Oleh Tirta N. Mursitama
Dua minggu belakangan ini, hiruk pikuk pengangkatan Sri Mulyani Indrawati menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, menghiasi keseharian kita. Pemilihan Sri Mulyani menjadi subjek diskusi hangat, karena berbagai analisis bernada spekulatif dari berbagai kalangan. Hingga saat ini pun mungkin hanya Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani, Robert Zoellick, dan Tuhan saja yang tahu persis kisah sebenarnya di balik hiruk pikuk ini.
Tulisan ini menyoroti konteks global dan domestik pemilihan Sri Mulyani, tata kelola ekonomi dunia khususnya bagi kemashalatan negara berkembang. Pada konteks perubahan konstelasi percaturan kekuatan internasional, saat ini sedang terjadi reposisi dan penataan ulang tata hubungan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia.
Krisis yang melanda dunia saat ini, memberikan pelajaran bahwa tata kelola ekonomi dunia yang ada telah usang. Tiga krisis mutakhir menunjukkan hal itu. Ambruknya perekonomian Yunani baru-baru ini yang mengarahkan ke konflik horitsontal, mengharuskan Uni Eropa bahkan IMF turun tangan. Memburuknya situasi domestik Amerika Serikat pada 2007 membuat kalang kabut dunia, ataupun ambruknya nilai tukar di negara Asia Tenggara yang merembet ke berbagai negara pada 1997.
Dunia tidak bisa lagi diatur oleh kekuatan-kekuatan hegemonik lama semata. Public goods yang disajikan aktor-aktor lama, tak lagi memadai untuk menjamin stabilitas hegemonik global. Yang diperlukan adalah upaya menanggung beban (burden-sharing) model baru tidak hanya di antara negara maju, tetapi juga di antara negara maju dan berkembang serta di antara negara berkembang.
Burden-sharing yang diperlukan muncul, karena kemajuan yang dicapai oleh negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Rusia, India, dan Cina (BRIC). Tentu, pada tahapan tertentu Indonesia menjadi bagian dan menambahkan ”I” kedua setelah BRIC, sehingga menjadi BRICI. Negara berkembang sepuluh tahun terakhir telah maju pesat, bahkan melampaui beberapa negara maju. Dengan demikian, negara BRICI ini sudah selayaknya ikut memainkan peranan yang lebih aktif dalam tata kelola ekonomi dunia yang lebih adil dan beradab. Fenomena G-20 membuktikan hal tersebut.
Di sinilah, kita selayaknya menempatkan pemilihan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Keterwakilan negara berkembang, pengetahuan spesifik, dan pengalaman idiosinkretik dalam memimpin IMF beberapa tahun lalu dan Indonesia beberapa tahun belakangan ini serta integritas pribadi sudah memenuhi syarat cukup bagi Sri Mulyani untuk ikut aktif menakhodai Bank Dunia.
Harapan
Sebagai salah satu nakhoda Bank Dunia yang membawahi 74 negara di kawasan-kawasan penting dunia, kita pantas menaruh harapan bahwa kontribusi Sri Mulyani akan signifikan. Dia tahu bagaimana kondisi negara-negara berkembang, memahami nuansa tiap tarikan napas kehidupan serta apa yang dimaui oleh penduduk negara berkembang, maupun tingkah pola para pemimpin politik negara-negara tersebut. Di sisi lain, keterlibatan dalam berbagai forum dunia yang mengharuskan dia berkomunikasi dengan para pemimpin dunia, akan menjadi modal untuk mencari ekuilibrium baru kepentingan negara maju dan berkembang mewujudkan tata kelola dunia baru yang lebih adil dan beradab.
Dampak domestik bagi Indonesia, secara positif pemilihan Sri Mulyani menjadi moral-boosting para pejuang teguh reformasi di negeri berpenduduk 230 juta ini. Mereka harus semakin percaya bahwa perubahan positif demi kesejahteraan rakyat di republik ini bisa dilakukan dengan memberikan teladan kepemimpinan atas kemampuan, komitmen, integritas, dan pencapaian prestasi tidak hanya dalam negeri bahkan hingga diakui dunia. Hal ini juga memberikan bukti dan keyakinan kepada sebagian besar rakyat Indonesia yang percaya bahwa orang-orang reformis bisa berperan demi kemajuan. Oleh karena itu, harus terus didukung.
Di sisi lain, ini juga membuat satu keyakinan baru bahwa siapa pun yang merasa ke-geer-an atas ”kemenangan semu” dengan melengserkan Sri Mulyani dari posisi menteri keuangan akan merasa kecele di masa depan. Mereka pikir lengsernya Sri Mulyani akan semakin menenggelamkan dia, tetapi sebenarnya yang sedang mereka lakukan adalah membuat kaum reformis, tak terkecuali Sri Mulyani sendiri, posisinya semakin kuat dan yakin akan kemampuan mewujudkan Indonesia yang lebih bermartabat, berintegritas, dan beradab.***
Penulis, lektor kepala, pengajar Rezim Perdagangan dan Keuangan Internasional, Departemen Hubungan Internasional FISIP UI dan Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia.
opini pikiran rakyat 19 mei 2010