Mundurnya Sri Mulyani dari kursi menteri keuangan sejenak mengurangi ketegangan politik di negeri kita. Hubungannya yang kurang membaik dengan partai politik atau politikus di Senayan setidaknya membawa implikasi politis rendahnya dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Tawaran Bank Dunia merupakan pintu masuk yang tepat untuk memberikan kesempatan pengabdian kepada Sri Mulyani.
Di luar kehebohan kasus Bank Century, kehidupan berbangsa tetap harus berjalan. Indonesia tidak boleh tersandera oleh manuver politik. Politikus boleh bermanuver, tetapi sektor ekonomi harus tetap berjalan memanfaatkan momentum kian membaiknya kondisi domestik dan global. Indonesia sudah saatnya mencapai tahap harus menuntaskan berbagai ganjalan dan tantangan dalam bidang ekonomi agar bisa bersaing dalam era global.
Harus kita akui bahwa Sri Mulyani telah membawa kemajuan, terutama dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kemajuan ekonomi juga patut kita apresiasi, terutama dalam menciptakan stabilitas makroekonomi yang menjadi fokus dalam proses penguatan ekonomi.
Meski demikian, kemajuan itu belum dapat mendorong sepenuhnya bagi kegiatan ekonomi riil yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Secara fundamental, sektor riil masih menghadapi kerentanan. Bahkan kinerja sektor makro yang membaik masih belum mampu menciptakan gairah bagi sektor perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjaman guna mendukung sektor riil.
Agenda ke depan, selain kita harus menyelesaikan masalah bottleneck yang mengganggu kualitas pembangunan ekonomi, kita juga harus bersaing dengan negara-negara lain dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dengan memacu perekonomian. Kita juga harus pandai memetik peluang dalam bersaing dengan negara dalam memanfaatkan kondisi ekonomi global yang kini mulai menunjukkan perbaikan.
Setidaknya ada beberapa agenda ke depan yang harus dilakukan, di antaranya adalah potensi laju pertumbuhan harus ditingkatkan, mengefektifkan daya dorong fiskal dan moneter, serta memperbaiki sekor yang kinerjanya lemah.
Sejak perekonomian ditimpa krisis ekonomi, Indonesia tidak pernah lagi mampu mencapai pertumbuhan ekonomi lebih dari 6%. Pada saat ini, ekonomi kita sudah mengalami proses pemulihan. Namun dengan struktur ekonomi saat ini, laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia hanya sekitar 6%. Padahal dengan potensi yang ada, seharusnya perekonomian Indonesia harus tumbuh paling tidak dengan laju di atas 6,5% untuk dapat menyerap tenaga kerja yang memasuki usia kerja.
Pemerintah menargetkan pada tahun 2014 nominal produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp10.000 triliun atau US$1,111 triliun dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp9.000/US$. Target itu dimungkinkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Dengan pencapaian tersebut, pendapatan per kapita akan menjadi US$4.500. Peningkatan PDB nominal tersebut dimungkinkan karena perekonomian akan terus tumbuh rata-rata 6,3$-6,8$ per tahun hingga 2014 atau mencapai 7%-7,7% pada 2014.
Lantas, di manakah posisi kita sekarang? Apakah bangsa kita siap berkompetisi di era global. Posisi daya saing kita di level global terus meningkat, meski negara lain juga semakin melampaui kita. Survei Doing Business 2010 oleh IFC dan Bank Dunia menempatkan daya saing Indonesia sebagai negara yang menjanjikan, bahkan indeks persaingan global Indonesia meningkat tajam. Sementara itu, lembaga investasi CLSA menilai Indonesia akan menjadi kekuatan dunia bersama India dan China.
Namun, prestasi tersebut belum sepenuhnya mampu menjawab kondisi yang dibutuhkan oleh bangsa kita, yakni pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat untuk mampu menjawab persoalan kemiskinan dan pengangguran.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi masih sangat moderat jika dibandingkan dengan potensi yang sesungguhnya bisa dicapai. Saatnya bagi pemerintah memberikan perhatian terhadap sektor-sektor yang selama ini mengalami pertumbuhan rendah jika dibandingkan dengan potensi yang ada, yakni sektor ekonomi berbasis sumber daya alam seperti pertanian, perikanan, kehutanan dan pertambangan.
