02 Oktober 2009

» Home » Republika » Batik dan Spirit Baru Kekayaan Lokal

Batik dan Spirit Baru Kekayaan Lokal

Di abad milenium ketiga ini, khazanah kebudayaan yang bernilai lokal nyaris tergerus. Problem ini merupakan problem akut yang telah lama mencuat kepermukaan. Lemahnya genearasi muda dalam upaya melestarikan kultur dan tradisi yang bernilai lokal setidaknya menjadi bukti sederhana bahwa rasa memiliki terhadap warisan masa lalu tidak pernah tersirat dan melekat dalam diri mereka. Akibatnya, hingga detik ini, segala kekayaan nenek moyang yang ada di negeri ini semuanya dalam kondisi stagnan dan nyaris mengalami kepunahan. Di balik itu semua, perhatian dari praktisi dan pemerhati budaya lokal masih berkutat pada wejangan dan wacana semata. Memang, tidak dapat dibantah bahwa selama ini tulisan dan analisis fenomenalogis tentang rasa keprihatinan terhadap tradisi dan kultur lokal banyak menghiasi media massa.
Akan tetapi, gerakan taktis praktis yang membumi dalam kehidupan masyarakat untuk melestarikan kultur dan tradisi lokal masih sangat kecil.

Akan tetapi, dari lemahnya perhatian generasi muda terhadap tradisi dan kultur lokal di atas, pemerintah ternyata telah mengambil sebuah kebijakan yang sangat fantastis, yakni mendaftarkan batik ke UNESCO untuk mendapatkan legalitas Integible Cultural Heritage (ICH) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sebagai sebuah nilai kultur yang dapat diakui oleh dunia internasional. Bahkan, dalam pengukuhan tersebut, semua yang hadir akan mengenakan batik sebagai 'tanda' memiliki nilai keistimewaan. Jika sebelumnya PBB telah mengukuhkan wayang dan keris Indonesia sebagai warisan dunia, batik pun saat ini juga menjadi warisan yang diakui oleh dunia internasional. 

Secara historis, batik muncul ke permukaan pada XVIII pada pemerintahan Kerajaan Majapahit. Kala itu, tradisi berbatik masih digunakan oleh   keluarga keraton. Perkembangan batik tidak kemudian berhenti di satu titik, tetapi batik terus berkembang secara terus-menerus. Bahkan, pembuatan dan penggunaan batik tidak lagi berkutat pada ranah keraton, tetapi berkembang di masyarakat biasa secara cepat. Sehingga, pada titik klimaksnya, batik menjadi alat perjuangan ekonomi tokoh-tokoh Islam dalam memperkuat dinamika perekonomian menghadapi penjajah masa silam. 

Hingga detik ini, batik menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Pemerintah, guru, dan masyarakat telah banyak yang menggunakan batik. Bahkan, lebih dari pada itu, batik telah menjadi sebuah gerakan perekonomian banyak kalangan. Tidak sedikit yang telah menggunakan batik sebagai lahan empuk untuk memperoleh penghasilan dan sejenisnya. Sehingga, wajar jika setelah kebijakan pengukuhan legalitas batik, antusiasme masyarakat untuk menggunakan batik semakin tinggi.

Tindakan tersebut (baca: pengukuhan) merupakan tindakan yang patut diacungi jempol. Sebab, peduli terhadap khazanah kebudayaan lokal secara tidak langsung--pemerintah--telah melakukan tindakan yang sangat mulia. Kekayaan masa lalu adalah kekayaan yang penuh keringat para leluhur. Jadi, menyelamatkan warisan tersebut sama halnya telah melakukan jihad tradisi dan kebudayaan. Legalisasi dalam konteks internasional akan menjadi angin segar bagi perkembangan kebudayaan dan tradisi lokal di tanah air.

Spirit untuk terus melestarikan warisan itu diharapkan muncul dan menggelora dalam pribadi generasi bangsa. Sebab, batik adalah kebudayaan yang bernilai aslah (baik). Ia merupakan hasil kreativitas leluhur yang sulit ditemukan di abad ini.

Sehingga, mempertahankan dan mengembangkannya dalam dimensi kehidupan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.

Dalam keterkaitan ini, bangsa yang baik adalah bangsa yang peduli pada warisan suci leluhurnya. Segala apa yang menjadi warisan setidaknya harus dipertahankan sebaik mungkin. Karena, jika tidak, kita telah melakukan sebuah pengingkaran terhadap idealisme kebudayaan bangsa ini.

Idealnya, batik akan menjadi spirit baru bagi wajah kultur lokal di tanah air. Kultur lokal yang ada di negeri ini setelah pengukuhan tersebut juga diharapkan akan terus mengalami perkembangan yang signifikan. Karena, batik hanya bagian kecil dari khazanah kekayaan kultur yang ada di negeri multikultur ini. Mengharapkan pada pengukuhan yang lain dari itu adalah sebuah mimpi panjang masyarakat Indonesia.     

Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk terus mengembangkan batik Indonesia lebih maju dari masa sebelumnya? Dalam hal ini, setidaknya pemerintah mengambil inisiatif. Pertama, pemerintah harus menambah perusahaan batik dari sebelumnya. Langkah ini penting mengingat selama ini produksi batik di tanah air masih terbilang jauh dari harapan. Maksimal menjadi aset negara yang menguntungkan.

Kedua, memberikan apresiasi dan penghargaan bagi mereka yang bekerja di level ini. Sebab, selama ini, apresiasi dan sejenisnya dari pemerintah terhadap pengrajin batik masih jauh panggang dari api. Dengan harapan, semangat untuk terus menghasilkan sebuah hasil karya seperti batik terus menggelora dalam diri mereka.

Kedua langkah di atas penting dipertimbangkan. Agar batik tidak hanya berhenti pada pengukuhan atau legalitas semata, melainkan juga mengalami perkembangan pesat ke depan dan menjadi solihun fikullizamanin wamakanin (selalu kontekstual).

Opini Republika 3 Oktober 2009
Fathorrahman Hasbul
Peneliti pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta