisme fisika bumi, memilih tempat tinggal, dan membangun infrastruktur tanpa peduli kaidah hukum fisika bumi dan mitigasi gempa, maka bencana pun datang bertubi.
Menurut sains fisika bumi, alam tempat kita hidup ini selalu berkembang, berubah, memuai, dan membuat satu lapisan dengan lapisan lain bertumbukan.Akibat dari gerak lempeng-lempeng itu muncullah fenomena kegempaan seperti terjadi di kawasan Sumatera Barat dan tempat lainnya tersebut.
Cara baca sains modern tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai: ”Apakah itu berarti tindakan Tuhan dalam mencipta alam ini belum selesai dan belum jadi secara sempurna?” Jika saja jawaban pertanyaan ini positif, bisa menimbulkan problem teologis tentang kesempurnaan tindakan Tuhan Yang Maha Sempurna itu sendiri.
Soal ini ditentukan oleh rumusan tentang apa makna tindakan Tuhan tersebut. Maka, muncul pertanyaan berikut: ”Bagaimana memahami takdir, kehendak, dan perbuatan Tuhan dalam kaitan dengan fenomena alam (bumi) dan kegempaan tersebut?” Dalam pemikiran Islam muncul tiga penjelasan membaca fenomena alam seperti kegempaan tersebut sebagai tindakan Tuhan.
Pertama, Tuhan selesai mencipta seluruh alam dengan segala hukumnya,kemudian Tuhan pensiun lalu menjadi penonton dinamika ciptaannya yang terus bergerak mengikuti hukum alam atau sunnatullah.Kedua, Tuhan terus dan tidak pernah berhenti mencipta dengan hukum yang Dia sendiri yang tahu, sehingga Tuhan digambarkan sebagai Subyek pelaku yang paling sibuk.Ketiga,Tuhan adalah inti kenormatifan dan ultimate yang unik.
Tuhan adalah rangkaian tujuan dari semua gerak sebagai penyebab pertama sekaligus tujuan final. Di sini Tuhan dilukiskan sebagai Yang Maha Unik tanpa kesepadanan serba yang lain dari-Nya. Berdasarkan pandangan pertama, gempa bukanlah musibah, melainkan peristiwa alam biasa atau sunnatullah.
Hanya akibat manusia salah mengenali hukum alam atau sunnatullah, terjadilah musibah atau bencana.Karena itu, yang perlu dilakukan ialah memahami hukum alam atau fisika bumi sebagai turunan dari ilmu tauhid atau akidah. Selanjutnya, manusia yang cerdas dalam memilih tempat tinggal atau piawai dalam membangun infrastruktur akan selamat dari risiko kegempaan dengan segala akibatnya.
Pandangan kedua, menjelaskan kegempaan dan segala akibatnya ialah kehendak dan takdir Tuhan yang tak pernah bisa diketahui yang dicipta Tuhan secara ”mendadak” saat Dia berkehendak (kun fayakun; jadilah, maka terjadi). Jika demikian, yang perlu dilakukan manusia ialah meminta petunjuk Tuhan dan menunggu wangsit (firman)-Nya agar sebelum kegempaan diberi tahu sehingga bisa menghindar darinya.
Tindakan Tuhan sering dipahami sebagai cara memberi peringatan manusia yang salah dan berdosa agar manusia selalu mengingat-Nya setiap saat dalam jaga dan tidurnya. Pandangan ketiga, tidak berbeda jauh dari yang kedua, yaitu maksud dan kehendak Tuhan tidak pernah diketahui dengan pasti kecuali sesudah peristiwa.
Karena itu, yang perlu dilakukan tiap terjadi peristiwa alam seperti banjir, longsor, dan kegempaan yang menelan korban jiwa dan kerusakan harta benda ialah berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan.Kegempaan adalah akibat ulah manusia yang pendosa dan pelaku maksiat sehingga jalan terbaik ialah bertobat taubatan nasuha karena kegempaan beruntun terjadi sejak Banda Aceh 2004 susul-menyusul dengan tingkat kerusakan dan korban yang tinggi.
Barangkali menarik jika ketiga pandangan diletakkan dalam perspektif sains modern tanpa harus membuang doktrin klasik. Penyadaran bahwa kegempaan dengan korban jiwa dan kerusakan harta benda adalah musibah dan laknat Tuhan akibat ulah manusia (dosa dan maksiat) diberi arti lebih saintifik yaitu akibat manusia melanggar hukum alam menempati daerah rawan gempa dengan membangun infrastruktur tidak berbasis kaidah mitigasi kegempaan (tidak tahan gempa).
Tindakan demikian adalah bukti pengabaian firman Tuhan dengan lebih mendahulukan nafsu serakah menguasai lahan tanpa menyediakan ruang yang cukup bagi pelestarian lingkungan dalam arti luas. Mendekatkan diri kepada Tuhan dan bertaubat berarti membaca lebih jernih firman Tuhan berupa teks suci Alquran dan Sunah-Nya, bertasbih,dan berzikir kepada-Nya dengan ibadah (seperti rukun Islam) sembari mematuhi hukum alam sebagai rujukan tata kehidupannya.
Saintifikasi keyakinan mistis kegempaan demikian menyadarkan bahwa gempa perlu disikapi secara lebih rasional dengan tanggap bencana melalui kajian empiris atas fenomena alam. Fisika bumi mungkin bisa ditempatkan sebagai ilmu bantu bagi studi tauhid atau akidah.
Gempa atau musibah kemudian lebih bermakna sebuah hikmah tersembunyi bagi realisasi Islam yang syumul dan kamilah, sempurna dan komplit. Boleh jadi kesadaran demikian ini bisa diterima Tuhan sebagai taubatan nasuha sebagai zikir pada- Nya secara lengkap dan tuntas.
Korban bisa menjadi lebih bermakna seperti di dalam tradisi ritual sehingga di masa depan kehidupan umat ini menjadi lebih aman.Tak percuma air mata mengalir dan kesabaran plus ketabahan karena itu sebagai bagian dari jalan Tuhan dan syahid fi sabilillah. Wallahu a’lam.(*)
Opini Koran Sindo 2 Oktober 2009
Abdul Munir Mulkhan
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Anggota Komnas HAM
02 Oktober 2009
» Home »
Seputar Indonesia » Saintifikasi Musibah Gempa Mistis
Saintifikasi Musibah Gempa Mistis
Thank You!