PETA politik menjelang pilkada di Klaten terus bergerak. Calon bupati yang semula tiarap mulai berani menampakan diri. Namun calon incumbent (petahana) H Sunarno SE MHum diprediksi bakal banyak mewarnai peta politik itu. Akankah kursi bupati dapat diraih kali kedua dalam pilkada yang bakal digelar 20 September nanti? Ataukah sebaliknya, muncul wajah baru?
Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi salah satu buah manis reformasi. Lewat pesta demokrasi tersebut rakyat bisa langsung menjatuhkan pilihannya. Sesuatu yang mungkin langka ketika rakyat hidup dalam rezim represif, sebelum reformasi dulu.
Merunut sejarah, Klaten menjadi salah satu daerah yang tengah belajar berdemokrasi. Pesta demokrasi langsung pemilihan kepala daerah kali pertama digelar tahun 2005, melahirkan sosok Sunarno SE, putra asli daerah sebagai bupati pertama dalam sejarah pemilihan langsung.
Dari awal pencalonannya mungkin tidak banyak orang memprediksi Mas Narno, demikian dia akrab disapa, bakal mengalahkan rival-rivalnya yang cukup senior dan kenyang asam garam pemerintahan. Ambil contoh Ir Otto Saksono, putra mantan bupati Soemanto yang praktisi pengembang berpasangan dengan H Anton Suwarto, ulama sepuh karismatik. Atau dokter Warsito, praktisi kesehatan ditopang sosok Wuryadi yang dibesarkan sebagai abdi masyarakat, dengan jabatan kepala desa. Toh akhirnya pilihan rakyat merujuk sosok Sunarno muda, 33 tahun, putra petani dari timur wilayah Klaten untuk memimpin daerah itu periode 2005-2010.
Akankah peta politik Klaten kembali direbut kaum muda dalam pilkada nanti? Menguatnya sinyalemen pada kekuatan incumbent mengalir dalam logika yang wajar. Hal ini disebabkan incumbent mengantungi keuntungan bawaan. Pertama, faktor popularitas yang melekat dalam lima tahun tampuk kepemimpinan menjadikan calon petahana unggul dalam pengenalan diri terhadap rakyat. Lumrah masyarakat lebih mengenal balon incumbent, walaupun tidak harus bertatap muka. Paling tidak nama sang bupati pastilah rakyat pernah dengar. Faktor ini yang tidak disandang calon lain.
Kedua, faktor kekuatan mobilisasi massa. Dengan otoritas kekuasaan, lebih-lebih di era otonomi daerah, pemimpin daerah begitu powerful mengubah warna birokrasi, mengacak dan merotasi susunan pejabat di semua level eselon. Sebagai pembantu yang baik harus tunduk kepada atasan, walaupun ketertundukan figur itu harus dibungkus dalam format loyalitas. Tanpa didorong atau diperintah pun para elite birokrasi bakal berlomba menampakkan dukungan guna menunjukan jiwa loyalitas bawahan.
Ketiga adalah klaim keberhasilan pembangunan. Beberapa keberhasilan yang diraih meringankan langkah calon petahana sebagai bahan propaganda merebut simpati massa. Dalam orasi atau propagandanya, klaim keberhasilan digunakan sebagai justifikasi bahwa kepemimpinannya dipandang berhasil sehingga publik pemilih yakin dan membenarkan klaim keberhasilan itu dan menjatuhkan pilihan politiknya. Melalui pengorganisasian data, analisis fakta dalam kemasan retorika yang cerdas kian menguatkan peneguhan publik pemilih.
Mobilisasi Dana Walaupun begitu, calon incumbent bukan tampil tampa beban. Calon incumbent harus mengalahkan asumsi publik, jikalau terpilih nantinya tidak surut semangat membangun dan tidak bekerja atas dasar kembali modal. Hal ini didasarkan fakta tidak ada kursi kekuasaan yang murah dan mudah untuk diraih. Ada biaya besar yang harus dibayar. Mobilisasi massa sangat wajar harus didorong dengan mobilisasi dana. Maka kecemasan publik harus dijawab lugas bahwa keringat, tenaga, dan karya itu semata bagi kesejahteraan rakyat setelah pemilihan.
Calon incumbent jamaknya sangat pede dengan keuntungan bawaannya sebagai keunggulan komparatif. Hal ini wajar karena fakta merujuk calon petahana banyak memenangi pilkada di Jateng, beberapa waktu lalu. Dalam pilwakot di Surakarta, Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo unggul telak 84% atas rival tunggalnya, Eddy Wirabhumi dan Supradi Kertamenawi. Haji Much Salim - Abdul Hafidz meraih kemenangan meyakinkan dangan raihan 56% dalam pilkada di Rembang.
Hal yang sama direngkuh pasangan Heru ñ Kento yang memenangi 58% di pilkada di Purbalingga. Hanya pasangan Mahfudz Ali-Anis Nugroho W, calon incumbent yang kalah tipis atas pesaingannya Sumarno HS-Hendi Hendrar Prihadi yang meraih 34% suara berbanding 31% dalam pilwakot di Semarang.
Data dan fakta ini memberi nilai berharga. Biarpun calon petahana selalu diunggulkan, calon lain bukan tertutup peluang. Kondisi anomali selalu mungkin terjadi. Sejumlah strategi pasti sudah disiapkan. Kader dan segala amunisi siap digerakkan. Tinggal bagaimana pertaruhan reputasi itu mampu meneguhkan keyakinan masyarakat pemilih. (10)
— Joko Priyono SSos, penulis adalah pranata humas Pemkab Klaten
Wacana Suara Merdeka 19 Mei 2010