02 Oktober 2009

» Home » Kompas » Hidup Bersama Gempa

Hidup Bersama Gempa

Rentetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan rawan gempa.
Terakhir gempa Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore, berkekuatan 7,6 skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (1/10) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.
Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah-daerah yang rawan bencana. Hal ini tidak bisa dihindari karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12 sentimeter per tahun.


Karena itu, mitigasi gempa penting dilakukan. Hingga kini belum ada teknologi dan pakar yang dapat meramal kapan gempa akan terjadi meski dibantu alat monitoring tercanggih. Pengetahuan manusia baru sebatas pemahaman wilayah yang berpotensi terhadap bahaya gempa.
Enam upaya
Sudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna mengurangi korban jiwa dan kerusakan.
Pertama, program riset di bidang gempa. Riset ditujukan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gempa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, kerentanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi bencana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan tidak tahan gempa.
Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal, baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan seismometer, global positioning system (GPS) pemantau proses gempa bumi.
Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran, dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penanggulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi gempa.
Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi, membuat bangunan sebagai tempat berlindung, menyiapkan sarana-prasarana untuk membantu korban dalam situasi tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang aman dan strategis bagi korban.
Kelima, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Unsur ini memungkinkan pemerintah menangani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan mendayagunakan sumber daya yang ada. Karena itu, pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Indonesia perlu segera didorong.
Keenam, melaksanakan rencana pengembangan wilayah dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruangan, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan wilayah.
Bagi kawasan berisiko gempa, pemerintah dapat memberi pengarahan untuk kegiatan mitigasi. Rumah dan bangunan harus di-retrofit, dibangun agar tahan gempa, diterapkan building code ketat.
Rumah tahan gempa
Kita prihatin, tiap gempa menggoyang Indonesia, banyak bangunan luluh lantak. Masalahnya, konstruksi bangunan tidak tahan gempa. Rumah dibangun seadanya. Material yang digunakan kurang memenuhi syarat teknis. Faktanya, dinding tembok tidak diperkuat sloop, balok lingkar, dan kolom praktis. Kalaupun diperkuat dengan balok lingkar dan kolom beton, ukurannya kurang memenuhi syarat.
Selain itu, antara fondasi, sloop, balok lingkar, dan kolom praktis kurang tersambung dengan baik. Lalu, pada bagian atap, terutama yang terbuat dari genteng, juga sering roboh tak kuasa menahan guncangan gempa.
Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan dan keruntuhan bangunan adalah kurangnya pemeliharaan bangunan. Akibatnya, bangunan mengalami pelapukan dan tidak mampu menahan gempa.
Berdasarkan fenomena inilah mitigasi secara fisik yang amat penting dilakukan adalah dengan membuat rumah atau bangunan tahan gempa. Setidaknya ada 13 syarat untuk membuat bangunan tahan gempa, di antaranya denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam.
Tidak lupa, buatlah fondasi di atas tanah yang mantap. Fondasi itu diikat secara kaku dengan sloop. Lalu, kerangka bangunan (sloop, kolom, balok keliling, dan lainnya) kokoh terhubungkan.
Syarat lain, gunakan kolom pemikul (kayu, beton tulang, dan baja) untuk setiap luas dinding 12 meter persegi yang diikat sloop dan balok keliling. Jika menggunakan bata/batako, harus bermutu baik.
Selain itu, dinding harus diberi angkur berukuran 6 mm panjang 50 cm untuk tiap 30 cm pasangan bata yang mengelilingi tepi dinding. Ingat, konstruksi dinding sebaiknya dari bahan ringan (bilik, papan, papan lapis, dan lainnya). Bukaan-bukaan pada dinding sebaiknya simetris dan tidak terlalu lebar.
Adukan semen pun perlu diperhatikan. Gunakan adukan semen-pasir dengan campuran yang betul dan kuat. Untuk beton gunakan semen, pasir, dan kerikil dengan rasio campuran yang tepat.
Tak kalah penting, menggunakan balok keliling (balok ring) dari kayu, beton, atau baja yang diikat kolom. Konstruksi atap sebaiknya dari kayu kering dengan konstruksi sambungan yang benar dan kuat.
Jangan gunakan penutup atap yang berat, tetapi pakailah bahan ringan seperti seng, asbes, dan aluminium.
Dengan menerapkan keenam upaya mitigasi itu secara komprehensif, niscaya kita bisa hidup akrab dengan gempa yang terjadi setiap saat.

Opini Kompas 3 Oktober 2009
Subandono Diposaptono Direktur Pesisir dan Lautan di Departemen Kelautan dan Perikanan