18 Mei 2010

» Home » Kompas » Sekber Koalisi, Apa Salahnya?

Sekber Koalisi, Apa Salahnya?

Kesulitan presiden yang dipilih oleh mayoritas rakyat dalam memenangkan suara mayoritas di parlemen juga dialami oleh Presiden Obama.
Presiden AS tersebut memerlukan konsentrasi penuh untuk mengegolkan RUU Jaminan Kesehatan, yang secara gamblang akan membantu kepentingan mayoritas rakyat kurang beruntung. Begitu beratnya urusan politik di parlemen tersebut menyebabkan Obama membatalkan kunjungannya ke beberapa negara, termasuk Indonesia.
Hal yang sama juga dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam kasus Bank Century. Bahkan, terakhir dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Partai Demokrat (PD) yang mempunyai kursi terbanyak di DPR ternyata kalah. Jadi, wajar saja kalau Presiden SBY berusaha keras untuk memperkuat posisinya di DPR. Apanya yang salah?

 

Malaysia bahkan sudah mengukuhkan koalisi pemerintah tersebut dalam tradisi politiknya untuk menggantikan komposisi mayoritas tunggal yang tidak mudah diraih. Koalisi ”Barisan Nasional” didesain oleh para tokoh UMNO (United Malay National Organization), partai terbesar di Malaysia dari pemilu ke pemilu. Partai yang setia menjadi anggota Barisan Nasional, antara lain, adalah MCA (Malaysia Chinese Association) dan MIC (Malaysia Indian Congress).
Walaupun Indonesia tidak menganut sistem parlementer, agaknya konstitusi kita, apalagi setelah amandemen UUD 1945, telah mendesain konsep eksekutif yang kuat berdampingan dengan legislatif yang juga kuat. Jika eksekutif tidak kuat, tidak akan efektif memerintah dan mencapai targetnya. Namun, jika tidak didukung kekuatan di parlemen, juga akan tersendat-sendat dalam pengelolaan anggaran ataupun dalam penyiapan peraturan perundang-undangan.
Ical, apa salahnya?
Memilih Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar (PG), sebagai ketua harian sekretariat bersama (sekber) koalisi, apa salahnya? Pertama, PD dengan kursi terbesar di parlemen sudah menjadi ketua yang dipegang oleh Presiden SBY sendiri dan sekretarisnya juga dari PD, yakni Menteri Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan. Kedua, dari angka perolehan 106 kursi parlemen, PG di urutan kedua setelah PD dengan 148 kursi. Ketiga, sering diakui bahwa pengalaman dan keterampilan politik para anggota parlemen dari PG dianggap signifikan perannya.
Hanya kemudian muncul banyak kekhawatiran. Jangan-jangan Ical akan sangat powerful sehingga akan mendikte SBY, memengaruhi kebijakan pemerintahan, memanfaatkan untuk kepentingan bisnisnya, atau bahkan ambisi politik pribadi, misalnya jadi calon presiden 2014. Kekhawatiran juga sah saja, tetapi pemerintah yang kuat dan produktif juga diperlukan untuk kepentingan seluruh bangsa.
Secara teoretis, dengan menempatkan Ical sebagai orang kedua dalam sekber, koalisi sudah mendapatkan tambahan kekuatan 106 kursi di parlemen. Jika digabung dengan kursi PD sebanyak yang 148 secara teoretis kekuatan koalisi cukup potensial untuk mengendalikan parlemen. Bahwa untuk posisi tersebut, pasti ada ”take” dan ”give” adalah soal biasa dalam politik.
Tentu sekber koalisi tidak bisa diposisikan sebagai pemadam kebakaran, artinya bertugas mengatasi masalah, walaupun tidak ikut merancang kebijakan yang bermasalah tersebut. Karena itu, wajar jika sekber dilibatkan dalam merancang kebijakan, memilih figur pelaksana kebijakan tersebut. Justru ini adalah cara yang fair agar koalisi juga tegar dalam membela kebijakan tersebut di parlemen.
Selain mencurigai PG dan agenda tersembunyi Ical, para pengkritik sekber juga menyebutkan bahwa sekber bisa melumpuhkan demokrasi. Kalau koalisi dominan, seakan-akan demokrasi akan terkorbankan. Padahal, demokrasi sendiri jalan untuk mengambil keputusan yang dianggap lebih baik dari otoritarianisme. Kecurigaan koalisi akan mencederai demokrasi justru aneh karena basis koalisi adalah demokrasi. Mereka menggabungkan kekuatan politiknya berdasarkan hasil pemilu yang demokratis. Justru akan aneh kalau partai politik menyia-nyiakan suara dalam pemilu yang mereka raih dengan susah payah.
Jika partai tidak bisa mengorganisasikan suaranya dengan baik justru demokrasi akan terancam karena kepentingan pragmatis akan lebih dominan dalam mewarnai keputusan di parlemen. Memang, di satu sisi, pemerintah membutuhkan dukungan yang kuat supaya bisa mengambil kebijakan secara efektif. Namun, dukungan yang kuat jika tidak dilakukan secara kritis juga bisa menjerumuskan, bukan saja pemerintah, tetapi juga bisa menimbulkan malapetaka bagi seluruh bangsa.
Jadi, sebenarnya energi untuk mengkritisi koalisi, jangan diletakkan pada format dan prosedur penggalangan koalisi tersebut. Tidak ada salah dalam sistem demokrasi untuk memperkuat koalisi. Yang justru harus dicermati dan dikritisi adalah materi dan substansi yang diperjuangkan koalisi. Jika bertentangan dengan kepentingan umum, itulah yang harus dikeroyok ramai-ramai.
Bambang Sadono  Wakil Ketua DPRD Jateng

Opini Kompas 19 Mei 2010