Babak baru pengadilan korupsi akan digelar. Berharap kinerja pengadilan korupsi tetap dan semakin maksimal walaupun dengan aturan hukum
yang agak cacat.
PERJALANAN panjang RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya berakhir juga. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkannya menjadi Undang-Undang (29/9/2009).
Dalam kroniknya, pengadilan korupsi, bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga saat ini dianggap sebagai kekuatan kembar yang dahsyat membasmi korupsi. Kerjasama apik antara pengadilan korupsi dengan KPK berhasil memporak-porandakan pertahananan koruptor tanpa terkecuali. Koruptor kelas teri sampai kelas kakap, termasuk besan Presiden sekalipun, dapat dijerat dan dipenjarakan.
Pengadilan korupsi mampu mencatatkan rekor memutus terdakwa korupsi tanpa putusan bebas atau lepas. Rekor ini berbeda dengan pengadilan umum. Berdasarkan Trend Corruption Report Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, pada triwulan IV 2008 saja, pengadilan umum telah membebaskan dua kasus korupsi besar. Sedangkan, pengadilan korupsi masih konsisten menghukum para koruptor.
Terseok-seok Seperti halnya pepatah: ’’Semakin tinggi sebuah pohon, maka angin yang menerpa pun semakin besar.’’ Begitu pula pengadilan korupsi yang menemukan sinarnya sampai sebelum akhir 2006 diterpa badai kencang. Meski menjalankan tugasnya dengan sempurna, nasib pengadilan korupsi sempat di ujung tanduk.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 012-016-019/PUU-IV/2006 membuat status pengadilan korupsi terkatung-katung. Pertimbangan hukum MK menyatakan bahwa tidak boleh ada dualisme peradilan. Kerja yustisia yang dijalankan oleh pengadilan korupsi dalam mengadili kasus korupsi dinilai mendua dengan pengadilan umum. Menurut MK, dualisme itu bertentangan dengan konstitusi.
Landasan hukum pengadilan korupsi yang ditasbihkan dalam Pasal 53 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK divonis bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara ini. Akibatnya, pengadilan korupsi tidak memiliki dasar hukum pelaksanaan yang menyebabkan jalan pemberantasan korupsi terseok-seok.
Namun demikian, MK memberikan tenggat waktu tiga tahun kepada pembuat Undang-Undang untuk merancang aturan hukum yang konstitusional bagi pengadilan korupsi. Waktu akhir pembuatan undang-undang pengadilan korupsi ditentukan pada 19 Desember 2009. Artinya, jika lebih dari tanggal tersebut aturan hukum pengadilan korupsi belum terbentuk, maka pengadilan korupsi akan masuk ke liang lahat.
Di sisi lain, keputusan MK tersebut juga menjadi nafas buatan bagi KPK. Mengapa? Karena undang-undang menegaskan kasus korupsi yang ditangani KPK harus diteruskan ke pengadilan korupsi, bukan pengadilan lainnya. Logikanya, apabila pengadilan korupsi tidak ada maka KPK tidak dapat meneruskan hasil pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Dan, kondisi ini hanya akan melahirkan kesia-siaan belaka.
Ketentuan Sensitif Untuk menyelamatkan pengadilan korupsi, legislatif dan eksekutif dituntut bersama-sama membuat aturan hukum yang tepat. Saat masa perancangan dan pembahasan RUU pengadilan korupsi, ketakutan-ketakutan akan tidak seriusnya DPR dan pemerintah membentuk landasan hukum pengadilan korupsi muncul.
Pasalnya, ketentutan sensitif pemberantasan korupsi tidak diindahkan. Misalnya, perihal ketentuan penentuan yang sebelumnya berada di tangan KPK akan dipindahkan ke tangan kejaksaan. Padahal, penuntutan KPK selama ini sungguh mujarab untuk mendudukkan terdakwa korupsi di kursi pesakitan serta menjebloskannya ke hotel prodeo.
Akan tetapi, puji syukur, ketakutan itu tidak menjadi nyata. Dalam UU pengadilan korupsi yang diparipurnakan DPR belakangan, tetap membubuhkan ketentuan penuntutan ke KPK. Pada titik ini, salut untuk DPR.
Namun, UU pengadilan korupsi yang disetujui pemerintah dan parlemen masih saja mengandung cacat. Contohnya, ketentuan yang tertera dalam Pasal 26 aturan hukum pengadilan korupsi, komposisi dan jumlah hakim pengadilan korupsi ditentukan oleh ketua pengadilan negeri di tingkat satu, oleh ketua pengadilan tinggi di tingkat banding, dan Ketua Mahkamah Agung di tingkat kasasi.
Selama ini, seperti yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU 30 Tahun 2002, ’’Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah lima orang dengan komposisi dua orang pengadilan negeri yang bersangkutan dan tiga hakim ad hoc’’ merupakan formasi emas. Komposisi dua hakim karir dan tiga hakim ad hoc terbukti efektif menyidangkan kasus korupsi. Pengalihan penentuan komposisi dan jumlah hakim ke tangan ketua pengadilan atau ketua Mahkamah Agung ditakutkan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Para penggiat antikorupsi bersepakat bahwa hakim ad hoc (dengan komposisi tiga orang) menjadi penentu untuk memutus bersalah pelaku korupsi dibanding dengan hakim pengadilan negeri yang bersangkutan. Ketika mentransmigrasikan kewenangan penentuan komposisi dan jumlah hakim ke ketua pengadilan negeri, ada indikasi akan dapat mengurangi jumlah hakim ad hoc dalam majelis pemeriksa. Dengan kata lain, inefektivitas penyelesaian perkara korupsi menjadi terhambat. Inilah salah satu ketentuan sensitif dalam UU pengadilan korupsi yang kurang dapat diandalkan dalam memberantas korupsi.
Bagaimanapun, UU pengadilan korupsi telah diketok, meski masih terdapat ketentuan-ketentuan yang kontraproduktif dengan langkah pemberantasan korupsi. Babak baru pengadilan korupsi akan digelar. Berharap kinerja pengadilan korupsi tetap dan semakin maksimal walaupun dengan aturan hukum yang agak cacat.
Ke depan perlu adanya, pertama, uji materi terhadap ketentuan-ketentuan yang masih bermasalah dalam UU pengadilan korupsi. Kedua, meningkatkan pencegahan, pengawasan, dan pemberantasan kasus korupsi oleh semua kalangan karena membasmi korupsi di negeri zamrud katulistiwa ini tidak hanya berada di pundak pengadilan korupsi, KPK, atau penegak hukum lainnya, melainkan di pundak kita semua; sang pemilik negeri. (80)
Wacana Suara Merdeka 3 Oktober 2009
—Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM