02 Oktober 2009

» Home » Jawa Pos » Memahami Duka Korban Gempa

Memahami Duka Korban Gempa

Apabila seseorang mati mendadak, entah akibat bencana alam seperti gempa, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, atau sakit nonkronis, pasti ada orang-orang dekatnya, mulai anak-anak hingga orang tua, yang akan sangat terpengaruh oleh kematian itu. Kematian itu bukan hanya sama sekali tidak diharapkan, tapi juga menabrak pengertian kita tentang apa yang benar atau normal.
Berbeda dengan kematian akibat kanker, stroke, atau kondisi jantung yang sakit-sakitan. Sifat penyakit itu membuat kita lebih siap menerima apa yang bakal terjadi. Meski begitu, kematian orang yang kita cintai tetap menimbulkan shock, bahkan jika kita sudah memperoleh tanda-tanda peringatannya.

Manusia semestinya makhluk cerdas dan mampu mengendalikan banyak aspek kehidupan. Tetapi, tetap banyak yang tidak kita ketahui soal emosi manusia, cara kerja pikiran, atau peran ''keberuntungan'' dan ''peluang'' dalam kehidupan kita. Akibatnya, nyaris tidak mungkin menjelaskan kepada ibu atau ayah yang berduka mengapa anak perempuan atau lelakinya -yang dia harapkan berumur lebih panjang daripada dirinya- ternyata dipanggil Tuhan telebih dahulu.

Namun, kita bisa memahami pengalaman berduka. Kita tahu, misalnya, bagaimana biasanya seseorang bereaksi sewaktu diberi tahu bahwa orang yang dicintai telah mati.

***

Pada awalnya, reaksi yang pertama muncul adalah terkejut. Itu merupakan puncak dari ketidakpercayaan. Pikirannya menolak berita yang tidak bisa diterima itu. Orang yang ditinggal mati secara emosional merasa kebas sehingga wajar saja jika seorang ibu bahkan tidak menangis sama sekali atas kematian anaknya.

Reaksi berikutnya bisa berupa kemarahan. Sering orang-orang yang ditinggal mati mengungkapkan rasa marah yang tak bisa ditenangkan terhadap beberapa orang yang dianggap bertanggung jawab atas kematian orang yang dicintainya. Bahkan, Tuhan pun bisa disalahkan karena membiarkan tragedi seperti gempa itu terjadi.

Aspek berikutnya yang sudah bisa diidentifikasi adalah keinginan orang-orang yang ditinggal -suami/istri, orang tua, kakak-adik- untuk menjelaskan dan menerangkan secara rinci segala hal seputar kematian itu. Setiap ada tamu datang, mereka mengulangi lagi keterangan itu, tanpa pernah letih. Itu adalah reaksi penting terhadap kehilangan tersebut.

Ciri lain orang yang berduka adalah sangat mudah dibujuk atau dipengaruhi. Saya pernah melihat betapa seorang janda di Aceh, pascatsunami, dengan mudah diminta untuk menjual lahan yang lebih luas daripada masjid raya hanya seharga beberapa juta rupiah. Atas nasihat keluarga atau teman, mereka gampang menjual rumahnya untuk pindah ke kota lain.

Berbagai keputusan besar yang tergesa-gesa itu bisa menambah beban sendiri di kemudian hari. Kerabat dan saudaranya mesti memperhatikan hal itu untuk mengurangi potensi persoalan dan banyak kesulitan akibat ketergantungan dan kerentanan tersebut.

Aspek lain dari kehilangan orang yang dicintai secara mendadak adalah gangguan perilaku berupa serentetan mimpi buruk atau mimpi yang begitu nyata. Meski sangat melelahkan dan bahkan menakutkan, dalam banyak kasus, mimpi-mimpi perlahan-lahan akan hilang dengan sendirinya. Jika berlangsung terus hingga berbulan-bulan, perlu segera meminta bantuan psikoterapi.

Orang yang berduka juga bisa terganggu oleh halusinasi yang dialaminya. Dia seperti ''mendengar'' dan ''melihat'' keberadaan orang yang telah meninggal. Banyak janda yang masih mengalami halusinasi itu sampai sepuluh bahkan belasan tahun setelah kematian suaminya.

Namun, tidak sedikit pula penelitian yang membuktikan bahwa pengalaman seperti itu malah menimbulkan rasa tenang dan tenteram. Tetapi, bagi orang yang tidak terbiasa menghadapi proses mental seperti itu, ''kedatangan'' atau ''penampakan'' orang yang telah meninggal -yang sesungguhnya adalah halusinasi- itu bisa sangat mengganggu, bahkan ada yang percaya bahwa dirinya sudah gila. Pada umumnya, halusinasi ini, seperti mimpi yang begitu terang, akan hilang dengan sendirinya.

Yang jauh lebih jamak terjadi adalah perubahan perilaku secara mendadak. Perubahan itu termasuk sulit tidur (insomnia); tak berselera makan; frekuensi merokok atau minum alkohol meningkat; tindakan atau ucapan yang diulang-ulang; keputusan impulsif seperti keluar dari pekerjaan atau memutuskan persahabatan yang sudah sangat lama; terus-menerus marah atau ledakan perasaan; tindakan kekerasan terhadap keluarga, teman, atau bahkan orang yang tak dikenal.

***

Mereka yang ditinggalkan mesti menyadari kemungkinan munculnya perilaku seperti itu dan seberapa besar taraf kenormalannya. Mereka juga mesti waspada jika tingkah seperti itu mengancam melukai diri sendiri maupun orang lain. Jika berlanjut cukup lama, segeralah periksakan diri kepada psikoterapis.

Sering, dalam kasus-kasus kematian mendadak yang tak terduga-duga, khususnya yang bersifat tidak alamiah -bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, atau bencana- lembaga-lembaga publik dan media massa menerobos masuk ke kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Padahal, mereka sedang mengalami trauma dan luka kejiwaan. Mestinya lembaga semacam itu lebih memperhatikan privasi, martabat, dan proses duka keluarga yang ditinggalkan.

Perilaku wartawan dan kamerawan kerap tidak peka dan malah menimbulkan kerusakan psikis tambahan. Biasanya mereka hanya memuncakkan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati. Begitu pula para pejabat publik yang bermaksud baik, yang tugasnya menyelidiki hal-hal seputar kematian itu, mesti bersikap hati-hati. Satu tindakan, gerak tubuh atau bahkan intonasi suara yang tersirat menyalahkan keluarga yang ditinggalkan atas kematian itu, hanya akan menambah beban kehilangan tersebut.

Menghadapi situasi semecam itu, sebaliknya, saudara, kawan, atau perawat mesti terus mendampingi orang yang berduka itu dan membantu mereka kapan pun memungkinkan, bahkan meski harus menghadapi protes dan kemarahan. (*)



Opini Jawa Pos 3 Oktober 2009
*). Dono Baswardono AISEC MA PhD, psikoanalis, konselor, dan konsultan komunikasi strategis