02 Oktober 2009

» Home » Seputar Indonesia » Menjadi Bangsa Bencana

Menjadi Bangsa Bencana

Sebagai awam yang rapuh, kita tetap saja merasa tak berdaya ketika menghadapi cara alam melalukan siklus atau ritus “pembenahan diri”-nya.

Betapa pun hebat ilmu yang sudah kita temukan, seberapa pun dahsyat teknologi yang telah kita ciptakan, setinggi apa pun keangkuhan kita tampilkan,alam di sana tetaplah sebuah maharaksasa yang tak mampu penuh kita pahami,apalagi kita kuasai.
Soal bencana alam,hingga saat ini tidak ada satu pun otoritas di muka bumi ini—dengan kemampuan apa pun yang telah dihasilkan atau disombongkan—mampu menera atau memprediksi secara persis kapan ia akan terjadi. Ia hanya memberi dugaan,yang dalam tingkat probabilitas tertentu,mungkin terjadi.

Bukankah demikian pula sebenarnya segala ilmu yang kita pelajari dan produksi? Sekuat apa pun ke-”pasti”-an dalam ilmu pasti atau sains,sesungguhnya ia tak lebih dari sebuah dugaan dalam probabilitas tertentu saat ia menghadapi atau mencoba mengetahui jalan dan rahasia alam.Bukan hanya karena Einstein, satu dewa dari ilmu pasti,menyatakan bahkan dalam kepastian ilmu semua pada berakhir pada relativitas.

Tapi juga siapa bisa meyakinkan kita,bahwa di bawah langit ini ada kepastian, selain ketidakpastian itu sendiri? Bagi kesadaran religius atau spiritualitas tradisional,hanya ada satu kepastian di semesta ini. Satu kepastian di mana manusia tidak dapat ikut campur sama sekali di dalamnya.

Satu kepastian yang memberi jaminan pada kita, pada tingkat tertentu, kita—manusia– sebenarnya hanya afirmasi dari apa yang saya sebut di atas: rapuh.Dan bencana, seperti yang terjadi (lagi) di Pariaman, Padang, dan sekitarnya, tinggal menjadi sesuatu yang takenforgranted,kitaikhlaskan,kita timbang makna yang sembunyi di baliknya,dan kita tanggapi dengan segala upaya untuk memperbaiki kerusakannya.

Penalaran positif seperti ini diharapkan dapat menghindarkan kita dari berbagai spekulasi mistis, yang kadang berbalut agama atau keyakinan tradisional.Bahwa bencana adalah sebuah “cara Tuhan menghukum kita”, adalah “peringatan pada kebejatan manusia”, adalah “pembenaran akan satu doktrin tertentu”,dan sebagainya. Semua spekulasi yang akan meninggalkan kita pada satu posisi atau sikap yang pasrah, penuh sesal, mengiba, dan jatuh pada ritus-ritus persembahan yang acap menyesatkan.

Kabinet Bencana

Namun sebagai makhluk yang rapuh, bagaimana pun, kita tetap saja tergoda akan pertanyaan: mengapa bencana kali ini begitu kerap menghampiri kita? Hampir tanpa jeda buat kita untuk bersiap, memulihkan diri, bahkan menyadari apa yang sedang terjadi. Bermula dari tsunami akibat gempa berkekuatan 8,6 SR di Aceh pada 2004,yang kebetulan di tahun bersamaan dengan dimulainya pemerintahan SBY, bencana Pariaman- Padang seperti menandai lagi permulaan kekuasaan periode kedua dari pemerintahan yang sama.

Dalam masa sekitar lima tahun itu, sudah sebelas bencana kaliber berat (gempa rata-rata berkekuatan 7,5 SR) terjadi hanya di zona subduksi Sumatera bagian barat. Belum lagi kita menghitung bencana- bencana alam lain berupa banjir,angin topan,hingga letusan gunung.

Belum lagi bencanabencana akibat “keteledoran manusia” yang terjadi misalnya pada hancurnya bendungan, air bah akibat sungai, dan saluran yang mampet, pertikaian antarsuku, juga konflik politik dan ideologis. Ditambah dengan berbagai “bencana kemanusiaan” yang terjadi akibat evolusi alam dan ekses dari rekayasa teknologi manusia, seperti berbagai penyakit epidemik seperti HIV,Ebola,flu burung, flu babi, dan sebagainya, kita— sekali lagi, sebagai entitas yang rentan—seperti disudutkan dalam ruang sempit yang hanya berisi pertanyaan,tanpa jendela-jendela cahaya di mana jawaban sesumir apa pun mencerahkan kita.

Pertanyaan itu sebagian mengarah pada kurun waktu bencana beruntun akhir-akhir ini, yang seakan memberi sebuah petanda pada kekuasaan,pada pemerintahan yang porak-poranda saat menghadapi siklus keras alam itu. Kita berhadapan atau diurus oleh sebuah ”kabinet bencana”, bukan hanya karena banyak kerusakan dahsyat yang dialaminya,tapi juga karena ”bencana” dalam cara kabinet itu mengatasi kerusakan-kerusakan itu.

