SITUASI di Bangkok, ibu kota Thailand makin tegang menyusul tertembaknya salah satu pemimpin demonstran antipemerintah. Sedikitnya 37 Orang tewas dan 276 lainnya luka-luka terkena tembakan aparat keamanan (SM, 18/05/10).
Eskalasi ketegangan di Bangkok meningkat tajam sejak Kamis malam (13/05) setelah tertembaknya salah satu pemimpin demonstran Mayor Jenderal Khattiya Sawasdipol alias Seh Daeng (Komandan Merah). Zona tembak pun diberlakukan di wilayah Bangkok, di mana daerah tersebut dilewati peluru tajam dan peluru karet. Bahkan pusat perekonomian lumpuh. Seperti diketahui, kerusuhan politik di Thailand juga terjadi Maret 2009, yang diawali dari demontran Kaus Merah yang antipemerintah dan menjadi pendukung Thaksin.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, di tengah upaya demokrasi di dunia ketiga seperti yang sedang dilakukan negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Ketegangan dan kekerasan politik di Thailand yang cenderung berlarut-larut menyita perhatian masyarakat internasional dan reaksi yang cukup beragam dari beberapa negara seperti Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menyerukan agar Thailand segera menyelesaikan konflik internalnya, dan pihak-pihak yang bertikai segera mengambil jalan tengah. Bahkan Kedubes AS, Belanda, dan Inggris memilih untuk menutup kantor mereka.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketegangan belum bisa diredakan, antara lain, pertama; faktor sikap raja Bhumibol. Yang agak mengherankan dalam dinamika politik di Thailand saat ini adalah kesan mengapa ia cenderung ”diam” alias tidak mengeluarkan perintah politik yang jelas dan cekatan dalam mencegah konflik terbuka yang masif. Padahal pada masa lalu raja sangat cekatan dan konflik tidak sampai berkepanjangan. Raja yang merupakan simbol legitimasi formal, tampak menjaga jarak dari politik Thailand.
Menyelesaikan Sendiri Bisa jadi Bhumibol sekarang lebih berperan sebagai ”bapak” yang membiarkan anak-anaknya untuk menyelesaikan masalah sendiri sebagai proses pendewasaan diri. Kemungkinan raja lebih suka agar para elite politik dan rakyatnya menghargai proses, ketimbang hasil akhir.
Dia juga setia menjaga kewibawaannya sebagai simbol kultural yang masih tetap berpengaruh paling penting, bahkan jauh di atas ”demokrasi politik” Thailand. Berbeda dari kudeta tahun 2006, di mana raja mendukung kudeta dan menolak Thaksin yang terbukti korup, sehingga ketegangan bisa cepat terselesaikan. Ketika PM Abhisit terpilih, rajapun juga dengan cepat memberikan dukungan walaupun proses itu terjadi pro kontra.
Kedua; faktor sikap militer. Sepanjang sejarah, terutama setelah kudeta 1932 yang mengubah sistem kerajaan mutlak menjadi kerajaan berkonstitusi, militer Thailand, khususnya angkatan darat, mempunyai pengaruh politik yang sangat besar, bahkan sering menentukan. Bahkan kudeta sebagai suatu cara yang telah membudaya pada militer Thailand untuk menyelesaikan sengketa atau perbedaan politik antara militer dan aktor-aktor politik lainnya. Tetapi kadang militer tidak selalu menggunakan cara ini dalam menggunakan pengaruh politiknya.
Ketiga; faktor Thaksin. Thaksin memang telah kehilangan segalanya setelah dikudeta oleh militer pada 2006: ”tanah air”, jabatan, dan juga keluarga yang berantakan setelah bercerai dari istrinya. Walau terbuang, magnet politik Thaksin masih belum sepenuhnya memudar. Thaksin masih dielu-elukan, khususnya di banyak kawasan pedesaan.
Thaksin sendiri masih berharap bisa kembali ke dunia politik secara formal. Melalui demonstran Kaus Merah-lah keinginan dan ambisi itu bisa diwujudkan, sehingga dengan berbagai cara demonstran tetap disokong secara material. Agaknya ini yang menyebabkan ketegangan awet dan sulit diredakan.
Keempat; faktor demokrasi. Corak demokrasi di Thailand juga bisa menjadi penyebab konflik berkepanjangan. Apa yang dijalankan belum sesuai dengan aturan sehingga sering terjadi pertikaian di tingkat elite yang akhirnya memengaruhi masyarakat bawah. Thailand sering mengalami krisis politik yang berujung pada kudeta militer sehingga militer menjadi penentu penyelesaian konflik sipil.
Tampaknya perjalanan demokrasi Thailand masih panjang dan semakin sulit ditebak akhirnya. Karakter masyarakat yang terefleksikan di dalam birokrasi dan perjalanan politiknya menjadi karakter yang unik dari Negeri Gajah Putih. (10)
— Anna Yulia Hartati, peneliti Lab Diplomasi, dan dosen FISIP/Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang
Wacana Suara Merdeka 19 Mei 2010