02 Oktober 2009

» Home » Kompas » Masyarakat Sadar Bencana

Masyarakat Sadar Bencana

Riset sejarah Gregory Clancey dalam buku Earthquake Nation: The Cultural Politics of Japanese Seismicity, 1868-1930 terbitan University of California Press 2006 merefleksikan Jepang sebagai bangsa gempa.
Istilah ”Jepang sebagai bangsa gempa” pertama kali muncul bukan karena gempa yang melahirkan petaka. Sebaliknya, meningkatnya kesadaran tentang gempa di kalangan akademisi dan birokrat Jepang, berujung pada reputasi ”Jepang bangsa gempa”, terjadi akibat publikasi John Milne akhir 1886 berjudul Catalogue of 8331 Earthquakes hasil uji coba seismometernya sendiri.


Dihukum alam
Hanya selang sebulan, Indonesia diguncang dua gempa, menghancurkan rumah dan gedung rentan di Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Lalu, bagaimana membangun kehidupan politik kebudayaan yang sadar bencana demi kualitas penanganan bencana secara ex-ante di Indonesia yang kenyataannya rentan gempa maupun tsunami.
Membangun budaya sadar risiko bencana untuk menjamin komitmen pengurangan risiko bencana secara berkelanjutan juga harus dibangun secara politik. Untuk itu, Indonesia memerlukan legislator yang mampu memainkan peran kontrolnya guna mengoreksi kesadaran naif kekuatan eksekutif yang kerap menyembunyikan kegagalan kebijakan publik dengan menyalahkan alam.
”Ademkrasi” yang dibayangkan sebagai ”tatanan yang ayem tentrem, kerta, raharja (damai, makmur, sejahtera), panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi (yang melimpah bagai pasir dari gunung, bagai hasil bumi dari tanah yang subur)” (Alois A Nugroho, Kompas, 2/9/2009) tentu adalah utopia jika bukan mitos karena bumi Indonesia terus bergejolak tidak mengikuti siklus politik. Gagal memahami bumi dan patuh pada hukumnya akan menghasilkan pembangunan yang dikelola mesin politik terlampau rentan dan mudah dihukum oleh alam melalui gempa.
Dengan ketiadaan partai oposisi yang kuat di DPR sekaligus paham bencana dan kebijakan pengurangan risiko bencana, koreksi terhadap pemerintahan yang berkuasa tidak mungkin terjadi secara berarti. Bila ”lumpur Lapindo” adalah salah satu bukti dari berbagai contoh lain, tanda pemerintah yang berkuasa belum efektif menangani bencana.
Penanganan bencana
Saat ini diperlukan pendidikan bagi masyarakat untuk mampu kritis melihat bencana bukan sebagai kutukan maupun kejadian alami, tetapi sebagai kegagalan kebijakan publik yang bertugas mengurangi aneka kerentanan fisik. Kerentanan fisik bangunan adalah fakta karena terkait kerentanan sosial ekonomi yang menjadi fondasi struktur insentif bagi kemampuan maupun kemauan untuk membiayai rumah dan infrastruktur tahan gempa.
Sudah menjadi rahasia umum, semua pemerintah di dunia kerap berkelit dengan melempar tanggung jawab penanganan bencana dan dengan serta-merta menyalahkan alam. Padahal, partai politik bertanggung jawab memberi pendidikan politik karena menyangkut keselamatan rakyat yang juga konstituennya.
Belajar dari berbagai bencana di Indonesia dalam lima tahun terakhir, ternyata partai politik tidak banyak berperan dalam mengoreksi sistem penanganan bencana. Artinya, produk Undang-Undang Bencana No 24/2007 hasil produksi legislatif tidak cukup kecuali disertai komitmen memantau, mengevaluasi, dan mengkritisi proses kebijakan kebencanaan yang tersendat di berbagai aras.
Kita ingat peristiwa Situ Gintung yang terjadi dalam konteks kontestasi politik pemilu. Saat itu berbagai partai politik sibuk membagi bantuan. Ini hanya serial dari kolosal politik kebencanaan kita yang terlihat dari Alor, Aceh, Nabire, Yogyakarta hingga Bengkulu, Jawa Barat, Padang. Saat itu partai politik sibuk membawa bahan kebutuhan pokok bersama bendera partai sambil berpura-pura melakukan doa tolak bala, tetapi lupa menggerakkan politik sebagai alat strategis dalam pendidikan publik. Masyarakat perlu diajak untuk mendorong pemerintah memerhatikan pelaksanaan berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Pembangunan Gedung (No 28/2002) agar bisa diimplementasikan, serta mendorong percepatan pelaksanaan Undang-Undang Penanganan Bencana (No 24/2007).
Politik kebudayaan bencana
Dalam konteks Jepang, peristiwa gempa yang melahirkan bencana mampu dijelaskan dengan sains dan melihat sisi antropogeniknya. Sedangkan peristiwa gempa yang besar dan tidak melahirkan bencana mampu diklaim sebagai keberhasilan sains, sekaligus politik. Partai oposisi Jepang sungguh paham akan hal ini.
Indonesia membutuhkan waktu lebih lama ketimbang yang sudah dicapai Jepang 120 tahun lalu untuk melahirkan kesadaran politik yang menggerakkan sumber daya dasar yang sebenarnya sudah tersedia di berbagai universitas dan pusat riset, khususnya pengetahuan tentang berbagai mitigasi bencana.
Benar bahwa ini bukan hanya tugas legislatif maupun pemerintah. Masyarakat menunggu peran politisi dalam membangun kesadaran kritis atas fakta bencana sebagai bukti kegagalan kebijakan publik. Hal ini kerap hilang dalam politik kebencanaan kita, karena itu mendesak untuk dibangun sesegera mungkin.

Opini Kompas 2 Oktober 2009

Jonatan Lassa Kandidat PhD pada Universitas Bonn, Jerman, dengan disertasi Disaster Risk Governance; Anggota Forum Academia NTT dan MPBI