02 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Idealisme dan Pragmatisme

Idealisme dan Pragmatisme

SEBAGAI organisasi politik, Golkar tercatat telah ikut membangun pilar-pilar peradaban Indonesia modern. Spirit kekaryaan yang tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia ikut bangkit bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi baru 20 Oktober 1964--yang kemudian dikenal sebagai tanggal berdirinya Golkar terbentuk wadah bagi masyarakat karya dan kekaryaan. Mereka memadukan diri dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dengan tekad mengawal kemurnian Pancasila dan UUD 1945, Sekber Golkar mendirikan organisasi sosial-politik bernama Golongan Karya. Doktrin Golongan Karya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu, sinyalemen bahwa Golkar tidak memiliki ideologi patut dipertanyakan. Bukankah sejak awal, dengan doktrin tersebut, terkandung arti organisasi ini meyakini asas persatuan dalam kekeluargaan dengan sikap adil dan beradab? Nasionalisme dan pluralisme tersurat dan tersirat di dalamnya. Menyejahterakan rakyat menjadi aspirasinya.
Potret kelemahan organisasi politik

Selama sekitar tiga dasawarsa Golkar sukses membangun bangsa dan negara. Sayangnya, kesuksesan besar dalam pelaksanaan visi dan misi membuat Golkar menjelang akhir kejayaannya semakin konservatif dalam berpolitik. Dengan sikap itu, Golkar melihat pemerintahannya terutama sebagai instrumen penjaga ketertiban yang harus dijaga ketat dan keras. Yang terutama berperan dalam panggung politik adalah kalangan elite, yakni orang-orang yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan untuk kepemimpinan, termasuk kekayaan, kekuatan, kepandaian dan keunggulan-keunggulan lain. Mereka mengambil keputusan untuk seluruh rakyat dan timbul kecenderungan kurang toleran terhadap sikap bergejolak atau menolak. Lahirlah pragmatisme berlebihan yang pada gilirannya mengakibatkan demokrasi boleh dikata pingsan pelan-pelan.
Rasanya kepemimpinan Golkar 'lengser kepabron' terutama karena alasan itu. Power tends to corrupt - corrupting absolutely. Seperti kata filosof Yunani Socrates (abad V), tanpa kekangan moral, kehidupan masyarakat pasti kacau. Itulah kelemahan partai politik yang tumbuh meraksasa. Ibarat vampir, dia hidup dan berkembang dari mereka yang bersedia diisapnya, apakah pribadi atau organisasi. Proses kejatuhan Golkar sekitar satu dasawarsa lalu mirip gugurnya Liberal Democratic Party (LDP) yang telah berkuasa lebih setengah abad di Jepang--kalah oleh partai baru Democratic Party of Japan (DPJ) yang dianggap miskin pengalaman.

Partai yang mengakomodasi orang muda

Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar tampaknya masih membuka kesempatan bagi partai ini untuk kembali menjadi pelopor dalam perpolitikan nasional. Namun, siapa pun yang terpilih menjadi Ketua Umum Golkar untuk lima tahun mendatang akan menghadapi tantangan luar biasa besar. Pembenahannya bersifat total karena tampaknya telah tumbuh kesadaran, terutama di kalangan yang muda-muda, bahwa Golkar sebenarnya sanggup memainkan peran penting dalam proses demokrasi yang lebih baik di negeri ini, suatu proses yang didambakan masa depan Indonesia; dan yang menurut masyarakat internasional memang sudah menjadi ciri dan agenda Indonesia. Tetapi melaksanakan demokrasi lebih mudah atau indah sebagai retorika daripada mewujudkannya. Isu-isu terkini yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial-politik-ekonomi--seperti penegakan HAM dan kasus orang hilang, tarik-ulur antara KPK dan kepolisian soal pelanggaran kewenangan, dan perselingkuhan kekuasaan yang berkaitan dengan Bank Century--menunjukkan betapa sulitnya menegakkan demokrasi dalam suatu masyarakat yang sesungguhnya sedang belajar berdemokrasi.

