02 Oktober 2009

» Home » Kompas » Mewakili Rakyat

Mewakili Rakyat

Beberapa hari lalu, saya mendapat ucapan ”selamat” atas rencana pelantikan sebagai anggota DPR dari konstituen, para petani Banyumas dan Cilacap.
Bagi saya, mereka bukan orang baru, juga sebaliknya. Mereka adalah orang yang pertama kali saya jumpai 18 tahun silam sebagai petani sederhana, yang diringkus kemiskinan dan konflik pertanahan menahun.
Saya terharu saat mereka menganggap saya sudah ”berhasil”. Padahal, apa yang diperjuangkan 18 tahun lalu belum banyak memperbaiki nasib mereka.


Saya juga yakin, semua rekan yang dilantik kemarin mendapat ucapan serupa dari orang-orang. Para wakil rakyat ini adalah yang berhasil mengoptimalkan hubungan dengan konstituen sehingga memenangkan jumlah suara yang memadai dalam proses pertarungan politik pemilu.
Di sini saya membicarakan prosedur dan strategi politik, dengan kedalaman dan isi politik berbeda dari tiap kasus pemenangan pemilu. Karena rupanya pertarungan politik sehari-hari sering terlalu tergesa-gesa, saya lupa mengurusi isinya.
Meski demikian, bukan berarti dalam proses yang bergegas ini kedalaman dan isi tak bisa disertakan. Substansi politik bisa ditemukan jika (dan hanya jika) panggilan berpolitik itu berasal dari sebuah proses panjang. Kalaupun Anda menemukan kasus proses politik yang singkat, hampir pasti itu berasal dari politik advertorial diri (pencitraan melalui iklan politik) maupun politik transaksional yang teramat mahal bagi orang kebanyakan.
Mewakili rakyat artinya menjalin beragam hubungan batin, pikiran, empati, dan (bahkan) fisik dengan yang diwakili. Meski demikian, harus disadari, suara- suara rakyat itu kerap bersifat spontan, sporadis, berserakan, dan tidak sistematis. Maka, penting diingat, mewakili rakyat tidak hanya menjadi cermin mentah atas semua itu, karena akan menjerumuskan kami pada popularitas sesaat. Para politisi mudah digoda hal-hal seperti ini.
Pencarian popularitas sesaat hanya melahirkan produk legislasi yang mentah dan dangkal atas yang tampak di permukaan, tanpa menyelami aneka konsekuensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Misalnya, jika di kalangan konstituen kami muncul arus kuat sektarianisme untuk memaksakan produk undang-undang yang mengancam hak-hak minoritas (baik suku, agama, maupun status sosial lain), wakil rakyat yang visioner tidak boleh memperjuangkannya begitu saja karena akan mengorbankan yang lebih besar, yaitu Pancasila dan Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita. Pun misalnya di kalangan konstituen kami muncul tuntutan untuk melegalkan perjudian, tentu tidak serta-merta memperjuangkannya karena akan membangkrutkan moral masyarakat kita.
Dari apa yang saya lihat, berbagai kualifikasi itu hanya bisa dipenuhi dalam proses politik ideologis maupun kultural melalui partai politik yang sehat, bukan melalui proses advertorial diri atau politik transaksional. Selain melalui partai, tentu ada jalur lain untuk menyehatkan representasi dan proses legislasi.
Sebagai anggota DPR, saya menjadi wakil rakyat menurut konstitusi negara. Namun, ini tidak menghilangkan pengertian tentang wakil rakyat secara luas. Di sini saya membicarakan keberadaan wakil rakyat yang hidup dan menghidupi keseharian rakyat. Mereka bisa ditemukan dalam kegiatan di luar parlemen, seperti kalangan cendekiawan, agamawan, budayawan, jurnalis, pendidik, usahawan yang menerapkan prinsip pemerintahan yang bersih, para aktivis akar rumput dan lainnya yang fungsinya tidak kalah penting dalam menyehatkan peradaban politik. Senantiasa berinteraksi dengan mereka adalah untuk menjaga agar proses ideologis dan kultural ini sebagai pengimbang politik transaksional.
Dengan demikian, berpolitik akan menjadi gugusan tindakan oleh pribadi-pribadi yang sudah merasa cukup dengan aneka keperluan diri, agar politik hanya mengurusi keperluan orang banyak.
Saya sering menjumpai politisi yang asetnya ”biasa-biasa” saja tetapi merasa keperluan pribadinya tidak berlebihan sehingga dia bisa lapang memikirkan orang banyak. Orang-orang itu merasa, dengan lebih melayani kepentingan orang banyak, kebajikan publik akan berlaku adil sehingga memungkinkan memenuhi keperluan pribadi tanpa mengambil yang bukan haknya. Namun, contoh sebaliknya tidak sedikit jumlahnya.

Sejak kemarin, saya dan rekan-rekan resmi dilantik mewakili Anda. Mari kita akui saja, Anda dan kebanyakan rakyat tidak berkepentingan bagaimana kami resmi menjadi wakil Anda di parlemen. Yang menjadi kepentingan Anda adalah kesediaan kami untuk terus diuji di hadapan altar mimpi dan harapan orang banyak, serta bagaimana kami mengakhirinya lima tahun ke depan.
Bagaimana perasaan saya? Terus terang, saya dihantui perasaan jika orang-orang desa yang telah menjadikan saya sebagai wakil rakyat di DPR, tak akan lebih baik nasibnya lima tahun ke depan dibandingkan dengan saat saya pertama kali menyepakati perjuangan bersama mereka 18 tahun silam.

Opini Kompas 2 Oktober 2009

Budiman Sudjatmiko Anggota DPR dari PDI-P