Stabilitas ekonomi tetap harus memperoleh perhatian serius, tetapi sektor riil adalah tumpuan harapan bagi masyarakat untuk penciptaan lapangan kerja. Dalam era desentralisasi, upaya mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi dan merata membutuhkan kebijakan yang sinergis pusat dan daerah. Kerja sama ini terutama untuk membangun sektor unggulan dan cluster demi peningkatan nilai tambah, memastikan terurainya sumbatan masalah infrastruktur, pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi baru, serta mengembangkan kawasan ekonomi khusus dengan insentif.
Kita juga harus segera menaikkan nilai tambah industri melalui penguasaan teknologi dan peningkatan SDM. Selain memacu daya saing sektor komoditas, gejala deindustrialisasi mendesak ditangani secara serius agar sektor manufaktur nasional bisa menjadi motor ekonomi yang kompetitif dengan skala usaha yang terus bertambah besar. Hanya dengan cara demikian, industri nasional bisa menjaga pasar domestik sekaligus menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar ekspor.
Di samping itu, penguatan pasar domestik terutama menjaga pasar dalam negeri dari serbuan barang-barang impor sangat penting. Pemerintah harus lebih aktif untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan tak sehat barang-barang impor. Industri manufaktur tidak hanya keok oleh barang impor, tetapi juga dihantam masuknya barang-barang selundupan. Barang-barang impor baik legal maupun selundupan kini sangat leluasa membanjiri pasar.
Kita perlu langkah terobosan, seperti menghilangkan kekakuan praktik-praktik rente ekonomi yang makin lama makin terasa membebani daya saing. Selain itu, tanpa sebuah tekad untuk melaksanakan clean goverment rasanya berat buat kita untuk bersaing secara bebas di pasar global.
Kemampuan mengelola fiskal
Salah satu tantangan menteri keuangan adalah mengelola anggaran negara. Apalagi sejak diundangkan tiga paket di bidang keuangan negara, pengelolaan anggaran negara dilakukan berbasis kinerja dan isu-isu profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara seperti korupsi, inefisiensi, dan misalokasi, semakin memperoleh perhatian serius.
Harus kita akui, sejak era Sri Mulyani, dalam bidang pengelolaan anggaran negara yang tecermin dalam laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL) terus mengalami kemajuan. Meski masih ada beberapa LKKL yang masih memperoleh opini disclaimer, jumlahnya terus menurun.
Dalam pengelolaan anggaran Negara, publik ingin melihat sejauh mana pengelolaan anggaran benar-benar menjadi alat politik yang efektif dalam mencapai tujuan pembangunan, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selama ini telah terjadi inefisiensi penyerapan anggaran baik pada kementerian dan lembaga maupun anggaran daerah.
Untuk anggaran daerah, juga masih mengalami keterlambatan penyerahan sehingga menyebabkan anggaran kehilangan fungsi untuk memicu percepatan roda pembangunan. Sasaran untuk mempertajam prioritas pembangunan sebagaimana dimaksudkan dalam penganggaran berbasis kinerja menjadi sulit tercapai. Padahal penyerapan anggaran yang optimal dan penyerahan anggaran daerah yang cepat diharapkan bisa menjadi daya dorong bagi investasi.
Pengelolaan anggaran negara juga masih terjadi pemborosan dan korupsi yang dapat mendorong misalokasi pendapatan dan pengeluaran negara. Pemborosan dan korupsi dimulai dari (potensi) korupsi yang muncul saat pungutan pajak, hingga pengalokasiannya untuk pembelanjaan publik. Pemerintah harus terus memperbaiki transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak, migas, dan penambangan sumber daya alam lainnya maupun dari penerimaan negara bukan pajak.***
Oleh Dr Fahruddin Salim Tim Ahli di DPR RI
opini media indonesia 19 mei 2010
18 Mei 2010
» Home »
Media Indonesia » Tantangan dan Agenda Ekonomi Pasca-Sri Mulyani
Tantangan dan Agenda Ekonomi Pasca-Sri Mulyani
Thank You!