Pelantikan anggota DPR periode 2009รข€“2014 pada 1 Oktober 2009 merupakan proses biasa dalam adat istiadat hukum ketatanegaraan kita. Namun, makna dan nilai yang ada di balik seremoni politik itu justru harus menjadi bagian perjuangan para wakil rakyat ke depan. Itu tidak hanya berkaitan dengan perubahan status sosial dan jaminan ekonomi, tetapi terutama berhubungan dengan kesadaran dan tanggung jawab politik mereka untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat.
Siklus
Itu berarti wakil rakyat tetap berada di wilayah rakyat. Hal itu sangat penting untuk disadari dengan mempertimbangkan kondisi miris yang masih mengurung kehidupan rakyat. Bukan saat yang tepat untuk menyembunyikan kemiskinan rakyat. Biaya-biaya ekonomi yang terus membengkak dan mengurung masyarakat miskin pada area ketidakberdayaan telah dengan sengaja menjadikan Indonesia seperti 'rumah hantu' dan 'tubuh' yang digerogoti kanker ganas.
Korupsi elite kekuasaan yang dipajangkan secara vulgar saat ini senantiasa berujung pada marginalitas masyarakat miskin. Politik belum teruji sebagai mekanisme yang efektif meluputkan rakyat dari kemiskinan. Krisis sosial belum beranjak dari ruang keprihatinan. Pendekatan pembangunan yang ditawarkan dari menara kekuasaan telah 'melumut' dengan 'disorientasi' kepentingan.
Terlalu biasa bagi kita menyaksikan bagaimana pembangunan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Hanya mereka yang berkuasa secara politik dan ekonomi yang mendapatkan jaminan paling pertama dari negara. Itulah kenyataan seputar state corporatism, ketika kendali kebijakan ada di tangan kelompok tertentu yang memiliki kuasa politik dan ekonomi. Persoalan utama tetap satu, kepentingan rakyat belum menjadi fokus perjuangan politik bangsa ini.
Transendensi
Tentu, wakil rakyat tidak harus selamanya terhanyut dalam kepekaan akan siklus kemiskinan rakyat. Wakil rakyat mesti berani meniti langkah paling berani memperjuangkan kepentingan rakyat. Legitimasi politik merupakan titik pijakan paling penting untuk merintis pembelaan kebutuhan asasi rakyat.
Wakil rakyat dan rakyat mesti membangun kesepahaman politik sejak awal demi mengaksentuasikan inti harapan bersama pada kesejahteraan. Ada semacam rintisan arus konvergensi politik yang mengerucut pilihan-pilihan cerdas, tepat, dan lekas menuju kebaikan yang lebih nyata.
Kesepakatan menggetarkan itu seharusnya memang dapat menghadirkan sebuah pressure politik demi membekap manipulasi paradigma pembangunan yang sebetulnya berpihak pada rakyat. Gagasan itu penting untuk dikerjakan mengingat sejumlah pencapaian politik dan ekonomi mutakhir tidak serta-merta menutup celah-celah kegagalan. Selalu muncul kenyataan bahwa keindahan misi pembangunan hanya akan tercantum sopan di atas dokumen politik.
Ada beberapa problem pelik yang sedang menghadang usaha 'jalan pulang' menuju cita-cita kemakmuran sosial. Ada proses politik pembangunan yang mengalami degradasi nilai dan pemihakan. Pertama, pembangunan belum teruji secara serius sebagai mekanisme pembelaan rakyat terhadap multiwajah kemiskinan. Kedua, solidaritas belum menjadi bagian dari imperatif politik pembangunan kita. Institusionalisasi keberpihakan pembangunan untuk semua warga bangsa mengalami kemacetan.
Ketiga, politik pembangunan belum memiliki metode yang efektif untuk membongkar kebekuan yang ada pada wilayah komunitas termiskin. Nyatanya, masyarakat paling miskin hanya menjadi basis pembenaran munculnya kebijakan publik sesaat. Keempat, tidak jarang pembangunan pada akhirnya menjadi alasan penyingkiran sebagian dari warga negara.