Dari puluhan bencana, alam, sosial,ilmu,atau kemanusiaan,yang menimpa kita di setengah dasawarsa terakhir, kita melihat bagaimana pemerintah,dan kabinet yang mewakilinya, seolah berupaya keras untuk memberi bantuan,dari sekadar obat-obatan, makanan, pemukiman, hingga rehabilitasi fisik. Betapa pun,semua itu tidak mampu mengembalikan kondisi pada standar asalnya, sebagian korban dan masyarakat umum menerima— biarpun dengan rasa kesal—apa yang sudah diperbuat pemerintah.

Bangsa Bencana

Namun mungkin ada beberapa hal yang kurang diperhitungkan. Lebih dari sekadar bantuan kedaruratan atau rehabilitasi fisik, bencana beruntun itu menghadapkan kita pada beberapa persoalan. Pertama,kesadaran penuh –secara ilmiah—bahwa negeri ini adalah satu tumpuan bencana (dalam berbagai bentuknya) lebih dari negerinegeri yang lain.

Hidup kita,selaiknya, selalu berada dalam situasi waspada, karena bencana seperti barisan yang sedang antre memasuki rumah kita. Karenanya, bukan hanya “kabinet bencana” yang kita miliki, tapi sebagai bangsa pun kita harus menerima realitas dan predikat itu pula: bencana.

Entah karena hal itu diakibatkan oleh mekanisme alam, efek samping rekayasa biologis, human error, fundamentalisme ideologi, hingga kekerdilan sikap hidup-sosial kita.Kita adalah bangsa bencana,dalam arti bangsa yang semestinya memiliki kesiapan tinggi dalam menghadapi krisis atau kejadian besar apa pun dan kapan pun ia bisa terjadi. Situasi itu menghadapkan kita pada persoalan kedua: sebagai sebuah bangsa kita selaiknya dipersiapkan dan mempersiapkan diri pada situasi yang senantiasa kritis.

Artinya kewaspadaan pada sesuatu yang dahsyat dan destruktif bisa terjadi kapan saja dan di mana saja kita ada. Ini bukanya per-soalan psikologis, mental, atau daya pikir saja.Tapi juga sebuah infrastruktur, di tingkat material hingga imaterial, yang harus dikerjakan oleh pemerintah, cq “kabinet bencana” yang ada. Akhirnya, situasi atau persoalan ketiga meminta kita,juga pelaksana kekuasaan, cq (lagi-lagi) “kabinet bencana”,untuk tidak hanya selesai dalam melakukan rehabilitasi fisik pada satu bencana yang terjadi.

Secara kreatif, ia semestinya menggunakan momentum dan keadaan itu untuk mulai membangun infrastruktur,juga kesadaran mental-fisikal-spiritual dari masyarakat setempat untuk senantiasa dalam kewaspadaan.Kewaspadaan yang biasanya luntur bahkan lenyap terlena oleh pragmatisme dan hedonisme hidup kita sehari-hari.

Situasi kritis—dalam kesadaran— ini bukanlah sebuah hidup yang dipenjara oleh ketegangan dan ketakutan.Tapi lebih pada sebuah kesadaran yang “menunggal” dengan realitas alam, plus kesadaran yang lebih dalam terhadap kebudayaan dan perilaku manusia.

Seperti Mbah Marijan dan masyarakat yang tinggal di Gunung Merapi, ancaman bencana yang dapat muncul setiap saat,tidak harus membuat hidup mereka tegang dan takut.Mereka rileks dan menganggapnya sebagai satu fenomena lumrah dan alamiah belaka, sebagaimana kematian dan penyakit yang diderita.

Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran, kewaspadaan dan kesigapan dalam bertindak, mereaksi pertanda yang—sesungguhnya— dapat kita rasakan, juga pelajari.Kesadaran alam semacam itu pula yang perlu kita miliki.Bagi masyarakat kota, itu tidak cukup.

Karena ia juga harus dilengkapi oleh kewaspadaan pada bencana dalam bentuk-bentuk lain, termasuk, katakanlah, sebagai misal sebuah virus yang merusak seluruh hard disk komputer kita, atau ledakan yang membuat saluran listrik mati dalam seminggu. Sesungguhnya, semua pertanda itu sudah di depan mata.

Abrasi laut yang menggila, sudah memperkirakan Istana Merdeka bakal tenggelam dalam hitungan dasawarsa. Gedung-gedung tinggi di Jakarta, jadi percuma konstruksi hebatnya dalam menghadapi gempa ketika fondasi mereka ambles puluhan senti akibat pengisapan air tanah yang berlebihan. Sanitasi buruk dan saluran got yang mampat secara massal, yang membuat epidemi apa pun mudah sekali menyerang kita.

Belum lagi berbagai tanda global,yang terbukti secara ilmiah, mengindikasikan kita pada masa depan yang akan bangkrut dalam setiap dimensi peradabannya.Tak ada pilihan, kecuali kita, bangsa ini, siap menjadi diri yang sadar total akan bencana,menjadi bangsa bencana—yang siap dengan semua kerusakan besar, apa pun penyebabnya. Bukankah semestinya demikian, semua bangsa di muka bumi ini?(*)


Opini Koran Sindo 2 Oktober 2009
Radhar Panca Dahana
Budayawan