Tantangan berat lainnya adalah tumbuhnya harapan bahwa dalam rangka estafet kepemimpinan, Partai Golkar akan lebih mengakomodasi kalangan muda dalam jajaran pimpinannya. Bahwa terkesan ada ketidakrelaan angkatan tua untuk memberi kesempatan kepada angkatan muda, perlu dicermati dan diwaspadai apa alasannya. Memang menurut hasil penelitian sosiolog Amerika Bernard Barber (1938-1988), yang menulis dalam Communications towards Asia's 21st Century, anak muda masa kini mungkin beda dari tokoh-tokoh muda dulu. Sesuai dengan zamannya, anak muda masa kini tentu lebih individualistis, lebih materialistis, lebih asertif, lebih senang akan kebebasan. Dia memiliki opini pribadi dan senang menyatakan opininya, walaupun semua itu mungkin masih dalam batas yang dipolakan masyarakat. Media massa memberi gambaran bahwa orang muda Asia telah melepaskan diri dari moralitas tradisional, tidak sedisiplin generasi-generasi sebelumnya, juga tidak gampang memberikan pengorbanan seperti yang dilakukan angkatan muda sebelumnya. Orang muda masa kini lebih mengutamakan kepentingan pribadi, untuk keuntungan sendiri, tidak terlalu peduli terhadap keluarga, lingkungan, masyarakat atau bahkan bangsanya.
Namun hasil penelitian yang pernah dilakukan Lembaga Survei McCann International memberi gambaran lain. Stereotip yang digambarkan media massa tentang orang-orang muda Asia tidak selalu sesuai kenyataan. Tentunya bergantung pada kemajuan masyarakat itu sendiri. Dinyatakan bahwa jika dibandingkan dengan yang dari Barat, orang muda Asia kurang radikal dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, bahkan bersedia menerima tradisi, peraturan-peraturan dan pembatasan-pembatasan yang dikenakan masyarakatnya. Dan sekalipun tingkatannya berbeda-beda, orang muda Asia bisa bersikap kritis dan serius. Dia meneliti dan mengamati. Dia memiliki keyakinan besar terhadap masa depan dan bangga atas kemajuan bangsa dan negaranya. Karena optimisme dan sikapnya yang sederhana, orang muda Asia masa kini bisa menjadi contoh: begitulah seharusnya perilaku anak bangsa.

Tempat menggantungkan harapan rakyat

Dr J Kristiadi, peneliti CSIS, menyatakan agar Munas Golkar minggu depan jangan direduksi menjadi ajang perebutan kekuasaan untuk jabatan ketua umum. Arus pragmatisme akan membuat Golkar makin terpuruk. Pernyataan Kristiadi mungkin terutama didasarkan pada gencarnya pemberitaan dan/atau iklan lewat media massa oleh para kandidat. Opini demikian bisa saja terbentuk. Tetapi kita juga bisa melihatnya dari sudut pandang lain. Yakni, bisa juga ini merupakan show of force
Golkar yang membuktikan bahwa Golkar masih memiliki orang-orang yang mau dan mampu serta gigih berusaha mengedepankan Golkar. Dua calon utama yang saling bersaing--Surya Paloh dan Aburizal Bakrie dalam Rapat Pleno Ke-26 Dewan Penasihat DPP Partai Golkar awal minggu ini memberikan kesan tentang adanya semangat itu. Ekspose mereka yang gegap gempita lewat media massa menegaskan eksistensi Golkar sebagai partai besar masih harus diperhitungkan. Siapa yang menjadi pilihan? Apakah Ketua Dewan Penasihat atau anggota Dewan Penasihat yang juga Menko Kesra? Kesediaan dua tokoh dari Dewan Penasihat DPP Partai Golkar untuk memenuhi tantangan organisasi patut dihargai. Bagaimana ke depannya, masih harus kita tunggu.

Berbicara tentang angkatan muda yang juga memiliki aspirasi untuk posisi ketua umum, itu pun patut dipuji. Ini tantangan berat antara lain karena faktor 'gizi' atau kebutuhan akan jumlah dana yang memadai untuk menggerakkan mesin partai. Memang di Golkar berhimpun kalangan pengusaha, profesional, ahli-ahli politik-ekonomi-sosial dan tokoh-tokoh masyarakat yang andal. Namun, masalah gizi bisa menjadi sandungan bagi yang berpotensi memimpin partai. Penghimpunan dana untuk mesin partai menjadi salah satu tantangan sebab, faktanya, dunia telah ditaklukkan oleh materialisme. Semua menjadi komoditas. Materialisme secara kolosal sedang bergerak maju untuk menyusup ke mana-mana dan menancapkan kekuasaan. Ini menjadi dilema sekaligus tantangan bagi setiap organisasi, termasuk organisasi politik, yang harus diatasi secara sendiri-sendiri oleh para kader berpotensi, atau secara bersama oleh partai. Ini salah satu pekerjaan rumah penting bagi Golkar.
Bagaimanapun, partai politik akan selalu menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat banyak. Bila dicermati, dialah satu-satunya yang secara akurat dapat membaca dan memberi respons terhadap aspirasi rakyat. Dia menjadi perantara antara pemerintah dan rakyat. Platform partai jangan hanya menjadi panduan garis besar misi dan visi, tetapi juga memuat rincian apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara yang sedang menghadang yang penyelesaiannya dapat dilakukan bersama partai politik. Platform yang demikian bisa menjadi daya tarik bagi publik. Alangkah idealnya kalau yang demikian bisa dilaksanakan. Bukankah idealisme tumbuh dan berkembang dari suatu mimpi?

Opini Media Indonesia 2 Oktober 2009

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group