Usaha mentransendensikan kebutuhan politik rakyat harus diawali dengan kerelaan untuk menaklukkan 'kesenangan' pribadi dan 'kepentingan' kelompok para wakil rakyat. Wakil rakyat harus tetap mengintervensi kebijakan politik publik sehingga skenario pembangunan tetap berada dalam jangkauan kalkulasi kemakmuran rakyat.
Ikhtiar
Wakil rakyat niscaya merumuskan maksud politik prorakyat yang jelas dan tegas. Bila menghubungkan gagasan mendasar ini, demokrasi semestinya harus menjadi sebuah pilihan dan perjuangan politik untuk menyatakan kesejahteraan sebagai pengalaman sosial warga paling miskin. Ada keutuhan keberpihakan politik manakala demokrasi dipertaruhkan sepenuhnya demi memenangkan keberlangsungan hajat hidup khalayak.
Jika kita mengerti maksud berdemokrasi di atas bumi Indonesia yang semakin semrawut ini, kita juga pada gilirannya mesti sadar bahwa demokrasi tidak semata-mata merupakan keperluan para pelaku politik dengan ambisi kekuasaan melainkan kesempatan untuk menerabas kungkungan kerakusan yang memurukkan bangsa. Margot Cohen dalam artikel 'Indonesia: Turning Point' (Far Eastern Economic Review, July 30, 1998) menyebut demokrasi sebagai 'jalan kecil' yang ditempuh menuju lorong kebuntuan sosial ekonomi yang menistakan kehidupan kita bersama.
Sungguh, tidak ada kegugupan terburuk bagi para penganut demokrasi selain perilaku para elite politik kekuasaan yang menggunakan kesucian demokrasi untuk mengabadikan 'interes' pribadi dan kelompok politik sempit.
Tom McCawley Serang dalam artikel 'A People's Economy' (Asiaweek, December 18, 1998) mengingatkan kecenderungan naif ketika demokrasi berhenti pada titik idolatria politik yang mengukuhkan posisi puncak para penguasa dan selebihnya terjerembap pada euforia publik yang menguburkan sikap kritis untuk memeriksa kerangka kerja politik. Di ujungnya, secara keseluruhan, kita berhadapan dengan kejahatan yang terungkap dalam kebijakan pembangunan yang memusuhi rakyat!
Kita sedang mengawali sebuah proses politik krusial. Sebuah titik awal untuk menguji dengan jujur apakah pilihan-pilihan politik rakyat yang mengalami transformasi dalam tanggung jawab para rakyat sungguh sebagai sebuah pilihan yang memerdekakan dan berkeadilan untuk kemanusiaan yang lebih baik. Lebih konkret, kita sedang menyusun evaluasi apakah demokrasi sungguh berguna bagi rakyat.
Hal sepenting itu, meminjam gagasan Reuven Brenner dalam 'Land of Opportunity' (Forbes, October 12, 1998), menyediakan kesempatan total untuk membangun kehidupan bersama dengan lebih giat dan manusiawi. Bukan sekadar 'mumpungisme' politik yang dipergunakan untuk menggenjot keuntungan ekonomi politik sepihak.
Demokrasi harus memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri untuk meluputkan setiap alur kebijakan pembangunan terhadap kesesatan egoisme politik. Itu harus menjadi 'ikhtiar' para wakil rakyat kita lima tahun ke depan. Sebuah usaha memenangi keluhan rakyat menjadi perangkat politik pembangunan yang ramah pada rakyat. Para wakil rakyat kita yang sudah mulai duduk aman di Senayan harus memiliki kecerdasan dan keberanian 'mentransendensikan' keperluan paling mendasar dari keseharian rakyat.
Opini Media Indonesia 2 Oktober 2009
Oleh Max Regus, Direktur Parrhesia Institute